0
#Keterangan saksi dalam persidangan Mengungkap pembagian duit “Haram” ke Wakil Bupati, Ketua DPRD, Banggar DPRD, Sekda dan Polres Tulungagung#

beritakorupsi.co - Beberapa pejabat Kabupaten Tulungagung, diantaranya Wakil Bupati yang saat ini menjabat sebagai Plt., Ketua DPRD yang juga Ketua Bandan Anggaran, Sekretaris Daerah (Sekda), Kepala BPAKD, dan Aparat Penegak Hukum (APH) di Tulungagung, mungkin saat ini tak bisa tidur, andai saja hadir mengikuti jalannya persidangan Kasus perkara Korupsi suap terdakwa Syahri Mulyo (Bupati non aktif Tulungagung) yang ditangkap KPK pada tanggal 6 Juni 2018 lalu, karena “nyanyian” alias keterangan Yamani yang diakui oleh Hendry dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya, pada Kamis, 13 Desember 2018.

Yamani dan Hendry Setyawan adalah pejabat di BPKAD (Badan Pengawas Keuangan dan Aset Daerah) Kabupaten Tulungagung. Yamani sebagai Kasubag (Kepala Sub bagian) Perencanaan,  sementara Hendry Setyawan adalah Kepala. Kedua pejabat BPKAD Tulungagung ini menjadi saksi kunci dalam kasus suap bosnya (Bupati), yaitu Syahri Mulyo, berdasarkan keterangan beberapa orang saksi selaku Kepala Bidang (Kabid) di Dinas PU pada persidangan sebelumnya, yang mengatakan bahwa duit yang dikumpulkan dari beberapa kontraktor di Tulungagung sebagai fee sebesar 15 persen atas pekerjaan proyek yang didapatkan para kobtraktor konstruksi dari Bupati melalui Sutrisno selaku Kepala Dinas PU.

Dalam surat dakwaan JPU KPK dijelaskan, bahwa total uang suap yang diterima Bupati Tulungagung Syahri Mulyo sebesar Rp138,4 miliyar yang bersumber dari fee proyek sebesar 15 persen yang diberikannya kepada para kontraktor dan Asosiasi di Kabupaten Tulugagung melalui Sutrisno selaku Kepala Dinas PU. Dan uang fee proyek tersebut dikumpulkan melalui beberapa Kepala Bidang yang ada di Dinas PU diantaranya ; 1. Agung Haryanto selaku Kasubag Keuangan menerima dan mengumpulkan uang fee seluruhnya berjumlah Rp4.286.500.000 (empat miliar dua ratus delapan puluh enam juta lima ratus ribu rupiah) atas proyek yang dikelola Sekretariat Dinas PUPR dan Bidang Kebersihan yang bersumber dari DAU (Dana Alokasi Umum) dengan perincian sebagai berikut: Tahun Anggaran 2015 sejumlah Rp1.335.500.000,00 (satu miliar tiga ratus tiga puluh lima juta lima ratus ribu rupiah), TA 2016 sebesar Rp1.620.750.000 (satu miliar enam ratus dua puluh juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), dan TA 2017 sejumlah Rp1.330.250.000 (satu miliar tiga ratus tiga puluh juta dua ratus lima puluh ribu rupiah)

2. Saiful Bakri selaku Sekretaris Dinas PUPR. pada TA 2014 menerima dan mengumpulkan fee atas proyek-proyek di Dinas PUPR sejumlah Rp403.050.000 (empat ratus tiga juta lima puluh ribu rupiah),; 3. Erwin Novoanto selaku Kabid Infrastruktur Persampahan dan Pertamanan, menerima dan mengumpulkan fee atas proyek-proyek pada Dinas PUPR yang bersumber dari anggaran DAU tahun 2016-2017 seluruhnya berjumlah Rp1.639.500.000 (satu miliar enam ratus tiga puluh sembilan juta lima ratus ribu rupiah).

4. Evi Purvitasari sebagai Kabid Tata Ruang dan Tata Bangunan, menerima dan mengumpulkan fee atas proyek-proyek pada Dinas PUPR tahun 2014 hingga 2017 sejumlah Rp2.198.200.000  (dua miliar seratus sembilan puluh delapan juta dua ratus ribu rupiah),; 5. Farid Abadi  selaku Kabid Laboratorium dan Perbengkelan, menerima dan mengumpulkan fee atas proyek-proyek pada Dinas PUPR tahun 2015 - 2017 sejumlah Rp259.708.042 (dua ratus lima puluh sembilan juta tujuh ratus delapan ribu empat puluh dua rupiah),; 6. Niken Setuyawati Triansari selaku Kabid Cipta Karya, mengumpulkan uang dari kontraktor dan Asosisi sejak tahun 2014 - 2018 sejumlah Rp4.807.353.868 (empat miliar delapan ratus tujuh juta tiga ratus lima puluh tiga ribu delapan ratus enam puluh delapan rupiah),; 7. Sukarji sebagai Kabid Bina Marga, menerima dan mengumpulkan fee atas proyek-proyek pada Dinas PUPR tahun 2014 - 2018 seluruhnya berjumlah Rp55.908.980.653 (lima puluh lima miliar sembilan ratus delapan juta sembilan ratus delapan puluh ribu enam ratus lima puluh tiga rupiah) dan para Kepala Bidang ini juga sudah memberikan keterangan dihadapan Majelis Hakim.

Dalam kasus ini, Yamani dan Hendry Setyawan sebagai pejabat BPKAD Kabupaten Tulungagung ini menjadi saksi kunci atas kasus suap majikannya yakni Syahri Mulyo yang tertangkap tangan KPK bersama Sutrisno (Kepala Dinas PUPR) dan Agung Prayitno (orang dekat Syahri Mulyo) pada tanggal 6 Juni 2018 lalu.

Mengapa menjadi saksi kunci ? Karena keterangan beberapa Kepala Bidang di Dinas PU yang menjadi pengepul uang fee proyek tersebut, di  antaranya Sukarji menjelaskan kepada Majelis Hakim, bahwa uang dikumpulkannya disetorkan karena ada kewajiban ke BPKAD melalui Yamani.

Selain dari keterangan saksi selaku Kabid di Dinas PU, dalam surat dakwaan JPU KPK juga dijelaskan bahwa uang tersebut secara bertahap sejak awal tahun 2014 hingga 2018 diserahkan langsung oleh Sutrisno kepada Syahri Mulyo juga melalui Hendry Setyawan dan Yamani. Selain menerima fee dari para penyedia barang/jasa di Dinas PUPR Kabupaten Tulungangung, Syahri Mulyo juga menerima fee atas pembagian (plaoing) proyek pada Dinas Perhubungan sebesar Rp80 juta melalui Maryani selaku Kepala Dinas Perhubungan, dari Eko Sugiono selaku Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Dr. Eko Sugiono sudah memberikan keterangan dihadapan Majelis Hakim).

Dan dakwaan JPU KPK juga menjelaskan, bahwa uang suap fee proyek APBD Kabupaten Tulungagung yang diterima terdakwa Syahri Mulyo, dibagi-bagikan, ada yang rutin setiap tahun ada pula yang bulanan sejak sejak 2014 - 2018 melalui anakbuahnya. Para pejabat yang menerima kucuran duit “panas” dalam surat dakwaan JPU KPK diantaranya 1. Maryoto selaku Wakil Bupati Tulungagung yang saat ini menajabat sebagai Plt Bupati, sebesar Rp4.675 miliyar,; 2. Supriyono selaku Ketua DPRD Tulungagung sejumlah Rp750 juta,;  3. Indra Fauzai selaku Sekretaris Daerah Tuiungagung sebesar Rp700 juta,; 4. Hendry Setiyawan Kepala BPAKD Kab. Tulungagung sejumlah Rp2.985 miliyar,; 5. Aparat Penegak Hukum, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan Wartawan sebesar Rp2.222 miliyar.

Sedangkan pada sidang sebelumnya, duit “haram” itu juga mengucur ke pejabat Pemrov Jatim yaitu Budi Juniarto selaku Kepala Bidang Fisik Prasarana Bappeda Provinsi Jawa Timur melalui Wawan salah satu Pengurus Asosiasi di Tulungagung.

Nah…! Untuk mengetahui kebenaran kucuran duit “haram” itu, Tim JPU KPK Mufti Irawan dkk pun menghadirkan Yamani ke hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya (Kamis, 13 Desember 2018) dalam persidangan yang diketuai Hakim Agus Hamzah., SH., MH untuk di dengar keterangannya.

Sidang yang berlangsung pada Kamis, 13 Desember 2018, Selain Yamani, Tim JPU KPK juga menghadirkan 5 (lima) saksi lainnya, yaitu Hendrik Setyawan (Kepala BPKAD Kab. Tulungagung), Indra Fauzi (Sekda Kab. Tulungagung), Maryani (Kepala Dinas Perhubungan), Wiwik Setyawati (Kabid Ciptakarya), dan Soni (swasta) dengan didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya masing-masing, diantaranya Andy Firasadi untuk terdakwa Syahri Mulyo, dan Leonardus Sagala dkk untuk PH terdakwa Sutrisnno.

Dihadapan Majelis Hakim yang di ketuai  Agus Hamzah, Tim JPU KPK Mufti Irawan menanyakan keterangan Yamani dalam BAP (berita acara pemeriksaan) yang dijelaskan pada saat dipeyidik KPK pada Agustus 2018. Dalam BAP Yamani dijelaskan, bahwa uang yang diterimanya dari Dinas PU diberikannya secara langsung maupun melalui Hendry setyawan ke Bupati, Wakil Bupati, Ketua DPRD, Ketua Banggar DPRD, Aparat Penegak Hukum termasuk ke Hendry Setiawan sendiri juga menikmatinya.

Saksi Yamani membebenarkan semua pertanyaan JPU KPK Mufti Irawan. Yamani menjelaskan,  bahwa dirinya telah menyerahkan sejumlah duit “haram” itu yang totalnya ratusan juta perbulan sejak tahun 2015 hingga tahun 2018 ke pejabat Tulungagung diantaranya Maryoto Birowo (Wakil Bupati), Supriyono (Ketua DPRD), Indra Fauzai (Sekda), Hendry Setiyawan Kepala BPAKD Kab. Tulungagung dan Andik dari Polres Tulungagung melalui Kepala BPKAD Kabupaten Tulungagung Hendry Setiyawan.

Yamani mengatakan dihadapan Majelis Hakim, bahwa dirinya memberikan uang ke Aparat Penegak Hukum Polres Tulungagung yakni Andik yang sering datang ke kantor BPAD, dan ada juga yang diantarkan langsung oleh saksi bersama dengan Hendry Setiawan. Yamani menambahkan, bahwa setoran ke Paolres sebesar Rp125 juta per bulan.

“Itu ke Polres, Andik. Sering datang ke kantor meminta dokumen. Kalau ke Aparat penegak hukum, itu pertahun dan setiap bulan R125 juta. Saya pernah mengantar ke Polres sama Pak Hendty. Uang saya serahkan ke Pak Hendry,” kata Yamani terus terang, Kamis, 13 Desember 2018.

Keterangan saksi Yamani ini sama dengan isi dakwaan JPU KPK yang menjelaskan, bahwa pada tahun 2016, jumlah uang yang serahkan ke Aparat Penegak Hukum sebesar Rp1.1 miliyar lebih. Pada saat JPU KPK menanyakan saksi Yamani terkait sisa uang, Yamani mengakui sudah dikembalikannya ke KPK pada Agustus 2018.

Ketua Majelis Hakim Agus Hamzah pun menanyakan saksi Yamani terkait rincian yang dibuatnya dalam secarik kertas yang dibacakannya dalam persidangan.

“Darimana saudara bisa menjelaskan itu, kapan saudara mebuat itu, apakah ada catatan resmi penerimaan uang ?,” tanya Ketua Majelis. Yang dijawab oleh saksi, bahwa catatan itu dibuat pada saat dipenyidik KPK dari apa yang diingatnya terkait aliran uang yang diberikannya ke Aparat Pengak Huku, Ketua DPRD, Sekda, Kepala BPAKD.

“Di Jakarta Bapak, bulanAgustus 2018. Perkiraan saja Bapak, tidak ada catatan resmi Bapak,” jawab saksi Yamani.

Yamani juga mengatakan, bahwa uang yang diserahkannya ke Ketua DPRD juga pertahun, yang menurut saksi diberikannya di awal tahun pada bulan Pebruari. Yamani menjelaskan atas pertanyaan JPU KPK Mufti Irawan, bahwa pada saat ketuk palu atau pengesahan anggaran APBD Kabupaten Tulungagung, saksi Yamani juga sering diatangi untuk meminta duit, namun saksi Yamani lupa sejak kapan.

“Ke DPRD pertahun Bapak. Ya, pernah didatangi, saya lupa,” jawab saksi kepada Majelis Hakim menjawab pertanyaan JPU KPK.

Apa yang dijelaskan Yamani tak dibantah oleh Hendry Setyawan. Hendry Setuyawan meng-Ya-kan saat Ketua Majelis Hakim menanyakan saksi Hendry Setyawan atas penjelasan Yamani.

Selain itu, Hendry juga mengakui, setelah pelantikan Syahri Mulyo sebagai Bupati Tulungagung periode 2013 - 2018 pada tanggal 24 April 2013, Sutrisno bersama-sama dengan Sudigdo Prasetyo selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tulungagung dan Hendy Setyawan selaku Kepala BPKAD Kabupaten Tulungagung menemui Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur.

“Untuk apa menemui Kepala Bapeda. Apakah benar kalau terdakwa (Syahri Mulyo) mengatakan, “Sudah ya, pintu sudah saya buka. Nanti untuk tindak Ianjutnya silahkan urus bersama-sama dengan Bappeda”, tanya JPU KPK Mufti Irawan.

“Untuk mendapatkan dukungan pembangunan di Kabupaten Tulungagung,” jawab saksi Hendry Setyawan. Namun saksi menjawab tidak atau apa yang disampaikan oleh terdakwa Syahri Mulyo terhadap Sutrisno, karena menurut saksi, pada saat pulang menggunakan kendaraan sendiri.

Sementara keterangan Indra Fauzai selaku Sekda tak jujur saat ditanya tentang uang yang diterimya. Namun dari cara pebat penting di Kabupaten Tulungagung ini menjawab pertanyaan JPU KPK maupun Majelis Hakim terlihat tidak tenang.

“Tidak ada, tapi kalau saya disuruh untuk mengembalikan akan saya kembalikan” jawab saksi Indra Fauzi.

Dari keterangan Indra Fauzi juga terubgkap, bahwa setoran ke Aparat Penegak Hukum adalah inisiatifnya, karena terdakwa Syahri Mulyo meminta agar dihentikan. Hal itu terungkap dari BAP Indra saat di penyidik KPK yang dibacakan oleh Penasehat Hukum terdakwa Syahrli Mulyo.

Yang lebih konyol lagi adalah keterangan Maryani selaku Kepala Dinas Perhubungan. Maryani ternya juga ikut menikmati uang “panas” dari proyek dari anggaran yang dikelolanya. Dari keterangannya mengungkapkan, bahwa dirinya menikmati sebesar Rp22 juta, sedangkan yang disetorkannya ke Bupati sebesar Rp30 juta.

“Saudara jujur. Dari uang yang saudara setorkan ke Bupati, berapa untuk saudara ?,” tanya JPU KPK Mufti Irawan.

“Sekitar 22 juta,” jawab Maryani. Namun saat ditanya kemudian, saksi menjawab sekitar 24 juta.

“Apakah saudara (Hendry Setiawan, Indra Fauzi dan Maryani) bersedia mengembalikan itu?,” jawab JPU KPK Mufti Irawan kemudian. Namun jawaban para saksi ini sepertinya tidak tegas menjawab apakan akan mengembalikan. Sedangkan Indra Fauzi tetap tidak mengakui kalau dirinya menerima uang suap beberapakali dari fee proyek. Namun Indra Fauzi megatakan akan mengembalikan.

Dari beberapa kali persidangan yang berlangsung termasuk hari ini (Kamis, 13 Desember 2018)  fakta yang terungkap adalah, bahwa BPKAD dan Sekda telah mengakui menerima uang aliran uang dari Dinas PUPR. Adanya peran Asosiasi/Kontraktor yakni Anjar Andrihartono, Wawan, Endro Basuki, Santoso sebagai koordinator 15 Asosiasi di Tulungagung. Selain itu, terungkap pula bahwa Kepala BPKAD Kabupaten Tulungagung mengurus bantuan Provinsi Jawa Timur untuk pembangunan di Kabupaten Tulungagung pada tahun 2015.

Belum lagi terkuaknya di persidangan, bahwa adanya permainan antara Bapeda dengan DPRD Tulungagung terkait dana Aspirasi yang nilainya sekitar Rp70 miliyar. Hal itu saat Penasehat Hukum terdakwa Sutrisno, Leonardus Sagala menanyakan Kepala Bapeda terkait pelaksanaan dana Aspirasi Dewan. Menurut Hendry Setiawan, bahwa dana Aspirasi itu ada di Bapeda.

Keterangan Sono selaku kontraktor yang mengerjakan beberapa proyek ABPD di Tulungagung tak mengakui kalau dirinya telah memberikan sejumlah uang sebagai fee kepada Bupati. Pada hal, dari keterangan beberapa saksi selaku pengurus Asosiasi di Tungagung menjelaskan kepada Majelis Hakim dalam persidangan, bahwa ada fee dari setiap proyek yang dikerjakan oleh kontraktor.

Sesuasi persidangan. Terkait setoran ke Aparat Penegak Hukum di Tulungagung, Kepada wartawan media ini terdakwa Syahri Mulyo mengatakan, bahwa dirinya tidak mengetaui hal itu. Alasannya, karena dirinya baru menjadi menjabat Birokrat.

“Saya tidak tau kalau itu ada. Saya kan bari di Birokrat. Ya mereka (saksi-saksi) yang atau. sudah dengar sendiri kan selama persidangan,” jawab terdakwa. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top