![]() |
Direktur RSUD Gambiran (Lima dari kiri) |
Tiga jenis “penyakit” yang belum ditemukan obatnya itu, akan menyerang “pasien” tidak peduli apakah dia seorang pejabat ataupun masyarakat biasa. Apabila dirnya ditanya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Pensehat Hukum (PH) terdakwa maupun Majelis Hakim, terkait perkara pidana yang sedang disidangkan saat itu.
Hal itu pun dialami Direktur RSUD Gambirana Kediri, dr. Fauzan Adhima, saat duduk dan diminta keterangannya sebagai saksi dalam kasus dugaan Korupsi alat kesehatan (Alkes) RSUD Gambiran, pada Senin, 29 Pebruari 2016.
Dalam kasus dugaan Korupsi alat kesehatan (Alkes) RSUD Gambiran pada tahun anggaran (TA) 2013 lalu, untuk pengadaan alat kesehatan di 9 puskesmas Kota Kediri menelan anggaran sebesar Rp 3 milliar lebih. Dan merugikan keuangan negara senilai Rp 900 juta, dimana dr. Fauzan Adhima, selaku Direktur RSUD Gambiran Kediri sekaligus Pengguna Anggaran (PA).
Dalam persidangan yang digelar diruang sidang Candra Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, diketuai Majelis Hakim Tahsin, dengan agenda mendengarkan keterangan 5 orang saksi yang dihadirkan JPU dari Kejari Kediri diantaranya, dr. Fauzan Adhima, selaku PA, Budi, Diah, keduanya sebagai Panitia Lelang dan Mujiono, selaku PPHP (panitia penerima hasil pekerjaan).
“Penyakit” orang nomor satu di rumah sakit pemerintah Kota Kediri ini “tiba-tiba kambuh” saat anggota Majelis Hakim, Dr. Lufsiana menanyakkan dirnya terkait proposal pengadaan alat kesehatan yang sedang disidangkan.
Padahal, sebelumnya saat JPU maupun Ari Purwanto, selaku PH terdakwa Didik Agus Widiantara (PPk) dan Yuliana dari LBH Lacak sebagai PH (prode) terdakwa Sulistyowati (Direktur PT Sari Kembang), dr. Fauzan Adhima, lancar-lancar saja memberikan keterangan.
Saat itu, anggota Majelis Hakim Dr. Lufsiana menanyakkan dr. Fauzan Adhima, selaku PA, terkait proposal pengadaan alat kesehatan yang mengakibatkan kerugian negara hingga ratusan juta yang diduga di Mark up dari harga barang. Pertanyaan anggota Majelis Hakim asal Palembang itu, terkait proposal, bukan tidak beralasan. Pasalnya, nilai harga prkiraan sendiri (HPS) dengan nilai pagu anggaran sama. Pada hal, pengadaan barang berupa alat kesehatan untuk 9 Puskemas dilakukan melalui lelang terbuka di ULP/bj (unit layanan pengadaan/barang jasa pemerintah) berdasarkan Perpres No 54/2010 sebagaimana diubah dengan Perpres No 70/2012 tentang pengadaang dan barang jasa pemerintah, yang seharusnya dapat menguntungkan negara dari kelebihan saat penyusunan kerangka HPS.
“Proposalnya disita nggak Pak jaksa. Ini kan pasti ada Proposalnya yang disampaikan. Coba dilihat nilai dalam Proposal. Darimana bisa sama nilai harga perkiraan sendri dengan pagu anggaran. Keuntungannya kan diambil dari harga barang itu,” kata Dr. Lufsiana. Dr. Lufsiana menambahkan. Hampir semua pengadaan alat kesehatan masuk penjara. “Anda lihat nggak proposalnya,” tanya Dr. Lufsiana kepada saksi lainnya, yang dijawab saksi tidak melihat.
Ada dugaan bahwa Proposal yang dimaksud telah “disimpan untuk menyelamatkan siapa yang akan diselamatkan”. Sehingga Jaksa tidak dapat menunjukkan dokumen tersebut saat dipertanyakan Majelis Hakim.
Atas keterangan saksi dari Panitia Lelang, PPHP maupun Pejabat Pengguna Anggaran (PA) yang menjelaskan kepada Majelis Hakim bahwa pengadaan alat kesehatan yang diproduksi Negeri Paman Sam itu sesuai dengan prosedur dan tidak ada masalah dan saat ini dapat dipergunakan.
Atas keterangan ke Lima saksi tersebut, anggota Majelis Hakim pun menanyakkan, mengapa Didik Agus Widiantara dan Sulistyowati duduk sebagai pesakitan. “Ada tau nggak, kenapa Agus dan Sulistyowati duduk disitu,” tanya Majelis Hakim tanpa ada satupun yang dapat menjelsakan, karen “penyakit bisu tiba-tiba menghinggapi”. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :