0
JPU KPK Joko Hermawan dan Ni Nengah Gina Saraswati
#Sidang Perkara Korupsi “Suap” Bupati Mojokerto; JPU KPK menghadirkan Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrantructure.Tbk dan Accont Manager Exteranal PT Telkom Indonesia Cabang Mojokerto#

beritakorupsi.co - Sidang kasus perkara Korupsi “suap” Bupati Mojokerto, Mustofa Kamal Pasha semakin membuka “kebobrokan” sisitim pemerintahan di Kabupuaten Mojokerto.

Masyarakat bisa membayangkan, pada tahun 2015, 11 Tower pemancar jaringan telepon seluler bisa berdiri menjulang tinggi dibagun oleh PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk di wilayah Kabupetan Mojokerto tanpa memiliki izin, sementara PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk sudah menerima sewa dari PT Telkom Indosenesia Cabang Mojokerto.

Setelah berdiri dan beroperasi, barulah Pemkab Mojokerto mengetahui kalau 11 Tower itu benar-benarbenar belum memiliki izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) maupun Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas beroperasinya Tower Telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (TBG) dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protellndo), yang kemudian dimanfaatkan oleh terdakwa Mustofa Kamal Pasha untuk “meraup” keuntungan pribadinya.

Sebab untuk mendapatkan Izin IPPR dan IMB, pengusaha harus menyediakan duit sebesar Rp2.420 miliyar dengan rincian, untuk fee terdakwa sebesar Rp200 juta per Tower dan Rp20 juta untuk iin UKL dan UPL. Belum lagi duit “haram” dari Izin-izin lainnya yang dikeluarkan Pemkab Mojokerto sebesar Rp850 juta.

Itu masih di tahun 2015, lalu bagaimana di tahun sebelumnya atau di tahun sesudahnya sejak terdakwa menjabat sebagai Bupati?. Apakah tidak ada pengusaha kelas bawah atau pengusaha kelas atas yang mengurus izin di Kabupaten Mojokerto?

Dan duit itulah dijadikan KPK sebagai “tiket” bagi Mustofa Kamal Pasha untuk masuk penjara. Karena duit yang diterima Mustofa Kamal Pasha selaku Bupati Mojokerto itu, melanggar aturan perundang-undanganundangan yang ada, diantaranya dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang tidak boleh menerima hadiah apapun yang berkaitan dengan jabatannya tanpa melaporkan ke KPK (Komisi Pembaratansan Korupsi) dalam waktu 30 hari kalender.

Terungkapnya 11 Tower yang berdiri tanpa ijin di Kabupaten Mojokerto itu dari keterangan Bos PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk saat dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Mustofa Kamal Pasha oleh JPU KPK Joko Hermawan dan Ni Nengah Gina Saraswati, kehadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya yang diketuai I Wayan Sosisawan dengan dibantu dua Hakim Anggota (Ad Hoc) yaitu Dr. Andriano dan John Dista., SH. Sementara terdakwa Mutofa Kamal Pasha didampingi Penasehat Humumnya, Mariam Fatimah dkk, dalam persidangan yang berlangsung di ruang sidang Cakra, pada Senin, 29 Oktober 2018.

Pada sidang sebelumnya juga terungkap, bahwa penerimaan duit “haram” di Dinas Perizinan Kabupatena Mojokerto hal biasa. Hal itu diungkapkan oleh Noerhono selaku Kepala Badan Perizinan di Kabupaten Mojkerto (15 Oktober 2018).

Senin, 29 Oktober 2018, JPU KPK Joko Hermawan dan Ni Nengah Gina Saraswati menghadirkan 5 orang saksi dari pihak PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk dan 1 (satu) dari PT Telkom Indonesia cabang Mojokerto, diantaranya 1. Herman Setya Budi, Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk dan Direktur Utaama PT Solu Sindo Kreasi Pratama),; 2. Budianto  Purwahjo (Direktur PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk, warga Jalan Buana Biru Besar II/7 Taman Permata Buana, Jakarta dan warga Jalan Pulau Bidadari I/33 Kembangan Utara, Jakarta Barat,; 3. Alexandra Yota Dharmawanti, Division Hand Finance and Treasury PT Tower Bersama Infrastuctur.Tbk (Tower Bersama Goup) berkantor di Gedung The  Convergance Indonesia, Kawasan Epicentrum, Rasuna Said Jakarta, warga Perumahan Beji Permai Blok T/3-4 Tanah Baru,Depok dan warga Jalan Cilandak KKO, Gang Cemara No 42 Jakarta,; 4. Sri Juliana Astuti (Cief Oof Priject dan Implemantation PT Tower Bersama Infrastuctur.Tbk, Epicentrum Jakarta,; 5. Mayta Trianti (Permint Officier PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk) yang berkantor di Tower Berama Group, By Pass Ngurah Rai, Bali,; 6. Komari, Karyawan PT Infomedia Solusi Humanika bagian Accunt Manager Exeteral PT Telkom Indonesia Cabang Mojkerto)

