0
Surabaya, BERITAKORUPSI.CO -
Bau busuk dugaan mega korupsi dana hibah Pokir (pokok-pokok pikiran) DPRD Jawa Timur periode 2019-2024 dari APBD Pemerintah Provinsi Jawa Timur kini kian menyengat. Angka yang fantastis, duit sebesar Rp8,369 triliun, tercatat mengalir dari APBD Pemprov Jatim ke berbagai kelompok masyarakat (pokmas) di Jawa Timur sepanjang tahun anggaran 2019 hingga 2024 melalui usulan para dewan yang terhormat. Namun di balik deretan angka itu, terbentang kisah gelap tentang manipulasi, permainan politik, dan transaksi kuasa.

Kasus ini pertama kali mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Sahat Tua Simanjuntak, Wakil Ketua DPRD Jawa Timur periode 2019–2024 dari Fraksi Golkar, bersama staf pribadinya, Rusdi dan Abdul Hamid, Kepala Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang selaku Koordinator Pokmas serta Ilham Wahyudi alias Eeng, Koordinator lapangan Pokmas Kabupaten Sampang. OTT itu menjadi pintu masuk KPK mengungkap praktik ijon dana hibah — istilah yang kini populer untuk menggambarkan jual beli jatah dana hibah Pokir antara anggota dewan, birokrat, dan pihak-pihak di luar sistem.

Hibah Membengkak Dua Kali Lipat dari Batas Normal.

Dari fakta persidangan, terungkap bahwa alokasi dana hibah Pemprov Jatim untuk dana pokok-pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD mencapai hampir 20% dari total APBD. Padahal, Menteri Dalam Negeri telah menegaskan agar hibah Pokir tidak melebihi dari 10% APBD.
Namun peringatan itu diabaikan.

Dalam periode 2019–2024, total dana hibah yang dikucurkan mencapai pemprov Jatim ke DPRD Jatim adalah sebesar Rp8,369 triliun. Sebuah jumlah yang fantastis, bahkan untuk ukuran provinsi besar seperti Jawa Timur. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, justru diduga menjadi ladang bancakan politik di ruang-ruang rapat legislatif.

Dari surat dakwaan JPU KPK disebutkan, setiap anggota DPRD  mendapat jatah dana hibah Pokir sesuai kesepakatan ketua komisi masing-masing.
Namun kejanggalan mencuat ketika dipersidangan, ditemukan bahwa dari 120 anggota DPRD, ternyata ada 131 nama tercatat sebagai penyalur dana hibah pokir. Artinya, ada 11 nama siluman yang turut menyalurkan dana  tanpa status resmi sebagai anggota dewan.

Dana hibah Pokir sebesar Rp2,4 Triliun  Tak Bertuan dan Ribuan Pokmas Fiktif di Jawa Timur

Lebih mengerikan lagi, dari total dana hibah Pokir sebesar Rp8,369 triliun itu, Rp2,4 triliun lebih dinyatakan tidak jelas siapa penyalurnya. Tidak ada dokumen yang bisa memastikan ke kantong pejabat mana mengalir, dipegunakan untuk apa dan keperluan apa serta siapa yang bertanggung jawab. Semua saksi seakan menjadi "pemeran aktor bisu.'

Dalam persidangan terungkap pula, adanya jual beli jatah hibah Pokir antaranggota DPRD. Seorang anggota dewan tidak menyalurkan dana pokir miliknya melainkan menjual ke anggota dewan lainnya  antara 20 hingga 20% atau ke pihak luar dengan harga tertentu.
Praktik ini dikenal sebagai “ijon” — di mana proyek belum berjalan, tapi uang sudah berpindah tangan terlebih dahulu.

Dana hibah Pokir tersebut disalurkan melalui kelompok masyarakat (Pokmas) ke masing-masing daerah pemilihan anggota dewan, atau diluar daerah pemilihannya sesuai usulan masing-masing anggota dewan pula.
Namun ironis, 4.500 Pokmas selaku penerima hibah Pokir tidak diverifikasi secara faktual, hanya lewat dokumen semata.
Kepala Dinas PU dan Kepala Dinas SDA Pemprov Jatim berdalih dipersidangan “tidak cukup waktu”.
Akibatnya, banyak Pokmas fiktif terbentuk hanya di atas kertas — tanpa kegiatan, tanpa, , tanpa hasil apa pun.

Jejak Pertemuan Misterius di Yogyakarta

Dipersidangan juga terungkap, adanya pertemuan rahasia di Yogyakarta beberapa hari setelah OTT KPK terhadap Sahat Tua Simanjuntak.
Pertemuan itu disebut dihadiri oleh Sekda Pemprov Jatim, Heru Cahyono, mantan Kepala BPK Jawa Timur, serta sejumlah pejabat tinggi Pemprov lainnya.
Lokasinya: sebuah hotel di kawasan Malioboro.
Waktunya: hanya beberapa hari setelah publik diguncang OTT KPK di Surabaya.

Pertemuan itu disebut-sebut membahas “koordinasi pasca-OTT” dan langkah antisipasi atas potensi perluasan penyelidikan KPK. Namun hingga kini, pertemuan rahasia Jogja Karta itu belum terpecahkan. Heru Cahyono dalam persidangan hanya mengatakan ",pertemuan biasa karena sudah lama tidak bertemu.". Suatu alasan pembenaran diri, namun JPU KPK saat itu tidak percaya begitu saja.

Sebanyak 21 Tersangka Baru, 4 Diantanya Sudah Ditahan - Tapi Skandal Belum Selesai

KPK sudah menetapkan 21 tersangka baru dalam perkara dugaan korupsi dana hibah pokir DPRD Jatim. Empat di antaranya telah resmi ditahan.
Namun penyidik antirasuah belum berhenti di situ.
Sumber internal KPK menyebut, penyelidikan terus dikembangkan untuk menelusuri aliran dana, keterlibatan anggota DPRD aktif, serta pihak-pihak birokrasi yang diduga turut memainkan peran penting dalam skema distribusi dana hibah.

Tanda Tanya Besar di Balik uang Rp8,369 Triliun

Meski penyidikan masih berjalan, publik kini dihadapkan pada sejumlah pertanyaan krusial:
  1. Apakah KPK akan menyeret seluruh anggota DPRD Jatim periode 2019–2024 yang diduga menikmati jatah hibah pokir sama seperti anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019??
  2. Siapa sebenarnya 11 orang siluman yang namanya muncul dalam daftar penyalur dana hibah Pokir?
  3. Kemana mengalir dana hibah Pokir sebesar Rp2,4 triliun lebih yang tidak jelas siapa penyalur dan penerimanya?
  4. Apakah dana hibah Pokir sebesar dana Rp2,4 triliun itu ada kaitannya dengan Pilpres pada Pebruari 2024 dan Pilkada Gubernur Jawa Timur pada November 2024?
  5. Apakah KPK bisa memecahkan isi "teka-teki" pertemuan pejabat Pemprov dan mantan Kepala BPK Jatim di Yogyakarta beberapa hari setelah OTT KPK?
Politik, Uang, dan Lemahnya Pengawasan

Kasus ini juga membuka borok lama hubungan antara eksekutif dan legislatif di daerah, di mana alokasi dana hibah sering dijadikan alat tawar-menawar politik.
Dalam praktiknya, dana pokir berubah menjadi “komoditas politik” yang bisa diperjualbelikan, ditukar proyek, bahkan dijadikan sumber pendanaan pribadi.

Kasus hampir serupa juga terjadi pada tahun 2008 menjelang pemilihan gubernur tahun 2009. Saat itu, pemprov Jatim mengucurkan dana hibah untuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) ya merugikan keuangan negara sebesar sebesar 177 miliar rupiah. Hingga salah seorang narapidana meninggal di Lapas Porong pada tahun 2018, kasus korupsi PNPM tak kunjung tuntas ditangan kejaksaan tinggi Jawa Timur.

Padahal, dana hibah seharusnya diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat, pendidikan, pertanian, dan infrastruktur desa. Namun kenyataannya, banyak kegiatan yang tidak pernah terealisasi. Laporan fiktif dibuat, tanda tangan dipalsukan, dan dana cair tanpa bekas.

Aroma Skandal Nasional
Dana hibah Pokir sebesar Rp8,369 triliun jelas bukan angka kecil. Bila terbukti, ini bisa menjadi skandal korupsi daerah terbesar dalam sejarah otonomi daerah Indonesia.
Lebih besar daripada kasus bantuan sosial, dan lebih luas jaringannya daripada korupsi proyek infrastruktur.

KPK kini berada di persimpangan:
menuntaskan kasus ini secara menyeluruh, atau membiarkan sebagian fakta tenggelam di balik politik kekuasaan.

Sementara publik menanti jawaban, satu hal pasti:
Skandal dana hibah Pokir anggota DPRD Jatim ini bukan sekadar persoalan hukum — tapi cermin kebusukan sistem politik daerah yang selama ini bersembunyi di balik retorika pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Catatan Redaksi:
Kasus ini akan terus kami pantau.
BERITAKOPSI.CO berkomitmen menghadirkan laporan investigatif mendalam sesuai fakta, mengikuti setiap perkembangan hingga di persidangan, dan memastikan publik mendapatkan informasi sesuai fakta yang sebenar-benarnya bukan sekedar ilusi.
Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top