1
- Terdakwa Firmansyah Arifin : Untuk Dana Komando            USD250 ribu dalam pembangunan kapal perang Philipina, diambil dari pembayaran uang muka

- Untuk Pertama Kali Dalam Kasus OTT, JPU KPK  Hadirkan    Ahli Hukum Pidana

 beritakorupsi.co – “Sama tapi tak serupa”. Ungkapan ini barangkali tepat dalam beberap kasus “suap” Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK tehadap beberapa pejabat.

Diantaranya kasus suap OTT DPRD Jatim dengan 2 Kepala Dinas Provinsi Jatim, terkait uang komitmen fee dan triwulan. Kasus suap OTT DPRD Kota Mojokerto dengan Kepala Dinas PUPR, juga terkait komitmen fee. Dan  kasus suap OTT Kajari Pamekasan dengan Kepala Desa Dasok, untuk “penghentian” Pulbaket” penanganan dugaan penyimpangan DD dan ADD. Dan uang “suap” itu untuk sipenerima sendiri, bukan untuk disetorkan kembali ke Instansi/lembaga lainnya.

Sementara dalam kasus suap OTT Direktur Utama, Direktur Keuangan dan GM Keuangan PT PAL Indonesia (Persero), terkait penerimaan uang Chas Back  dari Ashanty Sales di Philipina  melalui perwakilannya PT Perusa Sejati di Jakarta, dalam proyek pembangunan kapal perang milik negara Philipina.

Istilah komitmen fee dengan Chas Back dalam kasus OTT ini sama-sama menerima uang yang tidak sesuai prosedurnya, serta bertentangan dengan aturan maupun Undang-undang. Namun yang membedakan dari kasus suap OTT  DPRD Jatim, DPRD Kota Mojokerto dan OTT Kajari Pamekasan dengan kasus suap OTT PT PAL ternyata bukan untuk Direksi PT PAL apalagi untuk ke- 3 terdakwa, melainkan keperluan  membayar Dana Komando ke Mabes TNI AL di Cilangkap yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Hal itu terungkap dalam persidangan. Menurut terdakwa saat menjadi saksi dipersidangan untuk terdakwa Agus Nugroho selaku Direktur Umum PT Perusa Sejati sebagai perantara suap, pada Juli lalu mengatakan bahwa Dana Komando yang harus dibayar oleh PT PAL ke Mabes TNI AL sebesar Rp 18,12 milliar yang sudah ada sebelum terdakwa Firmansyah Arifin menjabat sebagai Dirut PT PAL tahun 2012, dan yang sudah disetornya sebesar Rp 5,3 M.


 Dana Komando sebesar Rp Rp 5,3 milliyara yang sudah dibayar itu, diambil dari uang muka pembangunan kapal perang milik pemerintah Philipina sebesar USD250 ribu yang sudah disetorkan terlebih dahulu, dan USD163 ribu sebagai termin I dari Chas Back 1,25 persen dari nilai kontrak 2 kapal perang Philipina sejumlah USD86 juta yang disetorkan ke Mabes TNI AL di Cilangkap oleh Imam dan Arif Cahyana pada Januari 2015, namun tak ada bukti penyetoran.

“USD250 ribu ditambah USD163 ribu dikali nilai kurs Rp 13 ribu per dollar, jumlahya sekitar Rp 5,3 milliyar,” kata saksi pada Juli lalu.

Andai saja PT PAL tidak mendapatkan kontrak pembangunan kapal perang Philipina, bisa jadi kasus ini tidak akan terungkap serta tidak akan terjadi OTT. Dana Komando akan tetap “subur ?” Tragisnya, Ketiga terdakwa ini pun diadili karena kasus suap yang bukan untuk dinikmatinya.lalu bagaimana sipenerima Dana Komando ?

Keterangan beberapa saksi yang dihadirkan JPU KPK dari Direksi PT PAL dihadapan Majelis Hakim dalam persidangan mengatakan, bahwa Dana Komando untuk biaya tagihan dari Angkatan Laut (AL). Yang menurut saksi maupun terdakwa sendiri, bahwa Dana Komando tidak dibayar, maka tagihan dari TNI AL tidak akan dicairkan. 

“Saya pernah dipanggil Pak Saiful Anwar sama Bu Etty Soewardani mengenai penagihan kapal perang. Saya hanya lihat di price list. Saya katakana, laporannya sudah ada, dokumennya lengkap. Namun permasalahannya, kita belum siap karena Dana Komando belum ada,” kata saksi M. Arifin mejelaskan, pada minggu lalu.

“Dana Komando pernah dibahas. Saya pernah dipanggil Pak Saiful Anwar sama Bu Etty Soewardani di ruang rapat, untuk menagih masalah Dana Komando. Yang dibahas pertama masalah untuk penagihan kapal-kapal. Katakan di situ tertera proyeknya berapa, angkanya berapa, yang sudah ditagihkan berapa, permasalahannya apa, di situ tertera sehingga saya rasa, semua yang hadir di situ tahu. Permasalahannya adalah ada di Dana Komando,” ungkap saksi M. Arifin terus terang

Hal senada juga diungkapkan saksi Heri Susanto pada sidang tanggal 29 September 2017. “Saya jelaskan. Saat saya mengerjakan kapal KCR, saat mengerjakan progress 50 persen, saya terkendala karena belum dibayar, alasannya belum lunas (karena belum lunas Dana Komando ?, tanya JPU KPK). Itu saya tau dari keuangan, Direktur Keuangannya Pak Imam. Pak Imam pasti tau itu. Proyek saya terkendala karena itu,” kata saksi. “Tahun 2010, itu sudah ada. 1,25 persen tidak dicatat dalam pembukuan perusahaan. Itu dipergunakan untuk operasional perusahaan dan Dana Komando,” kata saksi Heri Suanto.


 Sementara menurut Edi Widarto dan Firmansyah Arifin, bahwa Dana Komando sudah dibahas oleh Dirut sebelumnya. Namun Ia mengakui menjadi “korban” untuk membayar. Selain Dana Komando, Firmansyah Arifin juga membeberkan beberapa masalah yang ditinggakan Heri Susanto, diantaranya kasus tenggelamnya kapal, ada kontrak Pertamina 2 tahun selesai 4 tahun, kasus hukum Arbitrase 7 kapal kontrak internasional, hutang PT PAL tahun 2012 ke Bank sebesar 1,4 Rp Trilun dan Kapal LDP (landing platform Dock) pesanan TNI AL.

Arifin melanjutkan, “Kapal tenggelam, kapal Pertamina kontrak 2 tahun selesai 4 tahun, saya yang beresin. Selama periode 5 tahun, saya tidak bisa menyelesaikan kontrak yang 7 kapal. Kalau kapal tenggelam, kapal Pertamina, hutang ke Bank, saya selesaikan. Ketika saya masuk taun 2012, saya tau dari hasil audit Kantor Akuntan Publik, bahwa hutang PT PAL ada 4 T ke Bank, dan eksibilitasnya 5. Jangankan bayar bunga, bayar modalnya aja nggak sanggup,” beber Arifin.

“MPN itu ngurusnya dijamannya Pak Harsusanto tapi cairnya dijaman saya. Alasan untuk mencairkan itu katanya tadi kan, karena Pak Sby (mantan Presiden RI DR. Susilo Bambang Yudoyono) bukan itu, paling karena sudah nyungsep makanya dikasihlah waktu itu. Peruntukannya adalah modal kerja karena sudah nggak mungkin bisa pinjam ke Bank. Yang Kedua, untuk faslitas. Fasilitas itu sudah nggak bisa. Kalau ke PT PAL, ada tertulis disitu 300 ton tertulis gede’ (besar) tapi kapasitasnya hanya bisa 100 ton. Kalau Dana Komando sudah dibahas dijamannya tetapi saya yang bayar walaupun saya nggak lunas,” bebernya.

“Mengenai Arbitrase kapal yang 7, ada kapal LDP pesanan TNI AL, ini nggak karu-karuan, warisannya ke saya, itu jamannya beliau. Kalau LDP kan, masalah kita  jadi nggak sampai ke Arbitrase Internasional, tetapi yang namanya hukum, hancurnya perusahaan karena Angkatan Laut harus jadi itu kapal. Dengan berbagai cara, nggak tau dari mana Pak Harsuanto, kapal itu dijadikan. Tapi kapal yang 7 tadi nggak jadi. Jadi saya mau blak-blakan aja (buka-bukaan), karena Arbitrase ini ada asset PT PAL mau di sita. Ini kan perusahaan strategis negara, jadi kita disuntik denga dana PMN, peruntukannya ada 3, yaitu modal kerja. Saya mendanai untuk KCR (Kapal Cepat Rudal), Fasilitasnya diperbaiki, naik ia dari PMN, SDM nya saya rekrut, ia PMN. Karena yang 3 ini diperbaiki, kita ikut tender di Philipina lulus, kalau nggak diperbaiki dari mana lulus. Kan ada pos qualification (tim penilai) dari Philipina datang kesini, diperiksa,” ucapnya.



Pada Jumat, 27 Oktober 2017, hal yang sama juga terungkap dari keteranagan 5 orang saksi yang dihadirkan oleh JPU “Dana Komando sudah dibahas dijamannya Pak Heri Susanto tetapi saya yang harus membayar. Ada 27 kapal kontrak internasional dan 7 dibawa ke Arbitrase. Kalau tidak mau hukumnya ia bayar dendanya. Masalahnya, karena tidak ada uang kapal tidak delivery (pengiriman) tepat waktu, pemesan memutuskan kontrak. Kita didenda karena tidak delivery, 7 kapal tidak jadi, itu semua lari kesaya,” ungkap Firmansyah Arifin..

KPK Ronald Ferdinand Worotikan,  Mungki Hadpratikto, Budi Sarumpaet dan Irman Yudiandri, kehadapan Majelis Hakim dalam persidangan yang diketua Hakim M. Tahsin, untuk 3 terdakwa, yakni Arif Cahyana (GM Keuangan), terdakwa Saiful Anwar ((Direktur Desain dan Teknologi yang merangkap Direktur Keuangan) dan terdakwa M. Firmansyah Arifin (Direktur Utama).

Ke- 5  saksi antara lain Didi Prayogo (Kepala PMO/Pemasaran PT PAL), Sutrisno (Direktur Pemeliharaan PT PAL), Alya (Staf data keuangan PT PAL), Satrio Bintoro (Kepala Divisi kapal niaga PT PAL) dan Aditya Ananta (Lembaga Setifikasi Profesi PT PAL).

Dihadapan Majelis Hakim, saksi Aditya Ananta mengatakan, bahwa Dana Komando untuk memperlancar tagihan pembayaran di Angkatan Laut ke PT PAL.

“Dana Komando memperlancar termin pembayaran dari Angkatan Laut ke PT PAL,” kata saksi kepada Majelis. Saat ditanya JPU KPK terkait sumber dana untuk Dana Komado, menurut saksi Aditya tidak mengetahuinya.

“Kalau itu saya nggak tahu. Kalau sekarang Dana Komando saya nggak tahu karena saya sudah pidah tapi tetap di PT PAL

Sementara Satrio Bintoro mengatakan, mengetahui adanya Dana Komando, namun Ia tidak mengetahui bagaimana mekanismenya. Hal yang sama juga dikatakan saksi lainnya.

“Saya hanya sebatas tahu saat ngobrol-ngobrol, ttapi bagaimana mekanismenya saya nggak tau. Saya dibagian produksi, dikejar dengan waktu proyek harus selesai,” kata saksi.

Anehnya, Sutrisno selaku Direktur Pemeliharaan PT PAL atau salah satu Direksi diperusahaan milik negara ini tidak mengetahui adanya Dana Komando. Keterangan Direktur pemeliharaan ini sama dengan keterangan Direktur SDM PT PAL Etty Soewardani, SH pada sidang beberapa waktu lalu. Menurutnya, Dana Komando itu diketahu dari pegawai PT PAL.

Sutrsino pun sempat diingatkan JPU KPK, karena keterangannya terkesan berbelit-belit, terutama saat JPU KPK menanyakkan, apakah kebijan dalam perusahaan seperti dalam proyek pembangunan kapal SSV milik Philipina diketahui BOD (seluruh Direksi PT PAL ?.

Apa yang ditanya JPU KPK terhadap Sutrisno seakan sengaja dialihkan, walau akhirnya diakui juga. Bisa jadi Sutrisno “ketakutan” karena turut bertanggung jawab sebagai Direksi bila dijawab “ya”. Penentuan fee agen dari semula 3,5 persen atas permintaan Ashanty Sales, namun oleh Direksi dibuat menjadi 4,75 persen termasuk adanya Dana Komando menjadi tanggung jawab Direksi PT PAL.

Dari kasus ini ada yang menggelitik, mengapa hal ini tidak pernah disampaiakan oleh Direksi PT PAL pada saat diadakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), atau disampaikan ke Menteri BUMN ????

Yang sempat membuat heran Majelis Hakim adalah, adanya Dana Komando dalam dokumen pembangunan kapal perang Philipina sebesar USD250 ribu. Saat Ketua Majelis Hakim menayakkan hal tersebut terhadap saksi Alya, tak bisa dijelaskan. Karena menurutnya, Ia hanya bertugas dibagian data, sehingga tidak mengetahui.

Terkait Dana Komando sebesar USD250 ribu yang tercantum dalam dokumen pembangunan kapal perang Philipina, dijelaskan terdakwa M. Firmansyah Arifin. Menurutnya, dana itu diambilnya dari uang muka kontrak pembangunan kapal SSV Philipina.

Beberapa saat seusai persidan, terkait Dana Komando dalam pembangunan kapal SSV Philipinan, terdakwa Firmansyah Arifin mengatakan, bahwa Dana Komando dalam kapal SSV itu sengaja dibuat tetapi danaya diambil dari uang muka kontrak 2 kapal milik Philipina.

“Yang disetorkan kan ke Mabes TNI kan 5,3 milliar. jadi yang 250 ribu dollar ditambah yang USD163 ribu dikali 13 ribu per Dollar, sekitar 5,3 milliyar. Yang USD250 ribu itu sudah dibayar dulu. Kalau yang USD163 ribu Dollar adalah termin pertama dari 1,25 persen. Kalau yang USD25 ribu Dollar kan yangketangkap ini,” kata terdakwa

Dari beberapa kasus OTT yang disidangkan JPU KPK di Pengadilan Tipikor Surabaya, baru kali ini akan menghadirkan pakar hukum pidana. Apakah JPU KPK “bingung” setelah mengetahui fakta persidangan ? mengapa KPK tidak menghadirkan pihak-pihak lain terkait Dana Komando ? Mengapa KPK tidak dapat menhgadirkan Kirana Kotama dan Ashaty Sales kepersidangan ?

“Mungkin KPK bingung makanya menghadirkan saksi ahli minggu depan,” kata terdakwa sambil meninggalkan gedung Pengadilan Tipikor sekitar pukul 20.00 WIB.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top