0

Penasehat Hukum terpidana, Mesak Abbet Neggo Taloim (Obby) : “Alasan PK adalah putusan MA kepada Terpidana Setyono (mantan Wali Kota Pasuruan) dalam perkara yang sama”   

Foto sebelah kiri, Terpidana Dwi Tri Nurcahyono didampingi Penasehat Hukumnya, Mesak Abbet Neggo Taloim (Obby) dan JPU KPK (foto sebelah kana)

BERITAKORUPSI.CO – “Berdoa untuk mendapatkan sesuatu yang diingankannya adalah hak seseoarang. Namun terkabul atau tidak, itu adalah Kuasa dari Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Esa,”.

Ibarat kalimat diataslah yang diharapkan oleh terpidana yang mengajukan PK (Peninjauan Kembali) dengan harapan mendapat hukuman yang seringan-ringan dari Hakim PK di Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta.

Dan itupula yang diharapkan terpidana 5 (lima) tahun penjara Dwi Tri Nurcahyono, mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kadis PUPR) Kota Pasuruan, dalam kasus perkara Korupsi suap tangkap tangan KPK pada tanggal tanggal 3 Oktober 2018 lalu

Saat itu (3 Oktober 2018), KPK melakukan tangkap tangan terhadap Setiyono selaku Wali Kota Pasuruan, Dwi Tri Nurcahyono, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kadis PUPR) Kota Pasuruan, Wahyu Tri Hardianto (PNS). Ketiganya selaku penerima suap. Sedangkan pemberi uang suap adalah Muhammad Baqir (Kontraktor).

Pada tanggal 17 Mei 2019, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan hukuman (Vonis) pidana penjara terhadap Dwi Tri Nurcahyono selama 5 tahun. Untuk Wahyu Tri Hardianto dengan pidana penjara selama 4 tahun. Sedangkan untuk Setiyono dipidana penjara selama 6 tahun. Sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sudah  menjatuhkan hukuman (Vonis) 2 tahun penjara terhadap Muhammad Baqir

Hukuman pidana penjara itu langsung diterima oleh terpidana Dwi Tri Nurcahyono, terpidana Wahyu Tri Hardianto dan terpidana Muhammad Baqir. Kecuali Setiyono yang melakukan upaya hukum banding ke PT (Pengadian Tinggi) dan kemudian Kasasi, karena Hakim PT tidak “memberikan diskon” hukuman.

Usaha Setiyono untuk mendapat “diskon” berhasil. Hakim Agung Mahkamah Agung RI mengurangi hukuman Setiyono dari 6 tahun menjadi 3 tahun penjara.

Nah, mengetahui kalau terpidana Setiyono mendapat “diskon” hukuman dari Hakim Agung Mahkamah Agung RI, terpidana Dwi Tri Nurcahyono dan terpidana Wahyu Tri Hardianto “bermimpi” untuk mendapat “diskon” hukuman dari Hakim Agung Mahkamah Agung RI dengan cara mengajukan PK (Peninjauan Kembali). Namun yang lebih duhalu mengajukan PK adalah terpidana Wahyu Tri Hardianto

“Itu adalah hak terpidana, kita siap aja melayani,” kata JPU KPK, Arif Suhermanto
Sementara alasan PK terpidana Dwi Tri Nurcahyono bukan karena menemukan Novum atau bukti baru, melainkan hanya berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI terhadap terpidana Setoyono. Hal itupun dikaui oleh salah satu Penasehat Hukum terpidana, yaitu Mesak Abbet Neggo Taloim atau yang akrab disapa Obby

“Alasan PK adalah putusan MA kepada Terpidana Setyono (mantan Wali Kota Pasuruan) dalam perkara yang sama” kata Obby kepada beritakorupsi.co, Kamis, 10 Desember 2020

Obby menjelaskan, alasan Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Pemohon PK yaitu terpidana Dwi Tri Nurcahyono, yaitu yang pertama berdasarkan pasal 263 KUHAP huruf (b) yang menyebutkan “Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain:

Kedua, lanjut Obby. Adanya Kekhilafan Hakim atau Suatu Kekeliruan berdasarkan pasal 263 KUHAP huruf (c yang menyebutkan “Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata”

“Putusan yang bertentangan itu adalah putusan perkara Pemohon PK No. 34/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Sb terhadap putusan-putusan : 1. Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3781 K/Pid.Sus/2019 Tanggal 4 Desember 2019, Atas Nama Pemohon Kasasi Setiyono. Dan ke 2. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya No. : 195/Pid.Sus/TPK/2018/PN Sby tanggal 25 Februari 2019 atas nama Terdakwa M. Baaqir  yang sama-sama kedua putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap,” kata Obby

Lebih lanjut Obby menjelaskan, alasan adanya kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dalam permohonan peninjauan Kembali ini, ada 6 poin yait : 1. Judex Facti telah salah menafsirkan bentuk penyertaan Penganjuran/Pembujukan/Penggerakan (Uitlokken) ke dalam bentuk penyertaan, turut serta melakukan (Medeplegen). 2. Judex Facti telah keliru tidak menerapkan sistem pembuktian terbalik dan sistem negative Wettelijk dan hanya berlandaskan 1 (Satu) bukti pada tuntutan uang pengganti dari JPU. 3. Judex Facti telah melakukan kekeliruan yang nyata karena menarik terdakwa ke dalam fakta-fakta hukum yang tidak Pernah dlakukan terdakwa

Kemudian yang 4, lanjut Obby. Judex Facti telah keliru karena tidak memberikan alasan pertimbangan hukum yang cukup (Onvoldoende Gemotiveerd) dalam menolak dalil-dalil Pledoi Penasihat Hukum terdakwa. Ke 5. Judex Facti telah keliru karena tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang relevan dan menentukan untuk menjadi pertimbangan Judex Facti. Dan yang ke 6 adalah, Judex Factie telah keliru dalam menarik fakta-fakta Perbuatan yang sama, yang tidak utuh, menjadi fakta-fakta hukum adanya perbuatan perbarengan (Concursus)
Pertanyaannya. Apakah Hakim Agung Mahkamah Agung RI akan mengabulkan permohan PK yang dimohonkan terpidana Dwi Tri Nurcahyono dengan alasan seperti yang disampaikan Penasehat Hukum terpidana Dwi Tri Nurcahyono, Obby ?

Seperti yang diberitakan sebelumnya. Jum'at, 17 17 Mei 2019, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang diketuai I Wayan Sosiawan dengan dibantu 2 (dua) Hakim anggota (Ad Hock) yakni Kusdarwanto dan Bagus Handoko menyatakan bahwa terdakwa Dwi Tri Nurcahyono selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan terdakwa Wahyu Tri Hardianto (pegawai honorer Kecamatan Pututrejo) terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi menerima suap fee proyek APBD Kota Pasuruan tahun 2016 hingga 2018 untuk Wali Kota Pasuruan. Dwi pun divonis pidana penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp300 juta subsidair , sedangkan Wahyu di hukum 4 tahun.

Selain hukuman pidana penjara, Majelis Hakim juga menjatuhkan hukuman denda dan pengembalain duit yang diterima terdakwa Dwi Tri Nurcahyono sebesar Rp80 juta dari total yang dinikmatinya senilai Rp139.300.000 karena yang Rp59.300.000 sudah dikembalikannya  melalui KPK, sedangkan untuk terdakwa Wahyu Tri Hardianto di hukum untuk mengembalikan uang yang diterimanya sebesar Rp36.400.000 (namun sudah dikembalikan melalui KPK).

Hukuman pidana penjara terhadap kedua terdakwa (Dwi Tri Nurcahyono dan Wahyu Tri Hardianto) dibacakan oleh Majelis Hakim di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya Jlaan Raya Juanda, Sedat, Sidoarjo Jawa Timur, dengan agenda pembacaan putusan yang dihadiri Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) Kiki Ahmad dan Taufiq Ibnugroho serta Penasehat Hukum (PH)  terdakwa.

Terdakwa Dwi Tri Nurcahyono dan Wahyu Tri Hardianto terseret dalam kasus Korupsi Suap Tangkap Tangan KPK terhadap Wali Kota Pasuruan Setoyono (sudah divonis 6 tahun penajara) bersama Muhammad Baqir seorang pengusaha di Pasuruan, pada tanggal 3 Oktober 2019. Kemudian untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, JPU KPK menyeret Keempatnya ke Pengadilan Tipikor Surabaya untuk diadili dihadapan Majelis Hakim.

Dalam putusan Majelis Hakim, Muhammad Baqir dinyatakan terbukti bersalah secara bersama-sama dan berlanjut melakukan Tindak Pidana Korupsi menyuap Wali Kota Pasuruan Setiyono melalui Dwi dan Wahyu sebesar Rp115 juta sebagai fee proyek di Dinas Pendidikan Pasuruan tahun 2018. Terdakwa Muhammad Baqir dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana teteh ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jis Pasal 55 ayat (1) Ke-1, Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. Muhammad Baqir pun divonis pidana penjara selama 2 tahun.
Setelah Muhammad Baqir divonis, kemudian pada Senin, 25 Pebruari 2019, menyusul giliran Dwi dan  Wahyu (satu perkara) serta Setiyono diadili dengan. Namun saat Majelis Hakim menjatuhkan hukuman (Vonis), terdakwa Setiyono yang lebih dahulu (Senin, 13 Mei), dan 5 hari kemudian (Jum'at, 17 Mei), barulah giliran Dwi dan Wahyu yang dijatuhi hukuman.

Oleh Majelis Hakim yang sama, terdakwa Setiyono selaku Wali Kota Pasuruan periode 2016 - 2021 dinyatakan terbukti bersalah secara bersama-sama dan berlanjut melakukan Tindak Pidana Korupsi menerima uang suap sebesar Rp2.967.243.360 sebagai fee proyek APBD Kota Pasuruan sejak tahun 2016 hingga 2018 dari pengusaha kontraktor di Pasuruan melalui Dwi Tri Nurcahyono, Wahyu Tri Hardianto dan Wongso Kusumo.

Terdakwa Setiyono dijerat Pasal 12 huruf b UU Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana teteh ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jis Pasal 55 ayat (1) Ke-1, Pasal 65 ayat (1) KUHPidana dengan pidana (Vonis) penjara selama 6 tahun, denda sebesar Rp500 juta subsidair 4 (empat) bulan kurungan, dan mengembalikan uang suap yang dinikamatinya sebesar Rp2.267.243.360 selain uang yang sudah dikembalikan oleh terdakwa melalui KPK senilai Rp1.6 Miliyar, serta hukuman tambahan berupa pencabutan hak Politik (hak dipilih dan memilih dalam jabatan Publik) selama 3 (lima) tahun.

Lalu apakah pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian uang suap terhadap terdakwa Setiyono melalui  terdakwa Dwi Tri Nurcahyono dan Wahyu Tri Hardianto akan diseret ke Pengadilan Tipikor oleh KPK untuk diadili bersama terpidana Muhammad Baqir yang sudah divonis terlebih dahulu sebagai pemberi suap terhadap Wali Kota Pasuruan Setiyono?

Menanggapi pertanyaan beritakorupsi.co, JPU KPK Taufiq Ibnugroho mengatakan, hingga saat ini KPK belum ada penydidikan dan juga belum menetapkan tersangka baru dalam kasus Korupsi Suap Wali Kota Pasurusan Setiyono. Namun JPU KPK Taufiq Ibnugroho mengakui, bahwa dalam putusan Majelis disebutkan pihak-pihak yang terlibat, dan akan melaporkannya terlebih dahulu ke Pimpinan KPK sesuai fakta yang terungkap dalam persidangan.

“Hingga saat ini belum ada penyidikan dan juga belum ada tersangka baru. Terkait pihak-pihak yang terlibat memang disebutkan tadi dalam putusan Majelis Hakim. Dan kami akan melaporkannya dulu ke Pimpinan sesuai fakta yang terungkap dalam persidangan hari ini,” ujar JPU KPK Taufiq Ibnugroho

Terkait jumlah uang suap yang diterima terdakwa Setiyono dalam surat tuntutan maupun putusan Majelis Hakim yang ditanyakan beritakorupsi.co, JPU KPK Kiki Ahmad Yani menjelaskan, akan mengungkap dan menyeret orang-orang yang terlibat pemberian uang suap terhadap terdakwa.

“Ya, mengenai jumlah uang yang diterima terdakwa akan diungkap,” ujar JPU KPK Taufiq Ibnugroho.

Sementara dalam persidangan yang berlangsung hari ini (Jum'at, 17 Mei 2019), Dalam putusan Majelis Hakim menyatakan,  mengambil pertimbangan seluruhnya atas perbuatan terdakwa terdakwa Dwi dan Hayu.

Menurut pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, bahwa terdakwa Dwi Tri Nurcahyono dan Wahyu Tri Hardianto hanya menjalankan perintah Wali Kota Setiyono. Pun demikian, Pasal dan tuntutan JPU KPK terhadap kedua terdakwa sama dengan putusan Majelis Hakim kcuali subsidair atas hukuman denda.

Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa Dwi Tri Nurcahyono dan Wahyu Tri Hardianto terbukti bersalah menurut hukum secara bersama-sama dan berlanjut melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 12 huruf b  jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

“Mengadili ; Menyatakan Dwi Tri Nurcahyono dan Wahyu Tri Hardianto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam dakwaan pertama ; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Dwi Tri Nurcahyono berupa pidana penjara selama 5 (lima)  denda sebesar Rp300 juta subsidiair 4 (empat) bulan kurungan ; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Wahyu Tri Hardianto berupa pidana penjara selama 4 (empat) tahun denda sebesar Rp200 juta subsidiair 2 (dua) bulan kurungan ;

Menghukum terdakwa Dwi Tri Nurcahyono untuk membayar uang pengganti sebesar Rp80 juta selambat-lambat 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan memperoleh hukum tetap. Bilamana Terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut maka harta bendanya di sita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara selama 2 (dua) bulan ;

Menghukum terdakwa Wahyu Tri Hardianto untuk membayar uang pengganti sebesar Rp36.400.00 juta dan diperhitungkan dengan uang yang sudah dikembalikan oleh terdakwa sebesar Rp36.400.00 juta,” ucap Ketua Majelis Hakim.

“Demikian putusan Majelis. Kami tidak bisa mengurangi putusan karena terbentur dengan hukuman minimal, yaitu 4 tahun. Apalagi untuk terdakwa Wahyu Tri Hardianto yang hanya sebagai pegawai honorer. Jadi saudara punya hak untuk menyatakan menerima, menolak atau pikir-pikir dalam waktu tujuh hari,” tambah Ketua Majelis Hakim

Atas putusan Majelis Hakim, terdakwa Dwi Tri Nurcahyono dan Wahyu Tri Hardianto mengatakan menerima. Sementara JPU KPK menyatakan masih pikir-pikir.

“Saya menerima,” kata terdakwa Dwi dan diikuti terdakwa Wahyu.
“Untuk putusan ini, kami masih pikir-pikir dulu, Yang Mulia,” jawab JPU KPK Taufiq Ibnugroho. (Jen)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top