Surabaya, 4 November 2025 - BERITAKORUPSI.CO - Artikel ini menganalisis upaya hukum dalam perkara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku, dengan perbandingan terhadap rancangan KUHAP baru yang masih sedang digodok. Fokus utama adalah pada upaya hukum biasa (praperadilan, banding, kasasi) dan luar biasa (peninjauan kembali), serta implikasinya terhadap penegakan hukum pidana yang lebih adil dan berorientasi pada Hak Asasi Manusia (HAM). Analisis ini mengintegrasikan pandangan ahli seperti Andi Hamzah, yang menekankan pentingnya keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan restoratif. Perbandingan menunjukkan bahwa KUHAP baru berpotensi memperkuat due process of law, meskipun tantangan implementasi tetap ada. Kata kunci: upaya hukum pidana, KUHAP lama, KUHAP baru, analisis perbandingan.
Sistem peradilan pidana di Indonesia bergantung pada KUHAP yang disahkan pada 1981, yang mengatur proses dari penyidikan hingga eksekusi putusan. Upaya hukum pidana, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk menentang putusan pengadilan melalui mekanisme seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Namun, seiring perkembangan zaman, KUHAP lama dinilai kurang adaptif terhadap dinamika sosial, teknologi, dan tuntutan HAM, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai diskusi reformasi hukum .
Pembaruan KUHAP menjadi mendesak menyusul pengesahan KUHP Nasional melalui UU No. 1 Tahun 2023, yang akan berlaku pada 2 Januari 2026. Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP 2025, yang dirilis secara resmi pada 21 Maret 2025 oleh Komisi III DPR, bertujuan menyelaraskan prosedur acara pidana dengan KUHP baru, termasuk penguatan restoratif justice dan perlindungan korban . Artikel ini bertujuan menganalisis upaya hukum pidana saat ini, membandingkannya dengan ketentuan RUU KUHAP, dan mengeksplorasi implikasinya bagi penegak hukum. Analisis ini didasarkan pada prinsip due process of law, sebagaimana ditegaskan oleh Wakil Menteri Hukum Edward Omar Shariffudin, yang menekankan perlindungan HAM dalam KUHAP baru. Penulis, sebagai praktisi peradilan dengan pengalaman panjang, melihat pembaruan ini sebagai peluang untuk meningkatkan integritas sistem hukum pidana di Indonesia.
Profil Penulis
Safri, SH., MH., sebelum menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Surabaya pada akhir Oktober 2025, sebelumnya Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Surabaya. Kemudian Ketua PN Kendari dan Ketua PN Poso. Dengan karir gemilang di bidang peradilan pidana. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kendari dan Ketua Pengadilan Negeri Poso, di mana ia memimpin penanganan berbagai perkara kompleks yang melibatkan upaya hukum pidana. Sebagai akademisi dan praktisi, Safri telah menulis 8 buku tentang hukum, filsafat dan humaniora termasuk analisis reformasi KUHAP. Selain itu, beliau sering menjadi narasumber di berbagai seminar dan temu ilmiah nasional, seperti diskusi tentang Rancangan KUHAP. Pengalaman ini membentuk pandangan beliau bahwa upaya hukum harus menjadi instrumen keadilan, bukan sekadar formalitas.
Analisis Upaya Hukum dalam KUHAP Lama
Dalam KUHAP lama, upaya hukum pidana dibagi menjadi biasa dan luar biasa, bertujuan memberikan kesempatan koreksi atas putusan yang dianggap tidak adil. Menurut Andi Hamzah, seorang guru besar hukum pidana yang menulis buku Upaya Hukum dalam Perkara Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia, upaya hukum adalah mekanisme esensial untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dan individu, dengan menekankan prinsip ne bis in idem (tidak dapat diadili dua kali untuk perkara yang sama) .
Andi Hamzah berpendapat bahwa upaya hukum bukan hanya hak formil, melainkan alat untuk mencari kebenaran materiil, di mana hakim harus mempertimbangkan bukti baru untuk menghindari kesalahan yudisial.
Upaya Hukum Biasa
Peninjauan Kembali (PK, Pasal 263-276 KUHAP): Hanya untuk putusan inkracht, dengan alasan novum (bukti baru) atau kesalahan hakim. Hamzah dalam karyanya menyatakan bahwa PK adalah "pintu terakhir keadilan", tetapi jarang berhasil karena syarat ketat, hanya sekitar 5-10% yang dikabulkan berdasarkan data Mahkamah Agung .
Secara keseluruhan, KUHAP lama menjamin akses upaya hukum, tetapi dikritik karena kurang melindungi korban dan terlalu berfokus pada terdakwa, serta tidak mengakomodasi teknologi digital dalam proses banding atau kasasi .
Perbandingan dengan RUU KUHAP Baru (2025)
RUU KUHAP 2025, yang ditandatangani Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada 23 Juni 2025 oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, memperkenalkan paradigma baru yang selaras dengan KUHP Nasional . Perbandingan utama dengan KUHAP lama adalah sebagai berikut:
Implikasi Menyongsong KUHAP Baru
Pembaruan KUHAP akan merevolusi peradilan pidana dengan mengurangi backlog kasus (saat ini >100.000 perkara tahunan) melalui digitalisasi upaya hukum. Menurut Hamzah, ini selaras dengan tujuan hukum pidana sebagai alat restoratif, bukan retributif semata. Namun, implikasi negatif potensial termasuk peningkatan beban Mahkamah Agung jika PK tidak dibatasi. Di Surabaya, sebagai pusat peradilan khusus, penulis merekomendasikan pilot project e-court untuk upaya hukum, guna memastikan transisi mulus pada 2026 .
Kesimpulan
Safri, SH., MH yang telah menulis 8 judul buku dan Nara Sumber diberbagai Seminar/temu ilmiah mengatakan, upaya hukum pidana dalam KUHAP lama telah memberikan fondasi keadilan, tetapi RUU KUHAP 2025 menawarkan perbaikan signifikan melalui penguatan HAM, restoratif justice, dan adaptasi teknologi. Mengintegrasikan pandangan Andi Hamzah, pembaruan ini harus menjaga keseimbangan antara efisiensi dan keadilan. Sebagai praktisi, penulis menekankan urgensi sosialisasi untuk penegak hukum, agar KUHAP baru benar-benar menyongsong era hukum pidana nasional yang berkeadilan. Rekomendasi: DPR segera sahkan RUU dengan masukan stakeholder untuk menghindari polemik.
Daftar Pustaka:
Sistem peradilan pidana di Indonesia bergantung pada KUHAP yang disahkan pada 1981, yang mengatur proses dari penyidikan hingga eksekusi putusan. Upaya hukum pidana, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk menentang putusan pengadilan melalui mekanisme seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Namun, seiring perkembangan zaman, KUHAP lama dinilai kurang adaptif terhadap dinamika sosial, teknologi, dan tuntutan HAM, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai diskusi reformasi hukum .
Pembaruan KUHAP menjadi mendesak menyusul pengesahan KUHP Nasional melalui UU No. 1 Tahun 2023, yang akan berlaku pada 2 Januari 2026. Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP 2025, yang dirilis secara resmi pada 21 Maret 2025 oleh Komisi III DPR, bertujuan menyelaraskan prosedur acara pidana dengan KUHP baru, termasuk penguatan restoratif justice dan perlindungan korban . Artikel ini bertujuan menganalisis upaya hukum pidana saat ini, membandingkannya dengan ketentuan RUU KUHAP, dan mengeksplorasi implikasinya bagi penegak hukum. Analisis ini didasarkan pada prinsip due process of law, sebagaimana ditegaskan oleh Wakil Menteri Hukum Edward Omar Shariffudin, yang menekankan perlindungan HAM dalam KUHAP baru. Penulis, sebagai praktisi peradilan dengan pengalaman panjang, melihat pembaruan ini sebagai peluang untuk meningkatkan integritas sistem hukum pidana di Indonesia.
Profil Penulis
Safri, SH., MH., sebelum menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Surabaya pada akhir Oktober 2025, sebelumnya Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Surabaya. Kemudian Ketua PN Kendari dan Ketua PN Poso. Dengan karir gemilang di bidang peradilan pidana. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kendari dan Ketua Pengadilan Negeri Poso, di mana ia memimpin penanganan berbagai perkara kompleks yang melibatkan upaya hukum pidana. Sebagai akademisi dan praktisi, Safri telah menulis 8 buku tentang hukum, filsafat dan humaniora termasuk analisis reformasi KUHAP. Selain itu, beliau sering menjadi narasumber di berbagai seminar dan temu ilmiah nasional, seperti diskusi tentang Rancangan KUHAP. Pengalaman ini membentuk pandangan beliau bahwa upaya hukum harus menjadi instrumen keadilan, bukan sekadar formalitas.
Analisis Upaya Hukum dalam KUHAP Lama
Dalam KUHAP lama, upaya hukum pidana dibagi menjadi biasa dan luar biasa, bertujuan memberikan kesempatan koreksi atas putusan yang dianggap tidak adil. Menurut Andi Hamzah, seorang guru besar hukum pidana yang menulis buku Upaya Hukum dalam Perkara Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia, upaya hukum adalah mekanisme esensial untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dan individu, dengan menekankan prinsip ne bis in idem (tidak dapat diadili dua kali untuk perkara yang sama) .
Andi Hamzah berpendapat bahwa upaya hukum bukan hanya hak formil, melainkan alat untuk mencari kebenaran materiil, di mana hakim harus mempertimbangkan bukti baru untuk menghindari kesalahan yudisial.
Upaya Hukum Biasa
- ° Praperadilan (Pasal 77-83 KUHAP): Digunakan untuk menguji sahnya penetapan tersangka, penahanan, atau penyitaan. Ini adalah upaya pra-peradilan untuk melindungi hak individu dari penyalahgunaan wewenang aparat. Dalam praktik, praperadilan sering menjadi pintu masuk bagi korban pelanggaran prosedural, meskipun efektivitasnya terbatas oleh beban pembuktian yang tinggi .
- ° Banding (Pasal 67-76 KUHAP): Diajukan ke pengadilan tinggi dalam waktu 7 hari setelah putusan tingkat pertama. Banding memungkinkan pemeriksaan ulang fakta dan hukum, tetapi terbatas pada putusan yang belum inkracht (berkekuatan hukum tetap). Menurut Hamzah, banding efektif untuk mengoreksi kesalahan hakim tunggal, tetapi sering terhambat oleh prosedur yang kaku .
- ° Kasasi (Pasal 244-254 KUHAP): Diajukan ke Mahkamah Agung untuk kesalahan penerapan hukum, bukan fakta. Ini adalah upaya tertinggi biasa, dengan batas waktu 14 hari. Hamzah menekankan bahwa kasasi harus fokus pada keseragaman yurisprudensi untuk mencegah inkonsistensi antar-pengadilan .
Peninjauan Kembali (PK, Pasal 263-276 KUHAP): Hanya untuk putusan inkracht, dengan alasan novum (bukti baru) atau kesalahan hakim. Hamzah dalam karyanya menyatakan bahwa PK adalah "pintu terakhir keadilan", tetapi jarang berhasil karena syarat ketat, hanya sekitar 5-10% yang dikabulkan berdasarkan data Mahkamah Agung .
Secara keseluruhan, KUHAP lama menjamin akses upaya hukum, tetapi dikritik karena kurang melindungi korban dan terlalu berfokus pada terdakwa, serta tidak mengakomodasi teknologi digital dalam proses banding atau kasasi .
Perbandingan dengan RUU KUHAP Baru (2025)
RUU KUHAP 2025, yang ditandatangani Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada 23 Juni 2025 oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, memperkenalkan paradigma baru yang selaras dengan KUHP Nasional . Perbandingan utama dengan KUHAP lama adalah sebagai berikut:
- Penguatan Due Process dan HAM: KUHAP lama berorientasi pada efisiensi penyidikan, sementara RUU baru menekankan perlindungan HAM sejak tahap awal, termasuk hak korban atas restoratif justice (misalnya, mediasi pidana untuk kasus ringan). Ini berbeda dari KUHAP lama ruang mediasi . Wakil Menteri Hukum menegaskan bahwa KUHAP baru harus mencegah penahanan sewenang-wenang, dengan batas waktu lebih ketat (maksimal 60 hari untuk penyidikan) .
- Upaya Hukum Biasa: Praperadilan diperluas untuk mencakup pengawasan penyadapan digital, yang absen di KUHAP lama. Banding dan kasasi kini memungkinkan e-filing untuk mempercepat proses, mengatasi keterlambatan kronis di KUHAP lama (rata-rata 6-12 bulan). Hamzah's teori tentang keseimbangan hukum didukung di sini, dengan penambahan hak korban untuk mengajukan banding terbatas.
- Upaya Hukum Luar Biasa: PK diperluas dengan alasan baru seperti bukti ilmiah digital (e.g., rekaman CCTV), dan batas waktu diperpanjang menjadi 180 hari. Ini kontras dengan KUHAP lama yang kaku, di mana PK sering gagal karena kurangnya inovasi . Namun, RUU baru berpotensi kontroversial karena memperbolehkan PK berulang untuk kasus HAM berat, yang bisa menimbulkan kekacauan jika tidak diatur bijak .
- Impl Perbandingan:
- KUHAP baru lebih adaptif terhadap konteks Indonesia, seperti integrasi nilai Pancasila dalam restoratif justice, berbeda dari KUHAP lama yang warisan kolonial . Tantangan utama adalah harmonisasi dengan KUHP baru, di mana delik pidana lebih luas (e.g., kohabitasi), memerlukan upaya hukum yang lebih fleksibel .
Implikasi Menyongsong KUHAP Baru
Pembaruan KUHAP akan merevolusi peradilan pidana dengan mengurangi backlog kasus (saat ini >100.000 perkara tahunan) melalui digitalisasi upaya hukum. Menurut Hamzah, ini selaras dengan tujuan hukum pidana sebagai alat restoratif, bukan retributif semata. Namun, implikasi negatif potensial termasuk peningkatan beban Mahkamah Agung jika PK tidak dibatasi. Di Surabaya, sebagai pusat peradilan khusus, penulis merekomendasikan pilot project e-court untuk upaya hukum, guna memastikan transisi mulus pada 2026 .
Kesimpulan
Safri, SH., MH yang telah menulis 8 judul buku dan Nara Sumber diberbagai Seminar/temu ilmiah mengatakan, upaya hukum pidana dalam KUHAP lama telah memberikan fondasi keadilan, tetapi RUU KUHAP 2025 menawarkan perbaikan signifikan melalui penguatan HAM, restoratif justice, dan adaptasi teknologi. Mengintegrasikan pandangan Andi Hamzah, pembaruan ini harus menjaga keseimbangan antara efisiensi dan keadilan. Sebagai praktisi, penulis menekankan urgensi sosialisasi untuk penegak hukum, agar KUHAP baru benar-benar menyongsong era hukum pidana nasional yang berkeadilan. Rekomendasi: DPR segera sahkan RUU dengan masukan stakeholder untuk menghindari polemik.
Daftar Pustaka:
- Hukum Acara Pidana. Sinar (Andi Hamzah - 2008).
- Silent Court - (Safri, SH., MH)
- Judicial Activism,
- Keyakinan Hakim (Sebuah telaah filsafat Hkm), - (Safri, SH., MH)
- Mahkamah: Dari keadilan normatif menuju keadilan substantif, - (Safri, SH., MH)
- Catatan Seorg Hakim - (Safri, SH., MH)
- In the name of law. - (Safri, SH., MH)
- Refleksi Seorg Hakim. - (Safri, SH., MH)
- Kamus Hukum Para Hakim - (Safri, SH., MH)
- 1Sumber Web: marinews. mahkamahagung.go.id

Posting Komentar
Tulias alamat email :