0

“Wakil Ketua DPRD Tulungungagung periode 2014 - 2019, Imam Kambali dan Adib Makarim mengakui menerima uang ketok palu pembahasan APBD Kab. Tulungagung sejak Tanhun Anggaran 2015, 2016, 2017 dan uang Pokir”

BERITAKORUPSI.CO – Wakil Ketua DPRD Tulungagung periode 2014 – 2019, Imam Kambali, Adib Makarim dan Agus Budiarto termasuk 21 anggota Banggar (Badan Anggaran), akankah jadi “tersangka” korupsi suap pembahasan APBD Kab. Tulungagung Tahun  Anggaran (TA) 2014, 2016 dan 2017 untuk menyusul terdakwa Supriyono selaku Ketua DPRD  Tulungagung periode 2014 – 2019 yang saat ini sedang diadili di Pengadilan Tipikor Subaya sejak tanggal 31 Maret 2020 setelah Jaksa KPK menyeretnya?

Apakah hanya si Imam Kambali, Adib Makarim dan Agus Budiarto termasuk 21 anggota Banggar (Badan Anggaran) DPRD Tulungagung? Bagimana dengan si Indra Fauzi (Sekda), Hendri Setiawan (Kepala BPPKAD), Sudigdo (Kepala Bapeda), si Budi Fatahilah Mansyur (Sekwan), Yamani (Staf BPPKAD), Sukarji (Kabid Dinas PU) dan Si Pendi (ajudan terdakwa Supriyono) serta si Bedud ?
Pertanyaan inilah yang muncul sejak tahun 2018 dari berbagai kalangan masyarakat Khususnya di Kabupaten Tulungung sejak Syahri Mulyo selaku Bupati Tulungagung yang ditangkap KPK pada awal Juni 2018 karena menerima uang suap fee proyek ABPD dari Susilo Prabowao (Embun) selaku Pengusaha Kontraktor dan dari beberapa kontraktor lainnya yang jumlahnya sebesar Rp138 milliar.

Dan pertanyaan ini muncul kembali setelah orang kuat dan ditakuiti oleh semua pejabat mulai dari yang terendah hingga tertinggi di Kabupaten Tulungaung yaitu si Supriyono selaku Ketua DPRD Tulungagung periode 2014 – 2019 diadili dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surbaya sebagai terdakwa Korupsi suap pembahasan APBD Kab. Tulungung sejak tahun anggaran (TA) 2015, 2016, 2017 dan 2018 yang totalnya sebesar Rp3,6 milliar.
Mengapa? Sebab fakta yang terungkap di persidangan saat terpidana Syahri Mulyo diadili tahun 2018 lalu, maupun fakta persidangan saat Supriyono mulai diadili pada tanggal 31 Maret 2020, terungkap bahwa uang suap itu mengalir ke kantong Ketua DPRD Tulungagung periode 2014 – 2019 yakni terdakwa Supriyono dan Tiga Wakilnya, yaitu si Imam Kambali, si Adib Makarim dan si Agus Budiarto termasuk 21 anggota Banggar (Badan Anggaran) DPRD Tulungagung periode 2014 – 2019 sebagai “jatah uang preman” untuk setiap pembahahasan APBD Kab. Tulungung sejak tahun anggaran (TA) 2015, 2016, 2017 dan 2018

Ibarat sebuah ungkapan, “Air mengalir dari atas ke bawah. Sedangkan uang, mengalir dari bawah ke atas”.

Inilah yang terjadi dalam setiap pembahsan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Tulungagung yang bersumber dari uang rakyat sejak tahun anggaran (TA) 2015, 2016, 2017 dan 2018. Karena ada uang “mengalir” dari Dinas PUPPR (bawah) ke  DPRD (atas), supaya pembahasan dan pengesahan APBD berjalan mulus tanpa ada hambatan.

Sesuai fakta persidangan. Ketiga Wakil Ketua DPRD Tulungagung periode 2014 – 2019 (Imam Kambali, Adib Makarim dan Agus Budiarto) bisa jadi tersangka kasus Korupsi suap pembahasan APBD Kab. Tulungagung sesuai surat dakwaan JPU KPK terhadap terdakwa Supriyono.

Dimana surat dakwaan JPU KPK menjelaskan, bahwa terdakwa Supriyono bersama-sama Imam Kambali, Adib Makarim dan Agus Budiarto (masing-masing sebagai Wakil Ketua DPRD) sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2018, telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan berlanjut, menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang jumlah sebesaar Rp3.600.000.000 (tiga miliar enam ratus juta rupiah) dari Syahri Muyo selaku Bupati Tulungagung melalui Hendry Setiawan selaku Kepala BPKAD Kabupaten Tulungagung sekaligus Sekretaris Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Tulungagung

Dari kata “bersama-sama” yang terurai dalam surat dakwaan JPU KPK ini sangat jelas, bahwa nasib Imam Kambali, Adib Makarim dan Agus Budiarto bisa jadi akan tersangka menyusul si Supriyono.
Selain itu, JPU KPK menjelaskan dalam surat dakwaannya, bahwa terdakwa Supriyono,  Imam Kambali, Adib Makarim dan Agus Budiarto menemui Hendry Setiawan (Kepala BPPKAD) dan Indra Fauzi  selaku Sekretaris Daerah (Sekda) sekaligus selaku Ketua TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah), meminta uang ketok palu sebesar Rp1.000.000.000 untuk pembahasan APBD TA 2015 (dibahas 2014), 2016 (dibahas 2015), 2017 (dibahas 2016) dan 2018 (dibahas 2017).

Selain uang ketok palu itu, ada juga permintaan uang ketok palu khusus (“suara palu beda”) oleh terdakwa Supriyono, Imam Kambali, Agus Budiarto dan Adib Makarim yang jumlah sebesar Rp190 juta setiap tahun. Uang ketok palu Khusus inilah yang dibagikan ke sejumlah anggoat Banggar sebanyak 21 yang besarnya sama, yaitu 5 juta rupiah untuk setaip anggota, dan 20 juta rupiah jatah Wakil Ketua diantaranya Imam Kambali, Adib Makarim dan Agus Budiarto serta 25 juta ripiah untuk Komandan atau Ketua, yaitu si Supriyono

Dari surat dakwaan ini semakin jelas dengan keterangan saksi Hendrik Setiawan selaku Kepala BPPKAD Kab. Tulungagung dan Yamani selaku anak buah Hendrik Setiawan pada persidangan pada Selas, 7 April 2020.

“Pertemuan di Hotel Afana Malang dihadiri 21 orang dalam pembahasan anggaran. Terdakwa meminta ke Bupati. Penyerahan uang biasanya 3X setahun, yang pertama antara bulan Maret atau April, hari raya dan akhir tahun. Tahun 2014 sebesar 500 juta, 2015 sebesar 1 milliar, tahun 2016 sebesar 1 milliar, tahun 2017 1 milliar, tahun 2018 sebesar 500 juta untuk pembahasan PBD, yang menyerahkan Yamani. Uang itu dari Dinas PU,” kata Hendrik kepada Majelis Hakim (pada Selas, 7 April 2020)

Apa yang disampaikan oleh Hendrik, juga dibenarkan oleh Yamani. Yamani menjelaskan bahwa uang itu diterima dari Dinas PU melalui Sukarji. Hal itupun tidak dibantah oleh Sukarji. Dan Sukarji selaku Kabid Dinas PU juga membeberkan asal usul sejumlah uang yang diserahkan ke BPPKAD untuk jatah “preman” pembahasan APBD, yaitu berasal dari fee proyek APBD Kab. Tulungagung

“Itu sebagai fee proyek APBD sebesar 10 persen yang dibayar didepan dan 5 persen di akhir setelah dikurangi pajak,” kata Sukarji kemudian

Nah, loh... Keterangan Hendrik Setiawan inipun jadi terang benderang dengan pengakuan dari si Imam Kambali dan si Adib Makarim kepada Majelis Hakim pada persidangan, Selasa, 21 April 2020.

Pengakuan dari Kedua Politikus ini, ternyata tidak hanya menerima uang ketok palu melainkan juga menerima uang Pokir (pokok-pokok pikiran). Total yang diterima Adib Makarim dari uang ketok palu dan uang pokir adalah sebesar Rp230 juta. Sedangkan yang diterima Imam Kambali sejumlah Rp132 juta. Uang itu, menurut kedua politikus ini sudah dikembalikan ke kas negara melalui rekening KPK.

Persidangan yang berlangsung melalui Vidio Conference (Vicon) dari ruang sidang Candra Pengadilan Tipikor Surabaya Jalan Raya Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa, 21 April 2020 adalah agenda mendengarkan keterangan 5 orang saksi yang dihadirkan JPU KPK Eva dan Mufti ke hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hisbullah Idris, SH., MH dengan dibantu 2 (dua) Hakim anggota (Ad Hock) yakni Kusdarwanto, SE., SH., MH dan Sangadi, SH yang dihari Penasehat Hukum terdakwa, yaitu Anwar Koto dari Jakarta. Sementara terdakwa Supriyono berada di Rutan (Rumaha Tahanan Negara) Polda Jatim
Kelima saksi itu adalah Imam Kambali, Adib Makarim, Budi Fatahilah Mansyur (Sekwan), Sudigdo (Kepala Bapeda) dan Wiyono (Staf Sekwan)

Sidang Vicon ini dilakukan untuk menjaga kesehatan semua pihak dan juga menjaga merebaknya penyebaran Corona Virus Covid-19 yang masih melanda dunia termasuk Indonesia yang saat ini masih mengkhawatirkan karena sudah banyak korban jiwa.
Kepada Majelis Hakim, Imam Kambali mejelaskan pertemuan di Hotel Safana Malang pada taahun 2014 saat pembahasan APBD TA 2015 yang dihadihari seluruhBanggar yang berjumlah 25 orang dan Tim TAPD yaitu Sudigdo, Hendrik Setiawan dan SKPD termasuk terdakwa Supriyono selaku etua DPRD sekaligus Ketua Banggar

“Semua hadir dari 25 anggota DPRD yang tergabung di Banggar, kemudian dari TAPD jumlahnya kurang lebih.....(terdiam) tapi banyak. Sudigdo, Hendrik Setiawan,” kata Imam Kambali

Saat JPU KPK Eva menanyakan nama Yamani selaku Staf BPPKAD dan terkait penerimaan uang dari Yamani, Imam Kambali mengakui pernah menerima sebesar Rp190 juta. Namun si Imam ini sudah lupa kapan menerimanya dan uang untuk apapun si Imam sudah lupa. “Lupa karena ketakutan akan jadi tersangka, atau lupa karena uangnya sudah habis”

“Saya kenal. Saya lupa Bu, tapi terima. Kalau saya tidak salah sebesar seraatus sembilan puluh juta (Rp190 juta) untuk dua puluh lima (25 orag) Badan Anggaran,” kata si Imam. Karena si Imam “pura-pura Lupa”, JPU KPK Eva pun akhirnya membacakan isi BAP (Berita Acara Pemeriksaan) si Imam saat dipenyidik KPK.

Ini BAP saudara nomor 15 ya, kata JPU KPK Eva lalu membacakannya, “Saat itu Ketua DPRD Supriyono mendapatkan uang sebesaar Rp30 juta, Wakil Ketua termasuk saya 20 juta per orang sedangkan untuk seluruh (Imam Kambali langsung memotong.....bukan seluruh tapi anggot a Banggar) masing-masing 5 juta”. kata Imam Kambali dam BAPnya yang dibacakan JPU KPK Eva dan dibenarkan oleh si Imam

Imam Kambali mengakui, bahwa besaran uang yang diterimanya setiap tahun besanya sama yaitu Rp190 juta. Namun menurt si Imam Kambali, tahun 2018 tidak ada menerima. Alasannya karena tidak ada pembicaraan

“Saya terima tahun 2015 dan 2017. Ada juga yang dititipkan Yamani ke Pak Wiyono. Dari Pak Wiyono dikaihkan ke saya, Yang mendistribusikan (membagikan) saya,” jawa Imam Kambali kemudian

Saat JPU KPK Eva menanyakan tanda terima uang tersebut, Imam Kambali mengakui tidak ada tanda terima. Alasannya karena si Yamani tidak menerima. Nah....si Imam pun tidak tau apakah uang itu uang resmi atau uang tidak resmi. Si Imam menjawab tidak tau. Namun si Imam Kambali mengakui ada tanda terima kalau uang yang diterimanya itu resmi seperti gaji dan perjalanan dinas.

“Saya tidaktau, Bu. Dikasih ya saya terima. Saya nggak tanya,” jawab si Imam Kambali pura-pura “pikun”.

Terkait uang Pokir, si Imam mengakaui kalau dari BKD (Badan Kepegawaian Daerah) tidak menerima. Yang diterima si Imam adalah dari Dinas PU

“Kalau dari BKD tidak ada. Tapi yang dari Dinas PU yang berkaitan Jalan entah bagaimana nggak tau, kita dikasih,” kata si Imam
Berapa yang anda terima, anda menerima 42 juta yang diserahkan oleh Sutrisno? Tanya JPU KPK Eva. Namun tidak diakui si Imam. Si Imam mengatakan tidak sebesar itu tapi tidak dapat menejelaskan berapa yang diterimanya. Alasannya lagi-lagi lupa. Namun total yang diterima si Imam dari uang ketok palu dan pokir sebesar Rp130 juta

“Seingat saya seratus tiga puluh juta. Sudah saya kembalikan,” jawab si Imam

Keterangan Adib Makarim  inipun tak jauh beda dengan keterangan si Imam Kambali. Si Adib mengaku keterangan si Imam saat ditanyakan JPU KPK Eva. Namun si Adib juga “pura-pura pikun” saat ditanya JPU KPK Eva terkait pertemuan setengah kamar dan si Adib jawabnya nggak tau apa yang dibahas di Hotel Safana Malang. Si Adib mengakui kalau anggota DPRD Tulungagung punya kebiasaan telat pada saat rapat

Terkait uang, si Adib mengakui ada dan sama seperti yang disampaikan kawannya si Imam. Namun si Adib nggak tau uang itu apa. Yang jelas si Adib mengakui menerima sebesar 20 juta per tahun sejak tahun 2015, 2016 daan 2017.

Ternyata uang yang diterima si Adib bukan hanya uang ketok palu melainkan uang pokir juga namun berapa jumlahnya si Adib “pikun”. Total yang diterima si Adib sebesar Rp230 juta. dan uang itu sudah dikembalikan ke kas negara melaalui KPK

“Uang pokir juga tapi saya lupa berap. Saya sudah kembalikan 230 juta,” jawab si Adib.

Terkait uang Pokir, berdasar fakta persidangan terdahulu saat terpidana Sutrisno selaku Kepala Dinas PUPPR diadili, dan pengakuan Sutrisno kepada beritakorupsi.co bahwa uang pokir dari Dinas PU ke DPRD Tulungagung adalah sebesar Rp70.285.000.000 (tujuh puluh milliar dua ratus delapan puluh lima juta rupiah) dengan rincian, tahun 2014  sebesar Rp3.850 M, tahun 2015 sejumlah Rp21 M, tahub 2016 sebanyak Rp13.470 M dan tahun 2017 senilai Rp16.093 M serta tahun 2018 sebesar Rp15.872  M

Penganggaran uang Pokir mulai di lakukan oleh Tim Anggaran dan Badan Anggaran (TAPD),   dan sebagian besar di buat paket proyek PL (Penunjukan Langsung) yang pelaksanaanya langsung di kelola oleh masing-masing anggota Dewan dengan membawa Kontraktor sendiri. Dimana uang mahar atau fee dari proyek tersebut sudah dibicarakan antara Dewan dan para kontraktor
Dana pokir untuk Dewan tidak hanya di Dinas PU, melainkan juga ada di PU Sumberdaya Air,  Dinas Lingkungan Hidup, bagian Pemerintahan dan Dinas-Dinas lainnya, dimana masing- masing anggota Dewan mendapatkan uang Pokir sebesar 1 milliar rupiah yang bersumber dari APBD murni dan sekitar Rp500 juta dari APBD Perubahan. Sedangkan jatah Pokir untuk Wakil Ketua sebesar Rp1.5 M – Rp2 M

JPU KPK dan ketiga Majelis Hakim dibuat geram saat giliran si Budi Fatahilah ini memberikan keterangan. Sebab keterangannya dalam BAP berbeda saat memberikan keterangan langsung. Si Budi mengakui tidak ada pembahasan lain selain dari anggaran. Pada hal dalam , tidak ada BAP, si Budi memberikan keterangan yang sangat jelas.

Padahal si Budi mengaku tidak ada tekanan atau paksaan dari penyidik KPK saat si dirinya diminta keterangannya. Dan BAP itupun dibaca si Budi lalu diparaf dan kemudian ditandatangani.

Anehnya, si Budi tak mencabut keterangannya dalam BAP tapi bersedia dikronfrontir dengan penyidik KPK. Berkali-kali si Budi diancam karena dianggap memberikan keterangan palsu, tapi si Budi diam saja. JPU KPK Eva pun membacakan BAP si Budi

Sepertinya si Budi mendapat tekanan dari seseorang sebelum hadir sebagai saksi. Namun dari siapa, tim beritakorupsi.co belum dapat memastikannya. Namun diduga dari sesorang yang berpengaruh.

Ini keterangan saudara di BAP nomor 37, saya bacakan ya, kata JPU KPK Eva lalu membacakan ya,......“Bahwa pada tahun 2014, terdapat deaclok terkait pembahasan RAPBD untuk tahun 2015. Untuk itu ada pembahasan di Malang dan Tulungagung. Pembahasan terjadi deaclok dan terjadi pertemuan setengah kamar yang saya fasilitasi di Hotel Safana Malang. Di Tulungagung terjadi rapat kembali antara pimpinan DPRD Supriyono, Imam Kambali, Agus Budiarto dan Adib Makarim dengan pimpinan TAPD Sudigdo dan Hendri yang menghasilkan adanya Pokir sebagai syarat untuk mensahkan APBD 2015, dan uang ketok palu. Dan disepakati Rp150 juta untuk setiap anggota Dewan yang berasal dari Pokir”. Betul ini? Tanya JPU KPPK Eva sesaat setelah membacakan isi BAP si Budi. Namun si Budi tak mengaakui

“Saya tidak tau ada kesepakatan-kesepakatan,” jawab si Budi

Ketiga Majelis Hakimpun geram melihak kelakuan si Budi yang berbelit belit memberkan keterangan. Bahkan Majelis Hakim menanyakan pendidikan si Budi yang lulusan Starata 2 (S2).

Saat Ketua Majelis Hakim mengambil alih pertanyaan JPU KPK terkait pembahsan-pembahasan dan pertemuan setengah kamar termasuk pokir, si Budi pun menjawab “Ya” namun sebelumnya berkali-kali si Budi meminta maaf dan tak seorangpun yang memaafkannya. Karena mungkin tak layak untuk di maafkan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi.

Namun si Budi ini mengakui menerima uang dari Yamani pada tahun 2014 sebesar Rp190 juta untuk anggota Banggar sebagai uang ketok paalu APBD tahun 2015. Kalau tahun 2016 kepada staf saya, pak Wiyono

“Saya dikasih oleh Pak Yamani, katanya untuk Banggar. Uang itu dikasih sebelum sidang paripurna

Selain itu, si Budi juga ternyata pernah menerima uang sebesar Rp200 juta pada tahun 2017 dari Yamani di kantor BPPKAD untuk diberikan ke Supriyono. Dan pada taahun 2018 (berdasar informasi beritakorupsi.co, setelah terjadi tangkap tangan KPK terhadap Bupati Syahri Mulyo) menerima uang dari Hendri Setiawan di kantr BPPKAD sebesar Rp500 juta.

Dan uang itu sempat mengipa di rumah si Budi atas permintaan si Supri. Namun akhirnya uang itu diseraahkan ke Ajuannya si Supriyono yaitu, si Pendi Kusrianto di rumah si Budi atas persetujuan si Supriyono. Hal ini termuat dalam keterangan si Budi  di  BAP nomor 38

Informasi yang didapat beritakorupsi.co, bahwa si Pendi adalah mantan pegawai BKD. Karena ada isu pada tahun 2014, Aparat Penegak Hukum akan membongkar dugaan penyelewengan dana Bansos. Namun entah hubungan apa si Pendi dengan dana Bansos ini, di Pendipun ditarik oleh si Supriyono ke DPRD sebagai staf Dewan.

Saya tidak tau, saya hanya dititipi aja, Bu,” jawab si Budi

Berlanjut ke kesaksiannya si Sudgdo selaku Kepala Bapeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kab. Tulungagung. Keterangan si Sudigdo ini juga “terkena penyakit pikun” karena jawabannya tidak tau. Padahal menurut JPU KPK, si Sudigdo ini tau banyak tentang pemabahasan APBD karena si Sudigdo adalah wakil Ketua TAPD, Hendri Setiawan (Kepala BPPKAD) sebagai Sekretaris TAPD dan Sekda sebagai Ketua.

Padahal dalam BAP, si Sudigdo menjelaskan bahwa ada permintaan pimpinan Dewan terkait Pokir untuk pembahasan APBD. Bisa jadi keterangan para saksi ini “pura-pura pikun” agar tidak dijadikan sebagai tersangka. Atau karena hawa panas dari “kursi panas” Pengadilan Tipikor Surabaya yang sedang di duduki si Sudigdo yang memang dikhususkan bagi terdakwa dan saksi perkara Korupsi

Lalu pertanyaannya. Bagaimana keterangan si Agus Budianto selaku Wakil Ketua DPRD Tulungagung periode 2014 -  2019 dan si Suharminto alias Bedud, adik kandung terdakwa Supriyono. Apakah keterangan kedua orang ini akan “ terjangkit penyakit pikun” juga? Tunggu pada persidangan berikutnya.

Karena Si Agus juga dikatakan menerima uang ketuk palu pembahasan APBD. Sedangkan si Bedud dan kakaknya (terdakwa Supriyono), terlibat permintaan puluhan proyek APBD Kab. Tulungagung sejak tahun 2015 – 2018 ke Dinas PU yang bernilai puluhan milliaran, dimana proyek-proyek tersebut diberikan Ari Kusumawati selaku teman “khusus”nya dan juga diberikan ke Titi dan Dina.

Nama Ari Kusumawati tak asing lagi dikalangan Dewan Khususnya. Sementara pengakuan Ari Kusumawati kepada beritakorupsi.co adalah istri seorang prajurit TNI AD berpangkat Bintang Satu yang sempat bertugas di Surabaya. Namun dari berbagai sumber yang didapat beritakorupsi.co, bahwa sang Jenderal tersebut bukanlah suami (Ari Kusumawati) mantan ketua Asosiasi Konstruksi di Kab. Tulungagung.

Pada tahun 2014, Ari Kusumawati mengerjakan 10 peket pekerjaan yang diberikan oleh Dinas PU atas perimintaan Supriyono dan Suhermanto dengan nilai sebesar Rp15.114.395.000 . Tahun 2015, permintaan 15 paket pekerjaan kembali diminta terdakwa dan dikerjakan oleh Ari Kusumawati dengan total Rp11.553.850.000. Tahun 2016, 8 paket perjaan yang dikerjakan oleh Ari Kusumawati sebesar Rp13.472.070.000. Tahun 2017, sebanyak 11 paket pekerjaan juga dikerjakan oleh Ari Kusumawati dengan nilai Rp10.536.729.000. Dan tahun ahun 2018, Ari Kusumawati kembali mengerjakan 8 paket pekerjaan  dengan nilai sebesar Rp8.678.348.000

Sedangankan Titin mendaapatkan 6 paket pekerjaan dari terdakwa melalui Dinas PU senilai Rp1.161.480.000.  Tahun 2016, Titin dan Dian mendapa6 paket pekerjaan seniali Rp2.901.470.000. Dan tahun 2017, 13 paket pekerjaan kembali dikerjakan oleh Titin dan Dian yang diberikan Dinas PU atas permintaan terdakwa Supriyono dan Suhermanto senilai Rp2.850.788.000. Dan tahun 2018, Dinas PU memberikan permintaan terdakwa Supriyno dan Suhermanto berupa paket pekerjaan melaalui Titin dan Dian dengan nilai Rp1.323.469.000

Sedangkan pemberian uang oleh Dinas PU ke Kepala Kuangan Kabupaten Tulungagung yang berasal dari kegiatan belanja modal sejaak tahun 2014 hngga 2018 sebesar Rp25.518 miliar dengan rincian, tahun 2014 sebesar Rp2.507 M, tahun 2015 sebesar Rp4.405 milliar, tahun 2016  sejumlah Rp5.381 M dan tahun 2017 sejumlah Rp6.740 M serta tahun tahun 2018 sebanyak Rp4.500. Selain itu, juga diambil dari  sumber dana kegiatan rutin mulai dari tahun 2014 - 2018  sebesar Rp2.985 M. (Jen)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top