beritakorupsi.co - Achmad Taufik Rahman selaku Kasi Pidsus Kejari Magetan sekaligus sebagai JPU dalam sidang perkara kasus Korupsi pengadaan sepatu untuk pegawai di lingkungan Kabupaten Magetan tahun 2014 lalu, yang menelan anggaran dari APBD sebesar Rp 1,2 milliyar dan merugikan keuangan negara senilai Rp Rp 101.590.203, menanggapi pemerintaan media ini, yang dianggap menyudutkan Institusinya.
Menurut Taufik, kasus perkara Korupsi pengadaan sepatu untuk PNS dilingkungan Pemda Magetan, yang saat ini disidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya dengan terdakwa mantan Kepala Babeda dan Litbang Sumarjoko, adalah lanjutan dari sidang jilid I, yang sudah ada sebelum dirinya masuk ke Kejari Magetan.
“Yusuf sebagai penyedia, kalau perkaranya Yusuf sudah diputus. Kemudian banding lah Yusuf ini. Mengapa saya mencari tersangka baru. karena nama masing-masing SKPD pada saat pemeriksaan Yusuf itu, tidak pernah mengusulkan pengadaan. Ini kan PR, bukan saya penyidiknya, saya hanya melanjutkan. Sebenarnya, awalnya ia, harus dari pihak pemerintah selaku pemilik modal, barulah ke Yusuf masuk di pasal 55-nya. Biasanya kalau pengadaan barang jasa itu, pihak pemerintah dulu selaku pemilik modal, ternyata pada saat saya masuk sudah pihak penyedia,” kata Taufik menjelaskan seusai sidang perkara Korupsi RSUD dr. Syaidiman Magetan, pada Selasa, 24 Oktober 2017.
Pada hal, pertanyaannya sebenarnya singkat, sesuai dengan dakwaan ke terdakwa Marjoko, yaitu kalau pengadaan sepatu dikatakan tidak sesuai dengan spesifikasi berdasarkan Perpres 54 tahun 2010 sebagaimana diubah dengan Perpres 70 tahun 2012 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah, apakah kesalahan itu hanya satu orang atau semua panitia pengadaan termasuk KPA, PPKm, PPTK dan PPHB karena mereka sama-sama menerima upah dari kegiatan ?
Namun Taufik sempat mengelak, bahwa bukan masalah Spesifikasi yang dituduhkan ke terdakwa. Namun akhirnya tuduhan atau dakwaan masalah Spesifikasipun pun diakui. Tidak hanya itu, Taufik juga mengakui setelah penjelasan panjang lebar. Bahwa, kesalah Spesifikasi adalah tanggungjawaab seluruhnya.
“Bukan spesifikasi yang dituduhkan ke Yusuf, tapi masalah mark up. Kalau spesifikasi ke Pak mardjoko atau terdakwa. Ini adalah PR, seharusnya dilelang karena anggarannya 1 miliar lebih. Ini dipecah ke masing-masing SKPD sama Bappeda. Penuntutannya untuk SKPD dan Kecamatan. Kalau Rumah Sakit itu, tidak masuk dalam SKPD, Itu di llingkup BUMD yang terpisah, dia mengelolah sendiri termasuk menggaji pegawai dan lainnya,” ujarnya.
Taufik melanjutkan, bahwa kesalahannya di masing-masing SKPD yang tidak pernah mengusulkan pengadaan sepetu, tetapi harus melaksanakan karena sudah masuk di mata anggaran. Lalu pertanyaannya, bila SKPD-SKPD tidak pernah mengajukan pengadaan Sepatu tetapi masuk kedalam mata anggaran, siapa yang bertanggung jawab ? apakah untuk mengetahuinya harus melalui keterangan saksi di Persidangan, atau di saat penyidikan ?
“Kesalahanyan sekarang, masing-masing SKPD ini tidak pernah mengajukan anggaran. Menurut Pemda ini di bagian umum. Harus bagian umum yang mengadakan karena seragam beserta perlengkapannya, ini harus satu kesatuan berdasarkan Pergub. Sedangkan sepatu, adalah salah satu kelengkapan seragam dinas. Lazimnya dilakukan oleh bagian umum untuk pengadaan barang dan jasa. Sekarang untuk pengadaan sepatu diserahkan ke masing-masing SKPD. Pertanyaan apakah ada persetujuan Dewan dalam anggaran itu, nanti akan dijelaskan TAPD (tim anggaran Pemerintah Daerah) yang akan menjelaskannya minggu depan,” ujar Taufik.
Wartawan media ini pun kembali menanyakkan pertanyaan awal dalam surat dakwaan JPU ke terdakwa Sumarjoko, yakni mengenai Spesifikasi yang mengkibatkan terjadinya kerugian negara, apakah hanya tanggung jawab seorang atau seleruh panitia pengadaan harsus bertanggungjawab secara hukum. Taufik mengatakan, yang bertanggungjawab semua.
“Semua. Mengapa saya tidak sekaligus mencopot mereka-mereka ini, karena mereka ini melaksanakan anggaran benar atau tidak yang dilakukan. Dia tidak pernah mengadakan, itu masalahnya. Dia hanya melaksanakan karena sudah masuk dalam mata anggarannya tapi tidak pernah mengusulkan. Saya tidak pernah membicarakan Spesifikasi karena sudah ada Surat Edarannya dari Bupati harus melalui Spek seperti ini, ternyata dari masing-masing SKPD tidak ada masalah dengan Spek, itu cuma permasalahannya harga-harga yang diberikan oleh Yusuf ada kelebihan, jadi bukan masalah speknya,” kata Taufik.
Pada hal, dalam surat dakwaan terhadap terdakwa Sumarjoko yang dibacakan dihadapan Majelis Hakim, jelas mengenai Spesifikasi berdasarkan Peraturan Bupati (Perbub) Nomor. 54 Tahun 2014 tentang pakaian dinas PNS, dan himbauan Bupatu agar seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) lingkup Pemkab Magetan menggunakan sepatu asli buatan perajin kulit Magetan, Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 tahun 2009 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri, Surat Menteri Perdagangan RI No. 456/M-DAG/SD/3/2011 tertanggal 23 Maret 2011 perihal, Program “Aku Cinta Produk Indonesia”, dan Peraturan Presiden (Perpres) No 54 tahun 2010 jo Perpres No 70 tahun 2012 tentang pengadaan barang/jasa Pemerintah.
Sebelumnya....
Kejaksaan Negeri (Kejari) Magetan terkesan “bermain” dalam penanganan kasus Korupsi pengadaan sepatu untuk pegawai di lingkungan Kabupaten Magetan tahun 2014 lalu, yang menelan anggaran dari APBD sebesar Rp 1,2 milliyar dan merugikan keuangan negara senilai Rp Rp 101.590.203.
Sebab menurut JPU Kejari Magetan, pengadaan sepatu untuk seluruh PNS di Kabupaten Magetan tahun 2014, tidak sesuai dengan Spesifaksi, berdasarkan Peraturan Bupati (Perbub) Nomor. 54 Tahun 2014 tentang pakaian dinas PNS, dan himbauan Bupatu agar seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) lingkup Pemkab Magetan menggunakan sepatu asli buatan perajin kulit Magetan, Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 tahun 2009 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri, Surat Menteri Perdagangan RI No. 456/M-DAG/SD/3/2011 tertanggal 23 Maret 2011 perihal, Program “Aku Cinta Produk Indonesia”, dan Peraturan Presiden (Perpres) No 54 tahun 2010 jo Perpres No 70 tahun 2012 tentang pengadaan barang/jasa Pemerintah.
Dalam kasus ini, JPU menyatakan bahwa pengadaan sepatu tidak sesuai dengan Spesifikasi. Sementara dalam proses pengadaan, ada panita yang terdiri dari PPKm (Pejabat Pembuat Komitmen), PPTK (Pejabat Pelaksana Teknik Kegiatan) dan PPHP (Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan) yang menerima honor atau upah dalam kegiatan tersebut.
Apakah pengadaan sepatu yang tidak sesuai dengan Spsesifikasi berdasarkan Perpres No 54 tahun 2010 sebagaimana diubah dengan Perpres No 70 tahun 2012 tentang pengadaan barang/jasa Pemerintah, hanya tangung jawab beberapa orang saja, atau seluruh panitia turut bertanggung jawab ? Anehnya, yang diseret ke Pengadilan Tipikor terkesan “dipilih”.
Bahkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Magetan terkesan “menyicil” kasus ini. Sebab, pada Jilid I (tahun 2016), Kejari Magetan sudah menetapkan Ketua Asosiasi Perajin Kulit (Aspek) Magetan, Yusuf Ashari, sebagai tersangka, karena diduga melakukan "mark up" atau penggelembungan harga, atas pengadaan proyek sepatu untuk seluruh pegawai di lingkungan Pemda Magetan.
Pada Januari 2017, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, menjatuhkan hukuman pidana penajara selama 4 tahun terhadap Yusuf Hashari. Ketua Aspek itu dinyatakan terbuktiu melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain hukuman badan, Majelis Hakim juga sepakat dengan JPU Kejari Magetan, untuk menghukum Ketua Asosiasi Perajin Kulit itu, untuk membayar denda sebesar Rp 200 juta, atau kurangan 4 bulan bila tidak dibayar.
Selain pidana badan dan denda, ada juga pidana tambahan berupa, mengembalikan kerugian negara sebesar Rp101 juta, atau harta bendanya akan disita oleh Kejari Magetan dan dilelang.
Pada hal, Ketua Aspek itu hanya menerima dana sebesar Rp 319.690.000 yang harusnya menerima pembayaran sebesar 421.280.203 (termasuk pajak). Sehingga terdapat selisis Rp 101.590.203 yang tidak diterima. Aneh, mengapa Ketua Aspek Magetan itu yang dihukum untuk membayar selisih uang kerugian negara sebesar Rp 101.590.203 ?
Karena merasa tidak bersalah dan menikmati uang “haram”, Yusuf Hashari, melalui Penasehat Hukumnya, Berlian Lukitasar pun melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Dan hasilnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi Jawa Timur membebaskan ketua Asosiasi Perajin Kulit itu, pada April 2017.
Yang lebih anehnya lagi, ratusan pegawai Rumah Sakit Umum Daerah Magetan juga kebagian ratusan sepatu yang nilainya mencapai Rp 87 juta itu, yang yang belum dibayar pihak RSUD hingga saat ini.
Tidak hanya itu. Ternayata sepatu yang diterima pihak RSUD Magetan tak bertuan. Karean tidak tau bagaimana prosedurnya namun turut “menikamti” sepatu yang menghantarkan Kepala Bapeda Litbang ke penjara.
Hal inilah terungkap dalam persidangan jilid II, yang digelar di Pengailan Tipikor dengan Ketua Majelis Hakim I Wayan S, pada Senin 23 Oktober 2017.
Dalam persidangan, JPU yang juga Kasi Pidsus (Kepala Seksi Pidana Khusus) Keajri Magetan Achmad Taufik Rahman, menghadirkan 7 orang saksi, yaitu Indah selaku PPTK, Mulyana Kardeni dari Dinas Kesehatan Pemkab Magetan, Dirut RSUD Magetan Mahatma, Bambang, Lukman Harun, Sarkan dan Jeliteng (juga sebagai pejabat di RSUD) dengan terdakwa Sumarjoko (mantan Kepala Bapeda Litbang) yang didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya Feby dkk.
Dalam persidangan terungkap, bahwa sebanyak 500 pasang sepatu seharga Rp 87 juta diterima pihak RSUD Magetan tanpa tau bagaimana prosedurnya. Pihak RSUD hanya memberikan data pegawai ke Bapeda. Bahka Dirut RSUD Magetan Mahatma mengakui, bahwa sepatu tersebut hingga saat ini belum dibayarkan.
Selain itu. Mahatma menjelaskan kepada Majelis, bahwa RSUD Magetan sebagai BUMD tidak boleh menerima barang dari Pemda. Alasannya, pihaknya berhak mengelola pendapatan Rumah Sakit (RS) untuk kebutuhan pegawai termasuk gaji. Lalu, mengapa menerima sepatu yang tak bertuan itu ?
“Ada sekitar 500 atau sekitar Rp 87 juta, belum dibayar sampai sekarang, Rumah Sakit ini BUMD, dikelola seperti bisnis, makanya jabatan sebagai Dirut bukan Kepala Rumah Sakit,” kata Mahatma.
“Sepatu dibagikan saat upacara. Tidak tahu bagaimana, hanya memberikan data,” tambah saksi Lukman Harun
Saat ditanya PH terdakwa, terkait siapa yng bertanggung jawab saat menerima sepatu dan siapa yang memerintahkan untuk dibagikan. Pertanyaan PH terdakwa tak bisa dijawab saksi. para saksi dari pihak RSUD ini terkesan menutupi fakta yang sebeanrnya.
“Sepatu tidak bertuan tapi tetap diterima. Siapa yang bertanggung jawab saat sepetu dikirim ke rumah sakit, siapa yang memerintahkan untuk dibagikan ?,” tanya PH terdakwa.
Atas pertanyaan PH terdakwa, Dirut RSUD Magetan ini terlihat wajahnya merah dan beberapa kali menempelkan tangannya ke kepala serta mengusap wajahnya. Pada hal semula, Mahatma terkesan santai sambil tersenyum menjawb pertanyaan PH terdakwa. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :