0

beritakorupsi.co - Jum'at, 9 Agustus 2019 adalah hari bersejarah sekaligus hari yang paling membahagiakan bagi dr. Esti Handayani selaku Kepala Puskesmas Porong Kabupaten Sidarjo yang sempat menyandang “gelar” sebagai terdakwa Korupsi.

Selain bagi dr. Esti, kebahagiaan termasuk dirasakan keluarga besarnya, yang mungkin terkena imbas dari pemberitaan di beberapa media cetak maupun elektronik, pada saat Tim Saber Pungli Poda Jatim menangkap dr. Esti pada hari Senin, 17 September 2018 lalu, karena dugaan Kasus Tindak Pidana Korupsi potongan dana kapitasi sebesar 15 persen dari Jasa Pelayanan (Jaspel) di Puskesmas yang dipimpinnya (dr.Esti).

Saat itu (Senin, 17 September 2018), petugas Tim Saber Pungli Polda Jatim menangkap dr. Esti selaku Kepala Puskesmas bersama Mulai selaku staf Tata Usaha (TU), bendahara internal, dan koordinator dengan mengamankan barang bukti berupa uang sebesar  Rp 58,5 juta.

Anehnya, dr. Esti dirangkap Tim Saber Pungli Polda Jatim pada tanggal 17 September 2018 lalu, namun baru disidangkan hampir setahun kemudian (Juni 2019) dan tidak dilakukan penahanan dalam Rutan (Rumah Tahanan Negara) melainkan hanya tahanan Kota.

dr. Esti dituduh telah melakukan pemotongan dana kapitasi sebesar 15 persen dari Jasa Pelayanan (Jaspel), dan dari pemotongan itu kemudian dibagikan kepada 89 karyawan di Puskesmas yang dipimpinnya.

dr. Esti pun dijerat Pasal “Pemaksaan” yaitu dalam Pasal 12 huruf e atau Pasal “Menerima” yakni Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 12 berbunyi :  Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

huruf e Pasal 12 berbunyi :  pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

Sedangkan Pasal 11 berbunyi : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya;

Dari catatan maupun pengatamatan beritakorupsi.co di Pengadilan Tipikor Surabaya, beberapa terdakwa yang tertangkap tangan Tim Saber Pungli, Kedua Pasal ini selalu dikenakan oleh penyidik maupun JPU untuk menjerat terdakwa.

Anehnya, selama persidangan JPU tak dapat membuktikan bagaimana si terdakwa melakukan pemaksaan kepada pihak-pihka lain agar bersedia untuk memberikan sesuatu ataupun membayar sesuatu berupa duit.

Anehnya lagi adalah, dalam tuntutan JPU maupun Putusan (Vonis) Majelis Hakim mengatakan, bahwa terdakwa terdakwa dianggap bersalah karena menerima duit suap sebagai Korupsi sebagaiaman diatur dan diancam dalam Pasal 11 UU Tindak Pidana Korupsi.

Yang lebih anehnya lagi selama ini, yaitu bahwa JPU maupun Majelis Hakim tidak pernah menjelaskan bahkan tidak menjerat si pemberi uang suap terhadap terdakwa yang dianggap sebagai Korupsi. Justru si pemberi uang suap itu tetap menjadi “miteri” dalam kasus Operasi Tangkap Tangan Tim Saber Pungli.

Kalau memang yang memberikan duit itu adalah keluarga atau orang tua terdakwa sebagai warisan ataupun untuk membantu perekonomian si terdakwa, apakah itu dianggap uang Korupsi ? Dan mengapa si pemberi uang Korupsi itu tidak ada satu pun yang diseret sebagai tersangka/terdakwa ?

Apakah memang Kepres (Kepetusan Presiden) Nomor 87 tahun 2016 tentang Sapu Bersi Pungutan Liar hanya bagi sipenerima, sementara si pemberi diselamatkan ?. Lalu bagaimana dengan Pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi bagi si pemberi itu ?

Pasal 13 berbunyi ; setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Itulah bedanya Tim Saber Pungli dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) saat melakukan kegiatan tangkap tangan terhadap pejabat atau PNS (ANS) yang kedapatan menerima duit suap. Yang ditangkap Tim Saber Pungli hanya si penerima, sedangkan yang ditangkap KPK tidak hanya si penerima, melainkan si pemberi dan dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi. Dan untuk si penerima dijerat dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU yang sama.

Karena penyidik Polda Jatim maupun JPU Kejari Sidoarjo menganggap bahwa dr. Esti bersalah melakukan pemotongan dana Kapitasi sebesar 15 persen dari Jaspel Puskesmas Porong, Dia pun dituntut pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan.

 Namun dalam perka dr. Esti kali ini, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya benar-benar sangat jeli dalam menyidangkan perkara ini, bukan sekedar mengadili namun berdasarkan fakta yang terungkap selama  dalam persidangan dengan berdasarkan keadilan Yang Berketuhanan Yang Maha Esa.

Majelis Hakim mengatakan sesuai fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa terdakwa dr. Esti Handayani selaku Kepala Puskesmas Porong Kabupaten Sidarjo tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaiamana diatur dan diancam dalam Pasal 12 huruf e atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Majelis Hakim mengatakan, bahwa berdasarkan fakta yang tang terungkap dalam persidangan, bahwa uang dari pemotongan dana Kapitasi Jaspel Pukesmas Porong adalah hasil kesepakatan semua pegawai dan bukan keputusan terdakwa sendiri.

Selain itu, uang hasil pemotongan tersebut diberikan kepada pegawai honor Puskesmas Porong yang turut membantu pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Bahkan terdakwa sendiri bersama pegawai Puskesmas Porong sama-sama memberikan bantuan atau pengumpulan duit dari hasil pemotongan itu untuk honor pegawai honorer di Puskesmas Porong.

Sehingga unsur memperkaya diri sendiri atau orang laing, atau menerima sebagaimana dakwaan JPU tidak terbukti. Apa yang disebutkan Majelis Hakim dalam putusannya bukan tidak beralasan. Sebab uang yang terkumpul dari pegawai termasuk dari terdakwa sendiri bukan diberikan kepada pegawai apalagi tidak dinikmati oleh terdakwa, melainkan diberikan kepada Honorer Puskesmas Porong yang turut membantu pelayanan kesehatan kepada masyarakat karena tidak termasuk dalam anggaran Puskesmas Porong yang berasal dari APBD/APBN.

Apakah tindakan terdakwa melakukan hal itu dianggap sebagai tindak Pidana Korupsi melakukan pemotongan atau menerima ?

Sehingga Tiga Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya sependapat dalam putusannya untuk membebaskan dr. Esti Handayani selaku Kepala Puskesmas Porong Kabupaten Sidarjo sebagai terdakwa dalam perkara Nomor : 39/PID.SUS/TPK/2019/PN.SBY Kasus Tindak Pidana Korupsi potongan dana kapitasi sebesar 15 persen dari Jasa Pelayanan (Jaspel) yang tertangkap tangan Tim Saber Pungli Poda Jatim pada Senin, 17 September 2018 lalu.

Vonis Bebas terhadap dr. Esti ini dibacakan oleh Majelis Hakim yang diketuai Hakim I Wayan Sosisawan, SH., MH dengan dibantu 2 (dua) Hakim anggota (Ad Hock) yaitu Dr. Lufsiana, SH., MH dan John Desta, SH serta Panitra Pengganti (PP) Slamet Suripta, SH., MH diruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya Jalan Raya Juanda, Sidoarjo Jawa Timur dengan di hari JPU serta Tim Penasehat Hukum terdakwa.

Majelis Hakim mengatakan, karena terdakwa tidak terbukti bersalah sebagaimana dakwaan primer (Pasal 12 huruf e) maupun dakwaan Subsidair (Pasal 11) Jaksa Penuntut umum, maka terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan tersebut. Karena terdakwa dibebaskan dari dakwaan tersebut, maka terdakwa haruslah dibebaskan dari Tahanan Kota serta hak-haknya dipulihkan.

“Mengadili : Satu (1), menyatakan terdakwa dr.Esti Handayani tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan Primer maupun Subsidair : Dua (2), membebaskan terdakwa dari semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum : Tiga (3), menetapkan terdakwa segera dibebaskan dari Tahanan Kota : Empat (4), memulihkan dan mengembalikan hak-hak terdakwa serta martabatnya : Lima (5), menetapkan barang bukti Nomor urut satu (1) sampai dengan Nomor dua (2) sebagaimana tertuang dalam putusan ini dikembalikan dari mana asalnya, barang bukti omor tiga (3) sampai dengan Tujuh belas (17) dikembalikan pada yang berhak yakni Pukesmas Porong : Enam (6), membebankan biaya perkara pada negara,” ucap Ketua Majelis Hamim.

Seusai persidangan, tim Penasehat Hukum terdakwa, Serbabagus mengatakan, bahwa sebagian yang jadi pertimbangan dalam putusan Majelis Hakim sudah masukan pada Nota pembelaan.
Srbabagus menambahkan, bahwa unsur pemaksaan atau menerima dalam surat dakwaan Jaksa tidak terbukti dalam persidangan.

"Tidak terbukti unsur pemaksaan maupun menerima sesuatu. Bahwa terdakwa sendiri ikut memberikan iuran. Uang itu diberikan untuk pegawai honorer Puskesmas Porong yang ikur membantu pelayanan," ucap Serbabagus.

Agus Happy Fajariyanto yang juga Tim Penasehat terkwa sependapat dengan apa yang dikatakan rekannya Serbabagus. Agus hanya menambahkan, bahwa  hasil putusan sudah sesuai fakta-fakta persidangan yang terungkap, bahwa unsur-unsur yang di pasal 12 huruf e dan pasal 11 tidak ada yang terpenuhi, sehingga hakim membebaskan.

"Fakta persidangan terungkap, bahwa unsur pasal 12 huruf e atau  pasal 11 tidak ada yang terpenuhi,”  kata Agus.

Terpisah. dr. Esti saat ditemui berikaorupsi.co mengatakn, bahwa putusan Hakim membuatnya merasa bahagia. Dan Ia mengatakan, bahwa kedalian ternyata masih ada.

"Saya sangat bahagia, ternya masih ada keadilan," ucap dr. Esti sambil mngusap keuda kelopak matanya yang dipenuhi air bening sejak dalam persidangan berlangung.

Berbeda dengan JPU yang tidak memberikan komentar sama sekali, karen langsung buru-buru meninggalkan gedung Pengadilan Tipikor Surabaya. (Jen/Rd/T1m)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top