![]() |
Yuliana Heriyantiningsih. SH., MH, |
Anggaran dalam penanganan perkara korupsi di Kejaksaan mulai dari penyelidikan hingga ekesekusi, menghabiskan anggaran sebesar kurang lebih Rp 200 juta untuk satu perkara. Biaya dalam penuntututan termasuk biaya operasional panggilan saksi-saksi dan ahli sekitar Rp 40 juta.
Hal itu seperti yang disampaikan salah seorang Jaksa dari salah satu Kejari (Kejaksaan Negeri) di Wilayah Jawa Timur, saat berbincang-bincang dengan wartawan media ini di Pengadilan Tipikor, pada Jumat, 11 Maret 2016.
“Mulai dari penyelidikan sampai eksekusi, anggarannya sekitar 200 juta untuk satu perkara. Kalau biaya dalam penuntutan termasuk pemanggilan saksi dan ahli, sekitar 35 sampai 40 juta,” kata Jaksa yang juga menyidangkan kasus korupsi itu dan minta namanya tidak disebutkan.
Dalam kasus korupsi, masyarakat Indonesia mendukung penegakan supremasi hukum disemua bidang, tanpa pandang bulu baik pejabat tinggi maupun masyarakat jelata. Namun apakah negara harus mengeluarkan puluhan bahkan ratusan juta untuk menangani kasus korupsi yang hanya Rp 2 juta?
Seperti kasus perkara koruspi beras miskin (Raskin) di Desa Keramat Agung, Kecamatan Bantaran, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur pada tahun 2013 lalu yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 2 juta. Dalam kasus ini, JPU menyeret mantan Kepala Desa Keramat Agung, Bukacong bin Suryo atau Suryo (47) sebagai terdakwa, untuk diminta pertanggung jawabannya dihadapan Majelis Hakim Tipikor.
Memang, dalam dakwaan maupun tuntutan JPU dari Kajari Keraksaan menyebutkan, bahwa kerugian negara yang dilakukan oleh terdakwa karena tidak membagikan Raskin kepada warganya, sebesar Rp 1,1 milliar. Namun dalam fakta persidangan menurut Majelis Hakim yang diketuai Hakim H.R. Unggul, menyatakan bahwa, kerugian yang dilakukan oleg terdakwa negara adalah sebesar Rp 2 juta lebih. Besar kecilnya kerugian negara memang tidak diatur dalam UU Korupsi. Sehingga, Majelis Hakim pun tetap menghukum terdakwa dengan pidana penjara badan selama 1 tahun, denda 50 juta subsidair 1 bulan kurungan.
Tidak hanya itu, pidana tambahan pun diberikan kepada terdakwa berupa kewajiban untuk mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 2 juta, subsidair 1 bulan penjara. Terdakwa Suryo, yang didampingi Penasehat Hukumnya Yuliana, dari LBH LacaK (Prodeo alias gratis) ini pun menjelaskan kepada wartawan media ini usai persidangan.
Yuliana menjelaskan, kerugian negara, dalam fakta persidangan sebesar Rp 2 juta lebih.”Kerugian negara yang wajib dikembalikan terdakwa sebesar 2 juta sekian. Dalam fakta persidangan, beras Raskin itu dibagikan secara merata 5 kg per KK (Kepala Keluarga). Untuk perangkat Desa, 15 kg per orang. Itu atas kesepakatan warga, yang penting semua dapat,” kata Yuliana menjelaskan, Jumat, 11 Maret 2016.
Yuliana menambahkan, apa yang dilakukan oleh terdakwa, mengikuti Kades (Kepala Desa) sebelumnya yang juga melakukan hal sama.”Yang dilakukan terdakwa sama dengan yang dilakukan Kades sebelumnya. Yang melaporkan ini bukan warga tapi LSM. Tapi kenapa hanya ini (terdakwa) yang diseret,” kata Yuli dengan nada tanya.
Terpisah. Terkait hal tersebut, pakar hukum Pidana dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr. Krisnadi Nasution pun angkat bicara. Menurutnya, penanganan Korupsi dengan kerugian negara sebesar Rp 2 juta tidak efesien. “Tidak efesienlah. Kalau bisa, ya dicarilah kasus yang lebih besar,” ujarnya. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :