#Terdakwa mengaku merasa dijebak, karena terdakwa dianggap menggalkan modus oknum Polisi yang akan meminta uang 10% dari sangsi UU No. 32/2009, terhadap Perusahaan yang dianggap tidak mengolah Limbah B3 di Sidoarjo#
beritakorupsi.co – Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Satgas Saber Pungli berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), pada 20 Oktober 2016, sepertinya “bisa dijadikan permainan hukum”, seperti yang terjadi di Surabaya apada Maret lalu.
Sebab, bila Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan Tim Satgas Saber Pungli hanya terhadap 1 (Satu) orang saja, yang diduga sebagai penerima uang “suap” atau sebagai uang pungutan liar, karena si penerima adalah pegawai negeri spil (PNS). Ini tak ubahnya, kasus narkoba (Narkotik dan Obat-batan, UU RI No. 35/2009) jenis Sabu-sabu atau pelaku judi togel (toto gelap) maupun judi online.
Seperti yang dilakukan Tim Satgas Saber Pungli Polrestabes Surabaya dalam Operasi Tangkap Tangan terhadap Dina Karandina, staf pengawasan di Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Pemkab Sidoarjo, Jawa Timur di Hotel JW Mariot, Jalan Embongmalang Surabaya, pada Kamis, 23 Maret 2017.
Saat itu, petugs Tim Saber Pungli Polrestabes Surabaya hanya menangkap Dina Karandin dengan barang bukti berupa uang sebesar Rp 25 juta. Ia pun dijerat dengan pasal 12 huruf e Undang-Undang RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun.
Pasal 12; Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Huruf e; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Masyarakat pun bertanya-tanya ingin tahu, dari siapa Dina Karandina menerima uang tersebut ? Mengapa petugas Saber Pungli Polrestabes Surabaya tidak turut menangkap oknum sipemberi uang ? Apakah pertemuan Dina Karandina dengan si pemberi uang di Hotel bintang 5 itu hanya sekedar pertemuan biasa untuk penyerahan uang ?.
Atau, mengapa hingga hari ini, petugas Satgas Saber Pungli Polrestabes Surabaya dan Jaksa Penuntut Umum dari Kejari Surabaya, tidak dapat mengadirkan oknum sipemberi uang sebagai saksi di persidangan, agar kasus yang menjerat wanita berkerudung ini jelas serta terang benderang.
Anehnya, oknum si pemberi uang pun hingga saat ini menjadi “misterius”.
Ironisnya, media pun sepertinya turut “terhipnotis” saat kasus OTT ini mencuat kepublik. Sebab, “tak satu pun media” yang mempublikasikan siapa nama pemberi uang dan bagaimana statusnya ?. Pemberitaan yang ada, bahwa uang yang diterima terdakwa adalah untuk biaya pengurusan ijin UKL, UPL dan IMB dari sipemohon. Namun entah siapa dan perushaan mana yang memohon ijin dimaksud, juga “tak jelas”.
Tak heran memang, sebelum kasus ini dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Surabaya oleh JPU, Kajari Surabaya sempat mengembalikan berkas perkaranya sebanyak Dua kali kepada penyidik Polrestabes Surabaya.
Yang lebih anehnya, “ibarat ucapan, malu-malu tapi mau”. Sebab Kejari Surabaya akhirnya menerima juga pelimpahan perkara kasus OTT ini dari penyidik Polrestabes Surabaya dengan tersangka TUNGGAL, yakni Dina Karandina.
Saat ini, setelah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya, terdakwa tunggal kasus OTT Dina Karandina, dituntut pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan. JPU menjeratnya dengan pasal 11 Undang-Undang RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun
Pasal 11; Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Usai persidanagan, terdakwa Dina Karandina pun bercerita kepada wartawan media ini dari balik jeruji besi ruang tahanan Pengadilan Tipikor Surabaya, terkait tuntutan Jaksa atas kasus yang menimpa dirinya.
Menurut terdakwa, dirinya merasa dijebak jauh sebelum terjadi penangkapan. Dina Karandina pun heran, sebab hingga saat ini “Andi Pramono”, sipemberi uang tak pernah dihadirkan dipersidangan. Pada hal, saat petugas Satgas Saber Pungli Polrestabes Surabaya menangkap dirinya, pada Kamis, 23 Maret 2017 sekitar pukul 12.00 WIB, 5 menit setelah menerima uang dari “Andi Pramono” sebesar Rp 25 juta di Hotel JW Mariot Suarabaya.
“Saya dituntut satu tahun enam bulan. Tapi Andi Pramono tidak pernah dihadirkan kepersidangan,” ucap Dina Karandina atau yang akrab disapa Dina.
Kecurigaan terdakwa, adalah sejak dirinya menerima disposisi dari atasannya selaku Kepala Bidang (Kabid) di Dinas Lingkungan Hidup. Yang menurut terdakwa selama menjadi PNS, belum pernah seorang bawahan menerima disposisi langsung jauh sebelum jadwal waktu pelatihan, mengingat erat kaitannya dengan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas).
“Saya juga sudah merasa curiga dan heran sebelumnya. Saya merasa dijebak. Saya ke Hotel JW Mariot tanggal 23 (23 Maret 2017) mengikuti pelatihan. Tapi saya heran, karena sebelum mengikuti kegaiatan, saya sudah menerima disposisi jauh-jauh hari, yaitu tanggal 3 Maret. Saya sejak awal jadi PNS sudah di Dinas Lingkungan Hidup. Menurut hemat saya, bawahan itu belum pernah di disposisi jauh-jauh hari sama pimpinan yaitu Bu Endang, selaku Kepala Bidang. Kalu yang dulu sudah pindah,” beber Dina dengan rasa takut.
“Yang lucunya lagi, siapapun atasan, kalau SPPD biasanya kalau untuk staf seperti saya bawahan misalnya mau keluar kota atau ke Jakarta, itu akan diturunkan didetik-detik terakhir, nggak mungkin langsung pertama karena erat kaitannya ada SPPD. Sampai saya tanya tiga kali Kabid saya. “Bu, benar ta saya yang berangkat”. Karena saya pernah dapat info dari Sucofindo, tentang kita mau ada program untuk tanggap darurat Limbah B3, saya yang mengidekan waktu itu. Perkiraan Sucofindo itu saya yang hadir. Tapi karena atasan itu ngerti dengan perjalanan dinas, dibudali (berangkat) sama mereka. Mereka kaya curiga. Saya ditanya, “Dek, kog nggak mudun nang aku, pingin budal dewe ta (Dek..kenapa nggak diturunkan ke saya, mau berangkat sendiri ya), ya saya jawab nggak Bu, monggo kalau Bu Endang mau berangkat (nggak Bu, silahkan kalau Bu Enang mau brerangkat). Kog bisa seperti itu, tapi ini nggak. Nah disitu saya mulai curiganya,” lanjut Dina.
Dina pun merasa kalau kasus yang menimpanya erat kaitannya dengan kegagalan oknum polisi yang hendak meminta uang dari perushaan yang dianggap tidak mengolah limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) sesuai UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan PP (Peraturan Pemerintah) RI No. 101 Tahun 2014 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang sangsi dendanya paling banyak sebesar Rp 3 millyar.
“Saya merasa ini dendam, karena saya sering menggalkan oknum polisi yang akan meminta uang dari perusahaan yang dianggap melanggar PP tentang limbah B3. Saya sering melakukan pengawasan dan memberikan penyuluhan terhadap perusahaan. Dan mereka pernah menyampaikan," ujar Dina
"Kalau mereka ditarik sepuluh persen dari sanksi PP tentang B3. Sangsi dalam PP tentang limbah B3 kan tiga miliyar, kalau sepuluh persennya tigaratus juta. Saya dianggap menggagalkan aksi mereka. Saya kan orang teknis, saya hanya benar-benar bekerja memberikan penyuluhan. Saya memang staf tapi pengawas. Disana itu ada perusahaan yang kena modus polisi, kalau ada perusahaan yag tidak mengolah limbah B3. Bukan mereka melalaikan tetapi karena mereka tidak mengerti. Sebagai pengawasan, saya memberikan penyuluhan agar mereka mau mengurus tetapi lewat teman, saya hanya murni untuk memberikan masukan, tapi bukan saya yang mengerjakan tapi saya kasih ke orang lain. Ada satu oknum polisi dari Polres Sidoarjo, yang sering menemui perusahaan yang dianggap tidak mengolah limbah B3, kalau nggak benar biasanya dimintai sepuluh persen dari Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup. Kalau ada perusahaan yang tidak mengolah limba B3 dendanya kan tiga miliyar, sepuluh persennya berapa, tiga ratus juta kan,” kata Dina mengungkapkan.
Saat ditanya nama oknum dan perusahaan tersebut, Dina tak menjawab. Dengan raut wajah ketakutan, tidak bersedia menyebut nama perusahaan yang dimaksud.
”Ndak…. Perusahannya nggak ngomong, tapi banyak perusahaan yang gitu,” ucap Dina dengan rasa takut.
Saat ditanya, apakah pejabat Dinas Lingkungan Hidup pernah menerima sesuatu dari perusahaan yang diduga tidak mengelolah limba B3 ?. Menurut terdakwa pernah.
“Filling saya pernah, saya staff tapi pengawas, waktu itu kabitnya yang lama sudah pindah ke dinas kelautan, saya takut kena karma,” kata terdakwa dengan rasa takut untuk menyebutkan nama-nama yang diduga bermain dibelakangnya, terkait perusahaan yang tidak mengolah limbah B3, hingga dirinya terjerat dalam operasi tangkap tangan.
Terkait nama “Andi Pramono”, menurut terdakwa tidak dikenalnya sama sekali. Terdakwa mengaku mendapat telefon dari Andi Pramono. Menurut “Andi Pramono”, Nomer handphone terdakwa diperoleh dari seorang customer service di Sidoarjo, untuk mencari pelanggan. Padahal menurut terdakwa, dirinya tidak pernah memberikan Nomor HP=nya ke orang yang tidak dienalnya apalgai bercerita.
“Saya tidak kenal sama sekali. Saya ditelefon Andi Pramono, katanya Nomor saya dia dapat dari cutomer service di Sidoarjo. Padahal saya tidak pernah ngomong dengan siapapun. Andi Pramono menghubungi saya untuk memberikan pekerjaan. Pernah bertemu di Sutos tapi saya menolak karena data yang diberikannya tidak lengkap. Saya pernah dipaksa diberikan uang, tapi saya menolak karena itu, karena datanya kurang lengkap. Terus, dia kembali menelefon saya dan bertemu di MC. Donals Surya Purya Jaya di sidoarjo saat malam hari, untuk memberikan pekerjaan di daerah Gersik, tapi bukan saya yang akan mengerjakan tapi akan saya kasih ke teman, saya hanya memberikan masukan. Karena untuk industry atau sebuah gudang, sehingga saya mau. Nah, pada hari seninnya (27 Maret 2-17) mau saya surve. Kamisnya (23 Maret 2017) Dia (Andi Pramono) memaksa saya, dia beriakn uang DP, saya gak mau tapi saya dipaksa. Pas jam istirahat, dia menemui saya di Hotel JW. Mariot, dengan memaksa diberikan uang sebesar Rp 25 juta. Lima menit setelah Andi Pramono memberikan uang itu, saat saya naik untu mengikuti pelatihan lagi, saya dipepet oleh petugas terus ditangkap,” kenag Dina.
Dari apa yang diceritakan terdakwa, apakah “Andi Pramono” adalah seorang oknum atau suruhan ? Sehingga, sosok Andi Pramono menjadi misterius, ibarat sebuah “Film Horror”.
Menurut Penasehat Hukum terdakwa Yuliana, nama Andi Pramono tidak masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) apalagi tidak dihadirkan sebagai saksi si pemberi uang di Persidangan, seperti kasus-kasus OTT yang saat ini sedang di sidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya, diantaranya OTT Dinas Disperindag Kabupatena Jember, OTT BPN Kota Batu, Malang, OTT PT PAL, OTT Dnias Pertanian dan Ketahanan Pangan dan Dinas Peternakan Jatim dengan Ketua Komisi B DPRD Jatim, OTT Dinas PUPR Kota Mojokerto dengan Ketua DPRD Kota Mojokerto, OTT BPN Surabaya II. Dimana si penerima maupun sipemberi, sangat jelas “tubuhnya” duduk di kursi panas Pengadilan Tipikor Surabaya.
"Pembelaan minggu depan. Tidak masuk dalam daftar DPO," ucap Yuli. (Redaksi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Tulias alamat email :