0

beritakorupsi.co - Apakah pelaku Korupsi dalam pasal 11 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi dilakukan oleh 1 orang saja ?

Pasal 11; Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Bila dalam pasal 11 UU Korupsi dikatakan, dipidana penjara pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji. Lalu bagaimana dengan sipemberi hadiah atau janji tersebut ?. Apakah dapat dipidana atau “wajib diselamatkan” ?

Atau, Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Satgas Saber Pungli berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), pada 20 Oktober 2016, “tidak berlaku” bagi sipenyuap ?

Inilah yang terjadi dalam kasus Korupsi suap OTT yang dilakukan oleh Polrestabes Surabaya terhadap Dina Karandina selaku staf pengawasan di Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur di Hotel JW Mariot, Jalan Embongmalang Surabaya, pada Kamis, 23 Maret 2017, sekitar pukul 12.30 WIB

Setelah Dina Karandina ditangkap dengan barang bukti berupa uang sebesar Rp 25 juta dan 1 buah Hend Phon, Ia pun langsung dijebloskan ke penjara dan dijerat dengan pasal 12 huruf e UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun.

Masyarakat pun bertanya-tanya ingin tahu, dari siapa Dina Karandina menerima uang tersebut ? Mengapa petugas Polrestabes Surabaya tidak menangkap oknum sipemberi uang atau sipenyuap ? Apakah pertemuan Dina Karandina dengan sipenyuap di Hotel bintang 5 itu hanya sekedar pertemuan biasa untuk penyerahan uang ?.

Atau, mengapa hingga hari ini, Polrestabes Surabaya dan Jaksa Penuntut Umum dari Kejari Surabaya, tidak dapat mengadirkan “batang hidung” sipenyuap sebagai saksi di persidangan, agar kasus yang menjerat wanita berkerudung ini jelas serta terang benderang ?

Ironisnya, media pun sepertinya turut “terhipnotis” saat kasus OTT ini mencuat kepublik. Sebab, tak satu pun media yang mempublikasikan, siapa nama pemberi uang dan bagaimana statusnya ?. Pemberitaan yang ada, bahwa uang yang diterima Dina Karandina adalah untuk biaya pengurusan ijin UKL, UPL dan IMB dari sipemohon. Namun entah siapa dan perushaan mana yang memohon ijin dimaksud, juga “tak jelas”.

Tak heran memang, sebelum kasus ini dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Surabaya oleh JPU, Kajari Surabaya sempat mengembalikan berkas perkaranya sebanyak Dua kali kepada penyidik Polrestabes Surabaya.

Yang lebih anehnya, “ibarat ucapan, malu-malu tapi mau”. Sebab Kejari Surabaya akhirnya menerima juga pelimpahan berkas perkara kasus suap OTT ini dari penyidik Polrestabes Surabaya dengan tersangka TUNGGAL, yakni Dina Karandina.

Menurut terdakwa Dina Karandina, bahwa sosok “Andi Purnomo” sipemberi suap, diduga adalah oknum petugas yang datang ke Hotel JW Mariot, Jalan Embongmalang Surabaya menemui Dina Karandina saat mengikuti pelatihan.
Ternyata pelaku Korupsi suap itu dapat dilakukan oleh satu orang saja tanpa “ada”sipenyuap. Faktanya, Polisi, Jaksa maupun Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya “sepakat”, hanya Dina Karandina-lah pelakunya.

Setelah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya, terdakwa tunggal kasus suap OTT dituntut pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan. JPU Wira dari Kejari Surabaya menjeratnya dengan pasal 11 Undang-Undang RI   No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun

Pada Senin, 23 Oktober 2017, Ketua Majelis Hakim  Rochmat, menghukum terdakwa Dina Karandina dengan pidana penjara selama 1 tahun denda sebesar Rp 50 juta atau kurungan 1 bulan, serta Satu buah Hand Phon dirampas untuk negara

Dalam amar putusan Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa Dina Karandin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana diancam dan diatur dalam pasal 11 Undang-Undang RI   No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun dan denda sebesar Lima puluh juta rupiah. Apa bila terdakwa tidak membayar, maka diganti kurungan selama Satu bulan,” ucap Hakim Rochmat.

“Satu tahun ya Mbak, itu sudah ringan. Kalau banding, bisa jadi Lima tahun dan Kasasi juga. Karena mereka hanya membaca dokumen. Kalau kami masih ada hati nurani,” kata Hakim Rochmat terhadap terdakwa yang didampingi PH-nya dari LBH YLKI secara prodeo.

Menanggapi putusan Majelis Hakim, JPU maupun PH terdakwa sama-sama pikir-pikir.

Usai persidangan, JPU Wira tak mau berkomentar saat wartawan media ini menanyakkan terkait sosok sipenyuap terdakwa. Ia hanya mengatakan kalau HP terdakwa dirampas untuk negara.

“Masih pikir-pikir, HP dirampas untu negara,” kata Wira singkat.

Sementara PH terdakwa mengatakan, bahwa putusan Majelis hakim termasuk ringan.

Sebelumnya, kepada media ini terdakwa Dina Karandina pun bercerita, terkait kasus yang menimpa dirinya. Menurut terdakwa, dirinya merasa dijebak jauh sebelum terjadi penangkapan. Dina Karandina  pun heran, sebab hingga saat ini “Andi Pramono”, sipenyuap dirinya tak pernah dihadirkan dipersidangan.

Pada hal, petugas Polrestabes Surabaya menangkapnya, pada Kamis, 23 Maret 2017 sekitar pukul 12.30 WIB atau 5 menit setelah menerima uang sebesar Rp 25 juta dari “Andi Pramono” di Hotel JW Mariot Suarabaya.

“Saya merasa dijebak. Andi Pramono tidak pernah dihadirkan kepersidangan,” ucap Dina Karandina atau yang akrab disapa Dina.

Kecurigaan terdakwa, adalah sejak dirinya menerima disposisi dari atasannya selaku Kepala Bidang (Kabid) di Dinas Lingkungan Hidup. Yang menurut terdakwa, selama menjadi PNS, belum pernah seorang bawahan menerima disposisi langsung jauh-jauh hari sebelum jadwal waktu kegiatan, mengingat erat kaitannya dengan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) yang notabene ada duitnya.

“Saya juga sudah merasa curiga dan heran sebelumnya. Saya merasa dijebak. Saya ke Hotel JW Mariot tanggal 23 (23 Maret 2017) mengikuti pelatihan. Tapi saya heran, karena sebelum mengikuti kegaiatan, saya sudah menerima disposisi jauh-jauh hari, yaitu tanggal 3 Maret. Saya sejak awal jadi PNS sudah di Dinas Lingkungan Hidup. Menurut hemat saya, bawahan itu belum pernah di disposisi jauh-jauh hari sama pimpinan yaitu Bu Endang, selaku Kepala Bidang. Kalu yang dulu sudah pindah,” beber Dina dengan rasa takut.

“Yang lucunya lagi, siapapun atasan, kalau SPPD biasanya kalau untuk staf seperti saya bawahan misalnya, mau keluar kota atau ke Jakarta, itu akan diturunkan didetik-detik terakhir, nggak mungkin langsung pertama karena erat kaitannya ada SPPD. Sampai saya tanya tiga kali Kabid saya. “Bu, benar ta saya yang berangkat”. Karena saya pernah dapat info dari Sucofindo, tentang kita mau ada program untuk tanggap darurat Limbah B3, saya yang mengidekan waktu itu. Perkiraan Sucofindo itu saya yang hadir. Tapi karena atasan itu ngerti dengan perjalanan dinas, dibudali (berangkat) sama mereka. Mereka kaya curiga. Saya ditanya, “Dek, kog nggak mudun nang aku, pingin budal dewe ta (Dek..kenapa nggak diturunkan ke saya, mau berangkat sendiri ya), ya saya jawab nggak Bu, monggo kalau Bu Endang mau berangkat (nggak Bu, silahkan kalau Bu Enang mau brerangkat). Kog bisa seperti itu, tapi ini nggak. Nah disitu saya mulai curiganya,” lanjut Dina.

Dina pun merasa, kalau kasus yang menimpanya erat kaitannya dengan kegagalan oknum polisi yang hendak meminta uang dari perushaan yang dianggap tidak mengolah limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) sesuai UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan PP (Peraturan Pemerintah) RI No. 101 Tahun 2014 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang sangsi dendanya paling banyak sebesar Rp 3 millyar.

“Saya merasa ini dendam, karena saya sering menggalkan oknum polisi yang akan meminta uang dari perusahaan yang dianggap melanggar PP tentang limbah B3. Saya sering melakukan pengawasan dan memberikan penyuluhan terhadap perusahaan. Dan mereka pernah menyampaikan," ujar Dina

 "Kalau mereka ditarik sepuluh persen dari sangsi PP tentang B3. Sangsi dalam PP tentang limbah B3 kan tiga miliyar, kalau sepuluh persennya tigaratus juta. Saya dianggap menggagalkan aksi mereka. Saya kan orang teknis, saya hanya benar-benar bekerja memberikan penyuluhan. Saya memang staf tapi pengawas. Disana itu ada perusahaan yang kena modus polisi, kalau ada perusahaan yag tidak mengolah limbah B3. Bukan mereka melalaikan tetapi karena mereka tidak mengerti. Sebagai pengawasan, saya memberikan penyuluhan agar mereka mau mengurus tetapi lewat teman, saya hanya murni untuk memberikan masukan, tapi bukan saya yang mengerjakan tapi saya kasih ke orang lain. Ada satu oknum polisi dari Polres Sidoarjo, yang sering menemui perusahaan yang dianggap tidak mengolah limbah B3, kalau nggak benar biasanya dimintai sepuluh persen dari Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup. Kalau ada perusahaan yang tidak mengolah limba B3 dendanya kan tiga miliyar, sepuluh persennya berapa, tiga ratus juta kan,” kata Dina mengungkapkan.

Saat ditanya nama oknum dan perusahaan tersebut, Dina tak menjawab. Dengan raut wajah ketakutan, tidak bersedia menyebut nama perusahaan yang dimaksud.

”Ndak…. Perusahannya nggak ngomong, tapi banyak perusahaan yang gitu,” ucap Dina dengan rasa takut.

Saat ditanya, apakah pejabat Dinas Lingkungan Hidup pernah menerima sesuatu dari perusahaan yang diduga tidak mengelolah limba B3 ?. Menurut terdakwa pernah.

“Filling saya pernah, saya staff tapi pengawas, waktu itu kabitnya yang lama sudah pindah ke dinas kelautan, saya takut kena karma,” kata terdakwa dengan rasa takut untuk menyebutkan nama-nama yang diduga bermain dibelakangnya, terkait perusahaan yang tidak mengolah limbah B3, hingga dirinya terjerat dalam operasi tangkap tangan.

Terkait nama “Andi Pramono”, menurut terdakwa tidak dikenalnya sama sekali. Terdakwa mengaku mendapat telefon dari Andi Pramono. Menurut “Andi Pramono”, Nomer handphone terdakwa diperoleh dari seorang customer service di Sidoarjo, untuk mencari pelanggan. Padahal menurut terdakwa, dirinya tidak pernah memberikan Nomor HP-nya ke orang yang tidak dienalnya apalgai bercerita.

“Saya tidak kenal sama sekali. Saya ditelefon Andi Pramono, katanya Nomor saya dia dapat dari cutomer service di Sidoarjo. Padahal saya tidak pernah ngomong dengan siapapun. Andi Pramono menghubungi saya untuk memberikan pekerjaan. Pernah bertemu di Sutos tapi saya menolak karena data yang diberikannya tidak lengkap. Saya pernah dipaksa diberikan uang, tapi saya menolak karena itu, karena datanya kurang lengkap. Terus, dia kembali menelefon saya  dan bertemu di MC. Donals Surya Purya Jaya di sidoarjo saat malam hari, untuk memberikan pekerjaan di daerah Gersik, tapi bukan saya yang akan mengerjakan tapi akan saya kasih ke teman, saya hanya memberikan masukan. Karena untuk industry atau sebuah gudang, sehingga saya mau. Nah, pada hari seninnya (27 Maret 2-17) mau saya surve. Kamisnya (23 Maret 2017) Dia (Andi Pramono) memaksa saya, dia beriakn uang DP, saya gak mau tapi saya dipaksa. Pas jam istirahat, dia menemui saya di Hotel JW. Mariot, dengan memaksa diberikan uang sebesar Rp 25 juta. Lima menit setelah Andi Pramono memberikan uang itu, saat saya naik untu mengikuti pelatihan lagi, saya dipepet oleh petugas terus ditangkap,” kenag Dina.

Dari apa yang diceritakan terdakwa, apakah “Andi Pramono” adalah seorang oknum atau suruhan ? Sehingga, sosok Andi Pramono menjadi misterius, ibarat sebuah “Film Horror”.

Nama Andi Pramono tidak masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) apalagi tidak dihadirkan sebagai saksi si pemberi uang di Persidangan, seperti kasus-kasus OTT yang saat ini sedang di sidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya, diantaranya OTT Dinas Disperindag Kabupatena Jember, OTT BPN Kota Batu, Malang, OTT PT PAL, OTT Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan dan Dinas Peternakan Jatim dengan Ketua Komisi B DPRD Jatim, OTT Dinas PUPR Kota Mojokerto dengan Ketua DPRD Kota Mojokerto, OTT BPN Surabaya II. Dimana si penerima maupun sipemberi, sangat jelas “tubuhnya” duduk di kursi panas Pengadilan Tipikor Surabaya. (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top