Kepada Majelis Hakim. Bos PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk ini mengakui, bahwa 11 Tower yang berdiri di Kabupaten Mojokerto pada tahun 2015 lalu, belum mendapatkan izin IMB maupun izin IPPR, namun sudah menerima sewa dari pihak PT Telkom Indosesia sebesar Rp200 juta untuk 1 (satu) Tower.

“Belum ada ijinnya,” jawab Herman Setya Budi kepada Majelis Hakim

Namun yang membuat kaget sakasi dari PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk ini adalah saat anggota Majelis Hakim Dr. Andriano menanyakan tentang SOP antara PT PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk dengan PT Telkom Indonesia Cabang Mojkerto.

Tidak hanya itu. Majelis Hakim Dr. Andriano juga mempertanyakan, sudah berapa banyak tower yang dibangun di Indonesia. Dan pertanyaan Majelis Hakim itupun tidak dapat dijelaskan oleh saksi. Sehingga Majelis Hakim memerintahkan agar saksi dihadirkan kembali dengan membawa surat perjanjian konterak kerja, untuk mengetahui SOP kedua perusahaan yang menjalin kerjasama pembangunan Tower tersebut.

Usai persidangan, JPU KPK Joko Hermawan kembali menjelakan, bahwa 11 Tower berdiri tanpa memiliki izin, tetapi sudah menerima sewa sebesar Rp200 juta untuk 1 Tower.
Herman Setya Budi, Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk dan Direktur Utaama PT Solu Sindo Kreasi Pratama),; 2. Budianto  Purwahjo (Direktur PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk,; 3. Alexandra Yota Dharmawanti, Division Hand Finance and Treasury PT Tower Bersama Infrastuctur.Tbk (Tower Bersama Goup),; 4. Sri Juliana Astuti (Cief Oof Priject dan Implemantation PT Tower Bersama Infrastuctur.Tbk, Epicentrum Jakarta,; 5. Mayta Trianti (Permint Officier PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk), dan 6. Komari, Karyawan PT Infomedia Solusi Humanika bagian Accunt Manager Exeteral PT Telkom Indonesia Cabang Mojkerto)
“Ya itu tadi kan, saya tanya ulang-ulang. 11 Tower belum ada izin tetapi sudah menerima sewa dari PT Telkom.,” kata JPU KPK.

Pada siang pekan lalu, JPU KPK Djoko Hermawan kepada wartawan media ini menjelaskan, bahwa dakwaan terkait perizinan dan pembongkaran serta biaya perizinan sudah terbukti dari keterangan saksi.

“Kalau itu Pak Nurwono selaku Kepala Badan Perijinan, menyerahkan uang ke Pak Susanto,  Kepala Dinas Pendidikan, di mana uang sebesar Rp850 juta berasal dari perizinan perizinan.  Untuk urusa perizinan yang ditunju ada tiga orang, yaitu Lutfi, Nurwono dan Susanto. Jadi yang 850 juta ini diserahkan ke Pak Santoso, sesuai komunikasi antara Pak Nurwono dan Santoso. Dari keterangannya tadi kan dikatakan, sudah diserahkan langsung ke Bupati, pagi itu. Kemudian uang itu diserahkan ke Bu Marta. Dan uang perizinan Kabupaten Jokoerto ini sudah tradisi-tradisi di Dinas Perijinan,” kata JPU KPK Djoko.

Sedangkan mengenai biaya resmi pengurusan izin IMB antara 5 -7 juta rupiah, dan izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) non retribusi. Tetapi yang diminta terdakwa ini adalah sebesar Rp200 juta untuk 1 izin.

“Kalau biaya resmi pengurusan IMB antara 5 sampai 7 juta, IPPR ini non retribusi atau gratis. Kalau yang 850 juta itu, uang yang terkumpul dari perizinan perizinan lain. Nah, sementara dakwaan kita kan mengenai izin Tower TBG dan Protellndo. Tapi saksi Pak Nurwono mengatakan kalau untuk biaya Tower diminta 200 juta,” ujar JPU KPK Djoko Hermawan.

Saat ditanya lebih lanjut, apakah KPK akan menindaklanjuti keterangan saksi-saksi, di mana para saksi ini terlibat langsung penarikan uang “haram” itu, termasuk Kepala Sat Pol PP selaku aparat penegak hukum pelaksana Perda. JPU KPK Djoko Hermawan menjelaskan, bahwa dirinya adalah sebagai Jaksa Penuntut Umum yang akan membuktikan dakwaannya. Pun demikian, setiap persidangan akan melaporkannya sesuai fakta persidangan.

JPU KPK Djoko Hermawan menambahkan, bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada paragraf pertama mengenai izin dan kemudian merobohkan serta paragraf kedua mengenai biaya terbukti dari keterangan saksi.

“Kita sebagai Jaksa Penuntut Umum hanya ingin membuktikan dakwaan kita, terkait uang suap yang diterima oleh terdakwa yang berkaitan dengan perizinan. Dari keterangan saksi, dakwaan kita di paragraf pertama dan kedua terbukti. Semua akan kita laporkan sesuai fakta persidangan,  setiap siang kita kan pasti buat laporan,” ujar JPU KPK Djoko Hermawan.

Terkait sprindik baru dalam kasus yang akan menjerat terdakwa adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sesuai dengan UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, kasus yang Korupsi suap yang menejrat orang nomor satu di Kabupaten Mojkerto ini bermuala  pada awal tahun 2015 lalu, saat terdakwa Mustofa Kamal Pasha mendapat laporan dari Suharsono selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kabupaten Mojokerto.

Laporan dari Suharsono kepada terdakwa, bahwa di wilayah Kabupaten Mojokerto banyak ditemukan Tower Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum memiliki IPPR dan IMB. Atas laporan itu, terdakwa memerintahkan untuk dilakukan pemetaan dan pendataan untuk jumlah Tower Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto yang belum memiliki izin.

Menindaklanjuti perintah terdakwa, Suharsono melakukan pemetaan dan menemukan ada sekitar 22 tower Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum memiliki IPPR dan IMB yakni 11 atas nama perusahaan PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (PT TBG) dan 11 atas nama PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT Protelindo). Atas temuan tersebut, Suharsono melaporkan kepada Terdakwa, dimana Terdakwa kemudian memerintahkan agar dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut sampai ada IPPR dan IMB.

Setelah dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut, terdakwa memerintahkan Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto, terkait perijinan dari tower dimaksud harus ada fee untuk terdakwa sebesar Rp200 juta per towernya, dan fee tersebut agar diserahkan melalui orang kepercayaan terdakwa yakni Nano Santoso Hudiarti alias Nono.

Untuk kepentingan pemberian rekomendasi IPPR dan IMB, terdakwa menerima fee sebagai berikut.: a. Penerimaan fee dari PT Tower Bersama Infrastructure Tower Bersama Grup (TBG) Beberapa hari setelah dilakukan penyegelan terhadap 11 tower telekomunikasi milik PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Group (TBG). Sekitar awal tahun 2015, Ockyanto  meminta bantuan Nabiel Titawano untuk mengurus perizinan atas 11 tower yang disegel tersebut, dimana dalam perjalanannya, pengurusan perijinan dibantu oleh Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro

Dalam rangka pengurusan ijin tower tersebut, sekitar bulan April 2015, Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro melakukan pertemuan dengan Bambang Hahyudi. Dalam pertemuan itu,  Bambang Hahyudi menyampaikan untuk mendapatkan IPPR dan IMB harus disediakan fee sebesar Rp220 juta per tower dengan rincian;  Rp200 juta untuk terdakwa dan Rp20 untuk UKL dan UKP. Sehingga fee untuk 11 tower yang harus disiapkan adalah sebesar Rp2.420 milliar.

Permintaan itu disanggupi Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro, dan akan disampaikan kepada Nabiel Titawano selaku pihak yang mewakili PT TBG. Beberapa hari setelah pertemuan, Agus Suharyanto menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Nabiel Titawano dan disepakati oleh Nabiel Titawano.

Selanjutnya Nabiel Titawano menemui Ockyanto menyampaikan, bahwa ia sanggup mengurus ijin tower, tetapi harus disiapkan fee untuk terdakwa sekaligus biaya operasional seluruhnya sebesar Rp2.600 milliar, dengan perhitungan per towernya sebesar Rp260 juta, dan disepakati Ockyanto, setelah berbicara dengan Herman Setyabudi selaku Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastructure.

Pada bulan Juni 2015, Ockyanto menyerahkan uang seluruhnya sebesar Rp2.600 milyar kepada Nabiel Titawano melalui transfer ke Rekening Bank BCA cabang Pondok Indah Nomor rekening 04980347678 atas nama Nabiel Titawano dalam tiga tahap yakni ; Tanggal 10 Juni 2015 sebesar Rp780 juta; Tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp780 juta rupiah); Tanggal 30 Juni 2015 sebesar Rp1.040 milyar.

Dari total uang sebesar Rp2.600 milyar yang diterima Nabiel Titawano tersebut, sebesar Rp2.410 milyar diserahkan kepada Agus Suharyanto secara bertahap, yakni  I. Sekitar awal bulan Juni  2015 diberikan secara tunai sebesar Rp220 juta,; 2. Tanggal 11 Juni 2015 melalul transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp350 juta,; 3. Tanggal 11 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp300 juta,; 4. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 5. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 6. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia  dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 7. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 8. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 9. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia  dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 10.Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Vici Dwi Indarta sebesar Rp220 .juta. Sedangkan sebesar Rp190 juta dinikmati Nabiel Titawano.

Dari total uang yang diterima Agus Suharyanto seluruhnya sebesar Rp2.410 milliar itu, kemudian diserahkannya kepada Moh. Ali Kuncoro secara bertahap, dengan rincian sebagai berikut : 1. Awal Juni 2015 rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Awal Juni 2015 di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto sebesar Rp200 juta,; 3. Pertengahan Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 4. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar. Sedangkan sebesar Rp10 juta dinikmati Agus Suharyanto.

Dari total uang yang diterima Moh. Ali Kuncoro sebesar Rp2.400 milliar, dan Rp2.200 milliar  diserahkan kepada Bambang Hayudi yaitu : 1. Tanggal 11 Juni 2015 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dlanggu, Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Tanggal 17 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 3. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar.

Sedangkan sebesar Rp100 juta diserahkan kepada Khoiru; Munif selaku Kepala Bidang Pelayanan Perizinan Terpadu yang mengurusi masalah pembayaran retribusi IMB, dan sebesar Rp100 .juta dinikmati Moh. Ali Kuncoro.

Sesuai perintah terdakwa, Bambang Wahyudi kemudian menyerahkan uang fee sebesar Rp2.200 milliar kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono secara bertahap yakni : 1. Sebesar Rp600 juta  diserahkan di parkiran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo, pada bulan Juni 2015,; 2. Sebesar Rp600 juta diserahkan di sekitar masjid di daerah Merr, Mojokerto, pada bulan Juni 2015,; 3. Sebesar Rp1 milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing, Mojokerto, pada tanggal 30 Juni 2015

Selanjutnya Nano Santoso Hudiarti alias Nono, atas perintah terdakwa menyerahkan fee itu kepada Lutfi Arif Muttaqin selaku ajudan terdakwa secara bertahap yakni ; 1. Sebesar Rp600 juta diserahkan di parklran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo,; 2. Sebesar Rp600 juta  diserahkan di sekitar masjid di daerah Meri, Mojokerto,; 3. Sebesar Rp1 milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing Mojokerto. Setelah menerima fee tersebut, Lutfi Arif Muttaqin menyimpannya di rumah dinas terdakwa dan setelah itu melaporkannya kepada terdakwa.

Setelah merima fee, terdakwa kemudian mengeluarkan 11 Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan 10 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di beberapa Desa dan beberapa Kecamatan Kabupaten Mojokerto, atas tower telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastucture/Tower Bersama Grup (TBG) yang diajukan oleh Herman Setya Budi dari PT Sulusindo Pratama antara bulan Juni hingga Juli 2015.

b. Penerimaan uang dari PT Protelindo atas penyegelan 11 tower telekomunikasi PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), Onggo Wijaya memerintahkan Indra Mardani dan Suciratin untuk menyelesaikannya, kemudian Indra Mardani dan Suciratin meminta bantuan Ahmad Suhawi, dimana Ahmad Suhawi menyanggupinya asal disediakan biaya termasuk fee untuk terdakwa. Akhirnya disepakati biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk terdakwa seluruhnya sebesar Rp3.030.612.247 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah).

Setelah ada kesepakatan, pada awal bulan Juni 2015, Ahmad Suhawi menemui terdakwa di Vila milik terdakwa, meminta bantuan terkait penyegelan tower telekomunikasi milik PT Protelindo, dimana terdakwa menyampaikan agar diurus melalui BPTPM Kabupaten Mojokerto. Setelah pertemuan itu, Ahmad Suhawi menemui Bambang Hayudi di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto, menanyakan tentang penyegelan tower telekomunikasi PT Protelido, Ialu Bambang Hayudi menyanggupinya.

Pada tanggal 22 Oktober 2015 sebesar Rp275.510.204 (dua ratus tujuh puluh lima juta lima ratus sepuluh ribu dua ratus empat rupiah). Dari total uang yang diterima Ahmad Suhawi sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) itu, sebesar Rp2.460 milliar diberikan kepada Subhan secara bertahap melalui cek dan melalui transfer dengan rincian sebagai berikut :

1. Tanggal 16 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Utami Surabaya,; 2. tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Mercure Surabaya,; 3. tanggal 23 Juni 2015 sebesar Rp150 juta di Bank BRI Cabang Jembatan Merah Surabaya,; 4. tanggal 25 Juni 2015 secara tunai sebesar Rp850 juta di Bank BRI Mojokerto Cabang Mojopahit,; 5. 17 September 2015 melalui cek sebesar Rp460 juta di Gedung Bidakara. Sedangkan sisanya sebesar Rp570.612.255 (lima ratus tujuh puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) dinikmati Ahmad Suhawi

Sebelum Ahmad Subhan menerima uang dari Ahmad Suhawi, yakni pada tanggal 20 Mei 2015, Subhan menemui Bambang Hayudi dan menyampaiakan bahwa PT. Protelindo sanggup memberikan uang untuk biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk terdakwa sebesar  Rp2.200 milliar, atau sebesar Rp200 juta per towernya, dan la akan memberikan uang muka terlebih dahulu sebesar Rp550 juta kepada terdakwa. Setelah pertemuan itu, Bambang Hayudi meminta Khoirul Munif untuk segera memfinalisasi berkas permohonan pengurusan 11 Izin tower telekomunikasi milik Protelindo.

Pada tanggal 24 Juni 2015, Bambang Hayudi menemui terdakwa di ruang kerjanya, mengajukan permohonan rekomendasi pendirian 11 menara (tower) telekomunikasi dari PT  Protelindo guna mendapatkan disposisi dari terdakwa. Sebelum memberikan disposisi, terdakwa menanyakan fee sebagaimana pernah disampaikan sebelumnya kepada Bambang Hayudi, dan mendapat jawaban uang fee telah disanggup

Pada tanggal 25 Juni 2015, Subhan dan Ahmad Suhawai melakukan pertemuan dengan Bambang Hahyudi di perumahan Griya Permata Meri Mojokerto, guna menyerahkan uang muka sebesar Rp550 juta sebagai fee untuk terdakwa. Atas perintah Terdakwa sebelumnya agar uang fee diserahkan melalui Nano Santoso Hudiarti alias Nono, maka Bambang Hayudi kemudian menghubungi Nano Santoso Hudiarti alias Nono meminta datang ke perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto guna mengambil uang tersebut. Sesampainya Nano Santoso Hudiarti alias Nono ditempat tersebut, Subhan kemudian menyerahkan uang sebesar Rp550 juta kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono.

Setelah menerima uang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono meminta Lutfi Arif Muttaqim untuk  menemuinya di daerah Mojosari Mojokerto, dan setelah Lutfi Arif Muttaqim datang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono menyerahkan uang sebesar Rp550 .juta itu kepada Lutfi Arif Muttaqim, dan uang itu kemudian  kemudian disimpan Lutfi Arif Muttaqim di meja kerja ruang dinas terdakwa, dan melaporkanya. Setelah uang diterima terdakwa, Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas 11 tower telekomunikasi PT Protelindo itupun diterbitkan.

Bahwa terdakwa mengetahui atau patut menduga, bahwa uang seluruhnya sebesar Rp2.750.000.000 (dua milyar tujuh ratus lima puluh juta ruplah) yang diterimanya dari  Ockyanto sebesar Rp2.200.000.000 (dua milyar dua ratusjuta rupiah) dan dari Onggo Wijaya sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) melalui Bambang Wahyudi, Nano Santoso Hudiarti alias Nono dan Lutfi Arif Muttaqim.

Uang tersebut diberikan supaya terdakwa selaku Bupati Mojokerto memberikan rekomendasi terbitnya Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izln Mendlrikan Bangunan (IMB) atas beroperasinya Tower Telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (TBG) dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protellndo) di wilayah kabupaten Mojokerto.

Atas perbuatannya, terdakwa Mustofa Kamal Pasha pun dijerat dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun, sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 12 huruf a (atau pasal 11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagalmana telah dlubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tlndak Pidana Korupsl juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top