
JPU KPK Iskandar Marwanto, Subari Kurniawan dan Tri Anggoro Mukti, membacakan surat dakwaannya dalam persidangan, dengan Ketua Majelis Hakim H.R. Unggul Warso Mukti, terhadap terdakwa Wiwit Febrianto (Kadis PUPR), yang didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya Suryono Pane dkk.
Atas perbuatan terdakwa, ucap JPU KPK dalam surat dakwaannya, merupakan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi juncto pasal 65 ayat (1) KUHAP.
Dalam surat dakwaannya, JPU KPK memberkan kronoligis terjadinya “penyuapan”, antara terdakwa Wiwit Febrianto, selaku Kepala Dinas PUPR dengan Ketua DPRD (Purnomo) Mojokerto dan 2 Wakil Ketua DPRD Mojokerto (Umar Faruq dan Abdullah Fanani).
JPU KPK mnyatakan dalam surat dakwaannya bahwa, terdakwa Wiwit Febrianto selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum bersama-sama dengan Mas’ud Yunus, selaku Wali Kota Mojokerto, pada sekitar bulan Desember 2016, Sabtu 10 juni 2017, Jumat 16 Juni 2017, bertempat di rumah dinas Wali Kota Mojokerto, Jalan Hayam Wuruk No 51 Mojokerto, di rumah Partai Amanat Nasional (PAN) di Jalan Kyai Haji Mansyur No 13, Kelurahan Gedongan, Kecamatan Magersari, Mojokerto telah melakukan beberapa perbuatan yang mempunyai hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, memberi atau menjanjikan sesuatu yaitu, pemberian uang sejumlah Rp 475 juta sebagai bagian dari realisasi pemberian janji tambahan “pundi-pundi” bagi Pimpinan dan anggota DPRD Mojokerto dengan maksud, agar pimpinan DPRD Mojokerto yakni Purnomo, Umar Faruq dan Abdullah Fanani serta anggota DPRD Mojokerto lainnya, memperlancar pembahasan APBD Tahun Anggaran 2017 maupun APBD tahun 2018.
JPU KPK menyebutkan, pada sekitar tahun 2016, terdakwa Wiwiet Febriyanto, selaku Kepala Dinas PUPR Kota Mojokerto, mengetahui adanya kesepakatan, pemberian janji antara Mas’ud Yunus, Wali Kota Mojokerto dengan pimpinan dan anggota DPRD, untuk memberikan sejumlah uang, sebagai tambahan “pundi-pundi” diluar penghasilan tetap, berupa uang komitmen yang bersumber dari jumlah persentase pelaksanaan anggaran Dinas PUPR, pada Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan dengan nama kegiatan, Penataan Lingkungan Pemukiman Penduduk Pedesaan (PENLING), yang berasal dari usulan para anggota DPRD, yang dikenal dengan istilah program Jasmas (jaringan aspirasi masyarakat) sebesar Rp 26 miliar, serta tambahan pertahun sejumlah Rp 65 juta, untuk masing-masing anggota DPRD Mojokerto, atau yang dikenal dengan istilah 7 umur yakni, uang lelah 7 kali persidangan dalam rangka pembahasan anggaran yang rencananya, diberikan per triwulan di tahun 2017.
Pada sekitar bulan Februari 2017, terdakwa Wiwiet Febriyanto bertemu dengan Purnomo, Abdullah Fanani dan Umar Faruq serta beberapa Ketua Fraksi, membahas pekerjaan terkait Jasmas serta permintaan uang Komitment fee sebesar 8 persen untuk anggota DPRD, 10 persen untuk Wakil Ketua DPRD dan 12 persen untuk Ketua DPRD, dan permintaan para anggota Dewan yang terhormat itupun di sanggupi terdakwa.
Pada Mei 2017, terdakwa Wiwiet Febriyanto dan Mas’ud Yunus, ternyata belum merealisasikan janji pemberian uang tambahan pundi-pundi yang bersumber dari komitmen program Jasmas maupun uang triwulan kepada pimpinan dan anggota DPRD Mojokerto. Pada hal di sisi lain, terdakwa mengetahui adanya permasalahan dalam pelaksanaan anggaran dinas PUPR pada APBD tahun 2017 yang kemungkinan besar akan dipersoalkan oleh anggota DPRD, sehingga berpengaruh terhadap pengajuan perubahan APBD tahun 2017 dan RAPBD tahun 2018 diantaranya.
Dalam surat dakwaan JPU KPK ini pun dijelaskan bahwa, Dinas PUPR Kota Mojokerto tahun 2016, dengan persetujuan Mas’ud Yunus, telah menggunakan dana talangan yang bersumber dari Kas Daerah (Kasda), untuk membiayai kekurangan pembayaran atas pekerjaan, terkait DAK fisik bidang transportasi daerah sebesar Rp 13.284.905.600 dan DAK fisik bidang infrastruktur perumahan norma air minum dan sanitasi senilai Rp 67.359.000. Sehingga, total kekurangannya seluruhnya sejumlah Rp 13.352.264.600, akibat tidak direalisasikannya transfer DAK TA 2015 dari Kementerian Keuangan, kepada pemerintah Kota Mojokerto karena, keterlambatan pelaporan pekerjaan DAK fisik oleh Dinas PUPR.
Terdakwa Wiwiet Febriyanto, lanjut JPU KPK dalm dakwaannya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, terdakwa menyetujui penundaan sebagian kegiatan Dinas PUPR 2017, pada kegiatan penting yang nilainya sekitar Rp13 M. Sehingga mengakibatkan berkurangnya anggaran kegiatan penting dari Rp 38.568.000.000 menjadi Rp 25.568.000.000, yang berakibat berkurangnya jatah program Jasmas anggota DPRD Kota Mojokerto.
Selain itu, Wali Kota Mojokerto, Mas’ud Yunus, memprioritaskan pembangunan gedung Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) di Mojokerto, yang telah dianggarkan dalam anggaran dinas PUPR tahun 2017 sejumlah Rp 13.096.913.000. Namun, penganggaran Dinas PUPR tersebut, ternyata terdapat kekeliruan, karena dicantumkan dalam mata anggaran belanja modal. Padahal, supaya gedung PENS dapat dihibahkan, seharusnya penganggarannya dicantumkan dalam mata anggaran belanja barang dan jasa.
Untuk menyelesaikan maslah tersbut, terdakwa Wiwiet dan Mas’ud Yunus, ingin menyelesaikannya dengan mengerjakannya dalam rencana perubahan APBD Tahun Anggaran 2017 yaitu, mengusulkan penambahan anggaran PENLING, apabila upaya menagih kekurangan DAK Tahun Anggaran 2016, tidak dibayarkan oleh Kementerian Keuangan, dan merencanakan perubahan penganggaran PENS, dari mata anggaran belanja modal menjadi belanja barang dan jasa dalam APBD perubahan tahun 2017, APBD tahun 2018 atau kemungkinan mengalihkan anggaran PENS dalam APBD perubahan tahun 2017 untuk mengganti kekurangan anggaran PENLING.
Dihadapan Majelis Hakim, dalam surat dakwaan JPU KPK mengungkapkan bahwa, pada Selasa, 5 Juni 2017, dirumah dinasnya, Wali Kota Mojokerto, Mas’ud Yunus, bertemu dengan Ketua DPRD (Purnomo) dan 2 wakil Ketua DPRD Mojokerto (Abdullah Fanani dan Umar Faruq), bermaksud menanyakan tentang realisasi uang komitmen fee program Jasmas sejumlah 12 persen dan uang triwulan. Setelah pertemuan tersebut, Mas;ud Yunus memanggil terdakwa Wiwiet Febriyanto, untuk merealisasikan janji pemberian uang komitmen program Jasmas dan triwulan, serta meminta terdakwa Wiwiet Febriyanto untuk membicarakan hal tersebut dengan pimpinan DPRD, agar Pimpinan dan anggota DPRD memperlancar pembahasan APBD-P 2017 maupun APBD tahun 2018.
Kemudian, pada tanggal 6 Juni 2017, terdakwa Wiwiet Febriyanto, menemui Purnomo dan Abdullah Fanani di kantor DPRD, untuk membicarakan mengenai rencana realisasi uang triwulan serta uang komite program Jasmas. Purnomo dan Abdullah Fanani, meminta agar terdakwa Wiwiet Febriyanto segera merealisasikan komitmen fee triwulan sebesar Rp 395.000.000 per triwulan, dan tahap pertama dari 8 persen uang komitmen fee program Jasmas sejumlah Rp 500.000.000, yang disanggupi oleh terdakwa Wiwiet Febriyanto.
Untuk memenuhi permintaan Dewan itu, Pada tanggal 6 Juni 2017, terdakwa Wiwiet Febriyanto bertemu dengan 2 rekanan (Kontraktor) PUPR yakni, Direktur CV Benteng Persaada, Irfan Dwi Cahyono alias Ipang dan Direktur Operasional PT Agrindo Jaya Sejahtera, Dodi Setiawan, di Restoran Bon Cafe Pakuwon Trade Center Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, terdakwa Wiwiet Febriyanto meminta uang sejumlah Rp 930 juta, dengan imbalan, pekerjaan yang akan dianggarkan pada APBD perubahan tahun 2017.
Permintaan itu pun langsung disanggupi kedua kontraktor itu. Irfan Dwi Cahyanto alias Ipank sejumlah Rp 200 juta dan Dodi Setiawan Rp 730 juta, yang akan diberikan dalam dua tahap yakni, tahap pertama Rp 430 juta dan tahap kedua sejumlah Rp 500.000.000.
Pada tanggal 10 Juni 2017 dini hari, terdakwa Wiwiet Febriyanto menerima sejumlah uang sebesar Rp 380 juta dari dari Irfan Dwi Cahyanto alias IPA dan Dodi Setiawan di parkiran KFC Jalan Adityawarman depan Surabaya Town Square. Kemudian, sekitar pukul 10.00 WIB, terdakwa menyerahkan uang sebesar Rp 150 juta kepada Purnomo, di parkiran Restoran Mc Donald, Jalan Sepanjang Geluran Sidoarjo. Uang tersebut sebagai realisasi komitmen fee dan mengatakan bahwa, sisanya sejumlah Rp 350.000.000 akan diserahkan pada pertengahan bulan Juni 2017.
Kemudan, Purnomo pun membagi-bagikan uang tersebut kepada 22 anggota DPRD Kota Mojokerto yang masing-masing sejumlah Rp 5 juta, Umar Faruq dan Abdulah Fanani masing-masing Rp 12.500.000, Purnomo kebagian Rp 15 juta.
JPU KPK dalam surat dakwaannya merinci, pada tanggal 10 Juni 2017, sekitar pukul 12.00, di alun-alun Kota Mojokerto, Purnomo memberikan uang Rp 57.500.000 kepada Umar faroq, selanjutnya Umar Faruq menyerahkan uang tersebut kepada Gunawan sejumlah Rp 30 juta untuk dibagikan kepada 6 anggota Fraksi gabungan masing-masing Rp 5 juta yakni, Dedi Novianto (Partai Demokrat), Uji Pramono (Partai Demokrat), Kholid Firdaus Waji (Partai Keadilan Sejahtera), Edy Prayitno (PKS), Raihan Mustafa (PPP) dan Gunawan (PPP).
Selain itu, Umar Faruq juga memberitahukan kepada masing-masing anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) yakni, Yuli Veronica, Maschur, Suryono dan Aris Satrio Budi, bahwa masing-masing mendapat bagian uang Rp 5 juta, yang disepakati dipergunakan untuk membeli parcel,
Sekitar pukul 1730 WIB, Purnomo menemui Abdulah Fanani di rumahnya di Jalan Surodinawan Mojokerto dan menyerahkan uang sebesar Rp 37.500.000. Kemudian, Abdullah Fanani menyerahkan uang Rp 10 juta kepada Junaidi Malik (Ketua Fraksi PKB) dan Choiroiyah, sebagai bagiannya. Dan Rp 15 juta untuk Sony Basuki Rahardjo (Ketua Fraksi Golkar), Hardi Ashanty dan Anang Wahyudi.
Sedangkan sisanya, dibagikan kepada anggota Fraksi PDIP masing-masing Rp 5 juta yakni, Darwanto, Yunus Suprayitno, Febriana Meldiyawati, Suliat dan Gusti Fatmawati. Selain itu, Purnomo juga menyerahkan uang sejumlah Rp 15 juta kepada Dwi Edwin Indrapraja (Ketua Fraksi Gerindra), Moh. Harun dan Ita Primaria Lestari, masing-masing Rp 5 juta.
Sementara sisa uang sebesar Rp 280 juta yang diterima terdakwa Wiwiet Febriyanto dari Irfan Dwi Cahyanto alias Ipank, pada hari Selasa tanggal 12 Juni 2017 di Komplek Ruko Citra Harmoni Sidoarjo, dipergunakan untuk keperluan pribadi terdakwa sendiri sebesar Rp 180 juta, dan yang Rp 100 juta, sebagai cicilan pertama atas temuan audit BPK RI dalam proyek Graha Mojokerto Service City (GMSC).
JPU KPK membacakan dakwaannya secara bergantian yang memaparkan, pada tanggal 16 juni 2017 sekitar 15.00 14.00 WIB, terdakwa Wiiwet Febriyanto menghubungi Umar Faruq, membicarakan rencana penyerahan uang komitmen tahap kedua sejumlah Rp 300 juta, yang kemudian disepakati uang tersebut akan diserahkan melalui Hanif Mashudi, selaku orang kepercayaan Umar Faruq. Sekita pkl 15.40 WIB, terdakwa bertemu dengan Hanif Mashudi di kantor PUPR dan mengatakan, agar nanti malam, Hanif Mashudi menemui Taufik Fajar guna menerima uang komitmen tahap kedua sebesar Rp 300 juta dari terdakwa, untuk diserahkan kepada anggota DPRD kota Mojokerto melalui Umar Faruq.
Sekitar pukul 23.00 pagi, terdakwa Wiwiet Febriyanto bertemu dengan Irfan Dwi Cahyanto alias Ipang dan Dodi Setiawan, di kantor Dinas PUPR Mojokerto, yang akan menyerahkan uang sebesar Rp 500.000.000. uang tersebut adalah kekurangan dari kesepakatan sebesar Rp 930 juta, yang berasal dari patungan Irfan Dwi Cahyanto alias Ipang Rp 100 juta dan Dodi Setiawan Rp 400.000.000.
Namun terdakwa meminta, agar uang tersebut diserahkan melalui Taufik Fajar alias Kaji. Kemudian Irfan Dwi Cahyanto alias Ipang, memerintahkan Agung Hariyanto untuk mengantarkan uang tersebut kepada terdakwa melalui Taufik Fajar alias Kaji.
Kemudian terdakwa menghubungi Taufik Fajar untuk menerima penyerahan uang dari Agung Hariyanto dan melaporkan kepada terdakwa, dan terdakwa meminta Taufik Fajar alias Kaji, agar menyisihkan uang sejumlah Rp 300 juta, untuk diserahkan kepada Hanif Mashudi, dan Rp 30 juta diminta untuk disimpan. Sisa sebsar Rp 170 juta, diminta untuk diserahkan kepada terdakwa.
Sekitar pukul 21.00 WIB, Taufik Fajar menyerahkan uang sebesar Rp 300 juta kepada Hanif Mashudi di depan ruahnya. Sementara terdakwa Wiwiet Febriyanto, sekitar pukul 20.00 WIb, menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) sebagai permulaan, dilakukannya pembahasan rencana perubahan APBD tahun 2017, terkait permasalahan penganggaran PENS yang sekaligus tindak lanjut atas hasil konsolidasi dengan Kementerian Dalam Negeri. RDP tersebut, juga dihadiri oleh Purnomo, Umar Faruq dan Abdullah Fanani beserta anggota Komisi III DPRD Kota Mojokerto serta dihadiri juga oleh Kepala Dinas Pendidikan, Novi Raharjo, Subektiarso (Kepala Bidang Anggaran BPPKA), Ani Wijaya (Kepala Bidang Aset DPPKA) juga Helmi (Kepala Bidang Perencanaan Infrastruktur, SDA dan Ekonomi BAPEKO).
Pada saat berlangsungnya RDP, Umar Faruq menerima telepon dari Hanif Mashudi, yang menyampaikan bahwa, telah menerima uang Rp 300 juta dari terdakwa Wiwiet Febriyanto melalui Taufik Fajar alais Kaji. Dari telepon tersebut, Umar Faruq menemui Hanif Mashudi di kantornya di Jalan Surodinawan Mojokerto, untuk memastikan uang yang diberikan oleh terdakwa yang diterima Hanif Masudi.
Sekitar pukul 23.00 WIB setelah selesai RDP, terdakwa menemui Purnomo diruang kerjanya, dan menyampaikan bahwa uang komitmen tahap pertama program Jasmas yang dapat direalisasikan oleh terdakwa adalah sejumlah Rp 300.000.000 dan telah diserahkan melalui Umar Faruq. Sedangkan sisanya, akan direalisasikan kemudian hari. Terdakwa Wiwiet Febriyanto lalu mengambil uang Rp 170 juta dari Taufik Fajar untuk dipergunakan membayar cicilan rumah sejumlah Rp 30 juta, dan sisanya Rp 140 juta sebahai tambahan uang triwulan anggota DPRD Kota Mojokerto.
Pada dini hari, 16 Juni 2017, setelah selesai RDP, Purnomo menemui Umar Faruq di rumah PAN. Tidak lama kemudian, Umar Faruq menghubungi Hanif Mshudi, supaya datang ke rumah PAN membawa uang Rp 300 juta dari terdakwa, yang disimpan dalam tas ransel berwarna hitam merk ECCE. Tak lama kemudian, Umar Faruq dan Abdullah Fanani tertangkap oleh petugas KPK.
Usai persidangan, saat wartawan media ini menanyakan terkait, keterlibatan Wali Kota Mojokerto, Mas’ud Yunus, dalam kasus yang menyeret Wiwiet Febriyanto dan 2 Kontraktor, apakah akan dijadikan sebagai tersangka. JPU KPK Iskandar menjelaskan bahwa, dalam pasal 55 KUHP bisa jadi.
“Kalau asal usul uangnya, nanti akan kita pisahkan dengan perbuatan terdakwa, barangkali dari pengembangan. Kalau motif terdakwa memberikan uang ke Dewan kan terkait APBD agar lancar. Kalau ke rekanan, terkait dengan proyek. Kalau Wali Kota akan jadi saksi. Kalau dari dakwaan pasal 55, berarti kan ada namanya mensarea ada kerja sama,” ucap JPU KPK Iskandar.
Sementara Suryono Pane, selaku PH terdakwa mengatakan bahwa, pertemuan dirumah terdakwa tidak pernah ada dan harus bisa dibuktikan. Namun Pane mengakui, terkait antara terdakwa dengan 2 rekanan tersebut,
“Pertemuan dirumah terdakwa tidak pernah ada, dan itu tidak ada harus dibuktikan. Kalau mengenai rekanan itu, ya bisa jadi,” kata Pane. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :