0
 Terdakwa Anang didampingi PH-nya Yuliana dari LBH Lacak
Suarabaya  – “Yang terhormat, yang Mulia Hakim Ketua, Hakim Anggota, Yang terhormat Bapak Jaksan besera Tim. Demi Allah saya berkata jujur bahwa saya tidak menerima uang Rp 669 juta dan Rp 49 juta yang dituduhkan kepada saya. untuk itu saya mohon keringanan Vonis saya. Istri saya keadaan sakit, paru-paru tinggal satu. Anak perempuan yang Ketiga berumur 10 bulan. Saat saya ditangkap di Polda, umurnya baru 45 hari samapai sekarang 10 bulam belum ketemu saya. Saya bersumpah demi mereka anak-anak saya yang saya sayangi. Demi orang tua saya, bahwa saya tidak menerima uang seperti yang dituduhkan kepada saya. Saya harap Yang Mulia Hakim mengabulkan pembelaan saya,” kata terdakwa dalam surat pembelaannya.

Pada 28 Pebruari 2016, terdakwa membacakan surat pembelaan dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Hakim Tahsin, dan dimpingi Penasehat Hukum (PH)-nya Yuliana dari LBH Lacak. Anang adalah salah satu dari Empat terdakwa (Amru, Sekretaris Bawaslu Jatim; Gatot Sugeng Widodo, Bendahara dan Indriyono Pimpinan CV Canopus/rekanan, perkara masing-masing terpisah) dalam kasus dugaan korupsi di lembaga pengawasan Pemilihan Umum yakni Bawaslu Provinsi Jawa Timur pasca Pilgub 2013 lalu, yang menggunakan anggaran APBD dalam bentuk NPHD (naskah perjanjian hibah daerah) sebesar Rp 142 miliar. Dan kemudian dianggap merugikan negara sebesar Rp 5,6 miliar karena dugaan digunakan untuk kegiatan fiktif atas laporan Pejabat Pengadaan Bawaslu Jatim, Samudji Hendrik Susilo Bali atau Hendrik (status tersangka) ke Polda Jatim pada Oktober 2013.

Dalam kasus Korupsi, masyarakat Indonesia mendukung penegakan supremasi hukum disemua bidang, tanpa pandang bulu baik pejabat tinggi maupun masyarakat jelata. Sehingga, pembelaan terdakwa bisa jadi dianggap suatu alasan pembenaran diri dan menjadi bahan “tertawa” sebagian orang. Namun dalam fakta persidangan sejak awal, terdakwa mengakui dihadapan Majelis Hakim bahwa, dirinyalah yang mencari kemudian meminjam profil CV atas suruhan Hendrik dan Pasaru Palembangan selaku Koordinator keuangan. Dia (terdakwa Anang) dengan jujur menjawab pertanyaan Majelis bahwa, dia mengenal Hendrik dari Pasaru Palembangan yang jauh dikenalnya lebih dahulu.

Pekerjaannya sebagai serabutan di salah satu tempat foto Copy, membuatnya mengenal beberapa CV atau kontraktor di Surabaya. Saat terdakwa Anang berhasil mencari dan meminjam dua profil CV yakni, CV Singgasana Putih dan CV Jatayu Era Global tanpa sepengetahuan Amru selaku Sekretaris Bawaslu. Kedua profil CV tersebut diserahkan ke Hendrik. Sebagai imbalannya, terdakwa Anang menerima uang sebesar Rp 300 ribu dari Hendrik.

Uang Rp 300 ribu Inilah “Jalan” Mengantarnya Kejeruji Besi Di Polda Jatim 2015 lalu

Ditangan penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU), ada tandatangan terdakwa Anang di kwitansi penyerahan uang sebesar Rp 49 juta dari terdakwa Gatot dan pelunasan sebesar Rp 669 juta lebih untuk pengadaan spanduk ke CV Singgasana Putih dan CV Jatayu Era Global, yang dipinjamnya atas suruhan Hendrik dan Pasaru Palembangan. Pembayaran itu, menurut terdakwa Anang dan Gatot, atas perintah terdakwa Amru.

Namun menjadi pertanyaan, Anang yang mencari dan meminjam dua profil CV karena disuruh Hendrik dan Pasaru Palembangan. Tapi mengapa pembayaran dihadapan Amru? Padahal, peminjaman itu tidak atau bukan atas perintah Amru.

Bukti lainnya, ada tandatangan terdakwa Amru di dokumen pengadaan spanduk atas nama CV Singgasana Putih dan CV Jatayu Era Global. Dalam persidanagan, semua dokumen dengan mendesak diserahkan Hendrik ke Amru untuk ditandatangani saat itu juga. Namun, dokumen tersebut keesokan harinya hilang dari kantor Bawaslu. Kemunculan semua dokumen pengadaan yang sempat hilang setelah kantor Bawaslu didatangi penyidik Polda Jatim. Dokumen Pengadaan itulah menjadi salah satu “biang kerok” karena diduga ada dokumen kontrak fiktif selain dari perjalanan dinas fiktif, anggaran untuk kegiatan fiktif dan pemberian uang THR yang tidak berdasar.

Tuntuntan dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur terhadap terdakwa Anang yakni, Pidana penjara selama 8 tahun dan 6 bulan, denda sebesar Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan. Sehingga total tuntutan pidana penjara selama 9 tahun.

Anehnya, mengapa Kejati Jawa Timur hanya menunutut pidana penjara 9 tahun dan tidak menunutut pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp 49 juta dan Rp 669 juta seperti yang tercantum di kwitansi yang ditandatangani terdakwa Anang, atau mengembalikan uang sebesar Rp 300 ribu seperti yang diakui terdakwa dalam persidangan ?

Mengapa terdakwa hanya dituntut membayar denda sebesar Rp 500 juta? Bukankah dalam surat dakwaan dan surat tuntutan JPU bahwa pasal 3 Jo pasal 18 UU Korupsi Jo pasa 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP dikenakan ke semua terdakwa?.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top