#Terdakwa Firmansya Arifin : Uang dari Vendor itu adalah uang PT PAL yang dikembalikan agar tidak ada masalah saat audit BPK#
beritakorupsi.co – Ketika KPK melakukan OTT terhadap Ketua MK Aqil Muktar, Gubernur Banten, Gubernur Sum-Ut dan beberapa Kepala Daerah lainnya, termasuk ketika lembaga anti rasuah itu menangani kasus Mega Korupsi E-KTP, yang melibatkan berbagai pihak, diantaranya saat penyidik KPK menetapkan SN Ketua DPR RI menjadi tersangka, yang akhirnya dibatalkan oleh Majelis Hakim melalui sidang Praperadilan yang diajukan oleh SN melalui Kusa Hukumnya, KPK tidak “meghadapi menghadapi hambatan”.
Anehnya, kasus perkara Korupsi “suap” Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang juga dilakukan oleh KPK terhadap Direktur Utama, Derektur Keuangan dan GM Keuangan PT PAL Indonesia (Persero) pada Maret lalu, sepertinya “tidak akan terang bendearang”, sebab ada “tembok yang tak bisa dijebol” oleh lembaga anti rasuah itu.
Begitu juga dengan uang yang disita oleh KPK dari pejabat yang tertangkap OTT, bukan untuk pihak atau lembaga/instansi lain, melainkan untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan 3 terdakwa dari Direksi PT PAL yang saat ini sedang di adili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya.
Pada 30 Maret 2017 Sekitar pukul 12.00 WIB, KPK melukan OTT terhadap Arif Cahyana (GM Keuangan PT PAL) dan Agus Nugroho di Jakarta. OTT dilakukan KPK setelah beberapa saat Arif Cahyana menerima uang sebesar US 25 ribu Dollah AS dari Kirana Kotama pemilik PT Perusa Sejati yang saat ini berada di Amerika Serikat yang sulit dihadirkan oleh KPK. Uang itu bagian dari fee agen 4,75 persen atau 1,25 persen untuk PT PAL dari Ashanty Sales melalui Korana Kotama. Kemudian Kirana Kotama memberikan ke PT PAL melalui Agus Nugroho (Direktur Umum PT Perusa Sejati).
Yang sebelumnya, pada Januari 2015, PT PAL juga sudah menerima sebesar US US163.102, 19 Dollar AS. Dan uang tersebut sudah disetorkan ke Mabes TNI AL di Cilangkap oleh Imam dan Arif Cahyana. Sementara yang US 25 ribua Dollar AS belum sempat disetorkan karena keburu ditangkap KPK. Inilah yang terungkap dalam persidangan sejak Juli 2017, saat Agus Nugroho di adili dank e- 3 terdakwa menjadi saksi.
Nah, uang yang diterima PT PAL sebesar US 25 ribu Dollar inilah sebagai “jembatan” ke- 3 Direksi PT PAL itu masuk ke penjara. Pada hal, uang yang diterima itu bukan untuk dinikmati sendiri, meliankan untuk disetorkan ke Mabes TNI AL di Cilangkap sebagai Dana Komando atau yang dikenal dengan istilah DK.
Disisi lain, KPK tak bisa menghadirkan Ashanty Sales warga Philipina, dan Kirana Kotama yang dikabarkan memiliki kewarga negaraan Indonesia dan warga negeri Paman Sam itu, agar fee agen yang semula 3,5 persen menjadi 4,75 persen serta pengembalian oleh Ashanty Sales ke PT PAL melalui Kiran Kotama sebesar 1,25 persen menjadi terang benderang.
JPU KPK hanya dapat menghadirkan rekanan-rekanan dari pihak swasta, yang bekerja sama dengan PT PAL maupun dari pihak PT PAL sendiri. lalu. Apakah KPK serius untuk mengungkap hingga terang bebderang kasus yang terjadi di PT PAL ? Atau, KPK hanya focus “memenjarakan” ke- 3 terdakwa dari perusahaan milik negara ini.
Tak salah, bila pada persidnagan beberapa minggu lalu (2 Oktober 2017), Majelis Hakim DR. Lufsiana mengatakan, lebih baik PT PAL dipailitkan agar tidak menjadi ATM. Tak hanya itu, saat persidangan terdakwa Agus Nugroho, DR. Lufsiana juga memerintahkan JPU KPK untuk menyita bukti-bukti lainnya dan diajukan ke Presiden RI Ir. Joko Widodo, agar dapat menyita uang milik PT PAL sebesar Rp 5 milliyar yang di blokir.
Pada Jumat, 20 Oktober 2017, JPU KPK Ronald Ferdinand Worotikan, Mungki Hadpratikto, Budi Sarumpaet dan Irman Yudiandri kembali menghadirkan 7 orang saksi dari PT PAL, untuk didengar keterangannya dihadapan Majelis Hakim untuk 3 terdakwa, yaitu Arif Cahyana (GM Keuangan), terdakwa Saiful Anwar ((Direktur Desain dan Teknologi yang merangkap Direktur Keuangan) dan terdakwa M. Firmansyah Arifin (Direktur Utama).
Ke- 7 saksi itu diantaranya Kasidah (mantan Kepala Departemen Manajemen Kas PT PAL), Muhammad Zainul, Muhammad Arifin, Dani, Sucipto, Muhammad Yusril dan Pangestu Sari.
Dalam persidangan terungkap, bahwa permasalahan yang terjadi di PT PAL adalah mengenai Dana Komando. Dana Komando itu dosetorkan untuk tagihan ke Mabes TNI AL. Dana Komando itu diperoleh dari Vendor (kontraktor) sebagai Subkon PT PAL untuk mengerjakan pekerjaan HARKAN (pemeliharaan dan perbaikan) kapal milik TNI AL. dan uang tersebut bukan uang para Vendor, melainkan milik PT PAL sendiri yang dititipkan dan akan dikembalikan kemudian ke PT PAL.
Para saksi mengungkapkan kepada Majelis Hakim, bahwa dana yang terkumpul dari Vendor itu dikumpulkan dan di simpan di Brankas PT PAL. Pengelolaan itu dikelola oleh Arif Cahyana dan mempercayakan kepada saksi Kasidah. Dari Kasidah berganti ke Muhammad Zainul dan Muhammad Arifin. Sementara Dani, bertugas untuk mengumpulkan uang dari para Vendor.
“Ada brankas di bendahara yang mengelola Arif Cahyana, saya diberi kepercayaan untuk menyimpan uang titipan dan surat-surat berharga. Uang itu berasal dari deposito perusahaan. Ada uang kas, saya lupa tapi itu titipan, lebih dari 10 juta. saya terima dari Pak Dani. Yang menitipkan uang Pak Dani dan Arifin, yang tahu Pak Arif Cahyana dan yang lain. Setiap ada titipan, Pak Arif Cahyana selalu ada. Ada catatan tapi nggak tahu ke mana. Aawalnya 100 juta lebih, uang itu dipergunakan untuk penagihan pekerjaan yang ditagihkan ke Angkatan Laut, mengenai pekerjaan pemeliharaan. Yang saya tahu berasal dari pihak ketiga, saya tahu dari Pak Dani dan Arifin, katanya dari sub kon atau vendor,” ungkap Kasidah.
Kasidah menjelaskan, dirinya tidak tau berapa jumlah DK. Namun Kasidah mengakui, bahwa dana yang berda di brankas, semula dikelolanya dan kemudian digantikan Zainul.
“Kalau Dana Komando saya nggak tahu jumlah. Pengelolaan uang di brankas itu digantikan Zainul, isi brankas sebesar 67 juta” ucap Kasidah.
Menurut Zainul, bahwa biaya HARKAN dititipkan Arif Cahyana sebesar US 75 ribu dollar. Zainul mengatakan, bahwa dana DK bersumber dari vendor-vendor yang jumlahnya ada sebesar 541 juta yang menyetorkan I Ketut Dirut PT Palindo Jaya Utama, dan menurutnya, uang itu dipergunakan untuk penagihan dana DK.
“Untuk biaya pemeliharaan dan perawatan, ada dana titipan sebesar US 75000 Dollar dari Pak Arif Cahyana, katanya uang Pak Dirut. Ada titipan Pak Saiful Anwar totalnya 657 juta yang menyerahkan Arif. Kalau dana DK bersumber dari vendor-vendor, ada sebesar 541 juta yang menyetorkan I Ketut Dirut PT Palindo Jaya Utama itu dipergunakan untuk penagihan dana DK,” ucap Zainul.
Sementara menurut M. Arifin menjelaskan, bahwa tidak semua item itu dikenai dana DK.
“Nilai proyeknya, kalau nggak salah sebesar Rp 5 miliar tahun 2014, proyek dengan Mabes TNI. Jadi tidak semua item itu dikenai Dana Komando. Sehingga, ada itu yang di muati Dana Komando, tapi nilai presentasenya lebih dari 100 persen. Ada item-item yang sudah bertarif, tidak bisa dititip Dana Komando,” kata Arifim.
“Tentang nilai 8 persen, siapa yang yang menghitung dan dari mana itu ?,” tanya JPU KPK.
“Tidak semua bisa di backup. Semua dana itu dikumpulkan di keuangan, tapi penagihannya, ini dulu, yang ada itu dipakai. Katakan proyeknya ada 5, total proyeknya itu sebelum PPn,” jawab saksi.
“Ini kan Sub kon, tapi dikerjakan sendiri oleh ABK, betul ?,” tanya Hakim DR. Lufsiana, yang dijawab saksi Arifin, “Betul”.
“Dana Komando itu diserahkan untuk mendapatkan tagihan, Dana Komando masuk dahulu baru tagihan itu kan ?,” tanya Hakim Lufiana kembali, yang dijawab saksi ‘Ya”.
“Ya. Jadi kalau Dana Komando itu kurang, dana itu juga kurang,” jawab saksi.
JPU KPK kembali menanyakkan saksi Arifin. “Uang yang diterima dari vendor-vendor itu adalah uang PT PAL. Yang ingin saya tanyakkan, apakah dalam kontrak itu disebutkan, atau dibuat dalam dokumen ?,” Menurut saksi tidak dibuat dalam kontrak atau pun dalam dokumen tetapi ada dalam SOP PT PAL.
Hakim DR. Andriano pun langsung menanyakan saksi Arifin. “Saudara tahu dari mana,”.
“Dari laporan yang masuk. Artinya, uang yang dikembalikan itu sudah dibelanjakan. Artinya, katakan 10 juta. Dilaporkan bahwa uang itu sudah dibayarkan 10 juta,” jawab saksi.
JPU KPK kembali mencerca saksi. “Mengenai pembayaran untuk Dana Komando. Uang Dana Komando untuk nilai pekerjaan, apakah uang yang diterima, atau dari dana lain ,”
Menurut saksi Arifin, bahwa unag itu tidak berpusat pada pihak ke 3. Sebab, dana itun tidak cukup, sehingga dikumpulkan terlebuh dahulu.
“Uang itu tidak berpusat pada pihak ketiga. Katakan pada pihak ketiga, ada Vendor yang mengerjakan kapal A dan uangnya untuk kapala A, tidak. Artinya, uang itu dikumpulkan dulu, kalau proyek A dibiayai dana itu sendiri, itu tidak cukup. Sehingga uang itu dikumpulkan dulu, setelah terkumpul semua, baru dikerjakan untuk satu kapal saja kalau uangnya cukup untuk satu kapal,” kata saksi.
“Uang itu dari Sub kon tadi ?,” tanya Hakim DR. Lufiana dan dijawab saksi ya.
“Uang itu disetor kemana, apakah DK ini sudah lama di PT PAL ?,” tanya JPU KPK. Dengan jujur, saksi menjawab, disetor langsung ke kantor PT PAL.
“Disetor langsung oleh vendor ke kantor PT PAL. Ya, sudah lama. Sebelum saya bertugas sebagai Kepala Departemen, itu sudah ada.
“Dana Komando itu untuk apa,” tanya JPU kembali. Namun saksi tidak mengetahuinya. “Saya nggak tahu, tapi besarannya saya tahu,” jawab saksi
“Apakah pernah dibahas di rapat Direksi, atau ditingkat Kadep ataupun Divisi berapa dan dari mana saja dan DK itu ?,” tany JPU KPK.
Saksi pun mengakui, bahwa dirinya pernah di panggil Saiful Anwar (Direktur Keuangan PT PAL) dan Etty Soewardani (Direktur Umum PT PAL) untuk membahas dana DK.
“Pernah dibahas. Saya pernah dipanggil Pak Saiful sama Bu Etty di ruang rapat, untuk menagih masalah Dana Komando. Yang dibahas pertama masalah untuk penagihan kapal-kapal. Katakan di situ tertera proyeknya berapa, angkanya berapa, yang sudah ditagihkan berapa, permasalahannya apa, di situ tertera sehingga saya rasa, semua yang hadir di situ tahu. Permasalahannya adalah ada di Dana Komando,” ungkap saksi Arifin terus terang.
“Saya pernah dipanggil Pak Saiful Anwar sama Bu Etty Soewardani mengenai penagihan kapal perang. Saya hanya lihat di price list. Saya katakana, laporannya sudah ada, dokumennya lengkap. Namun permasalahannya, kita belum siap karena Dana Komando belum ada,” kata saksi mejelaskan.
JPU KPK kembali bertanya, “Diambil dari mana Dana komando ini ?,”.
Menurut saksi, Dana Komando diambil dari pihak ke 3 tau kontraktor, yang mengerjakan pekerjaan PT PAL. “Dana Komando itu diambil dari pihak ketiga atau kontraktor yang mengerjakan pekerjaan khususnya pekerjaan yang bertarif. PT PAL punya price list masing-masing pekerjaan. Jadi Dana Komando itu untuk yang di pihak ketiga, itu tidak direncanakan. Artinya, pada saat kita melihat kegiatan, negoisator itu ada dari pihak pemasang marketing, sama dari pihak logistik hanya untuk HARKAN, Pemeliharaan dan Perbaikan saja. Setelah itu, negoisasi dilakukan dari PT PAL ada Dua, dan dari vendor itu sendiri. dari PT PAL, tidak menyampaikan Dana Komando di awal, karena takutnya harga mahal. Sehingga negoisasi itu dilakukan real. Setelah negoisasi dilakukan, katakan angka rupiah sudah ketemu, jadi di situ dilihat, besar dititipi Dana Komando. Setelah itu, dititipi sesuai dengan kapasitas target yang ada. Kalau persentasi tidak ada ketentuan. Kalau mengenai 10 juta cukup, ya 10 juta. Kalau 5 juta cukup, ya lima juta. Tapi nilai maksimum yang pernah saya tahu besar 50 juta,” jawab saksi.
Sementara saksi Sucipto menjelaskan, bahwa Dana Komando Khusus untuk proyek Angkatan Laut. Ketika JPU KPK menanyakkan saksi Sucipto kembali, menegani keberadaan Dana Komando. Namun menurut saksi, bahwa Dana Komando Khusus untuk proyek AL.
“Dana Komando Khusus proyek Angkatan Laut, seakan-akan ada pekerjaan yang sudah kontrak dengan PT PAL, tetapi ABK yang mengerjakan sendiri, biayanya yang seharusnya masuk ke pihak 3. Jadi haknya ABK tersebut. Kalau Dana Komndo itu masuk ke Institusi. Kalau BS itu cenderung masuk Ke ABK nya rupanya. Contoh misalnya, ada pekerjaan kebersihan dengan skala M2, ketemunya katakan 10 juta. Kita kontrak dengan pihak ketiga, tetapi dana itu masuk ke teman-teman ABK itu sendiri, dan ABK berurusan dengan pihak kontraktor,” jawab saksi.
Sementara menurut terdakwa M. Firmansyah Arifin, yang sudah “dipecat” setelah kasus OTT menimpanya mengatakan kepada media ini, bahwa uang yang berasal dari para Vendor itu adalah uang milik PT PAL yang dititipkan, dan akan dikembalikan setelah pembayaran lunas dilakukan oleh PT PAL kepada Vendor.
Alasan penitipan uang tersebut, menurut terdakwa Firmansyah Arifin, untuk “mengelabui” audit yang akan dilakukan oleh BPK RI. Karena penyetoran dana DK tidak ada buktinya. Sehingga, pada saat BPK RI melakukan audit di PT PAL, tidak ada masalah. Alasannya lagi, hal itu dilakukan agar pengeluaran yang dilakukan oleh PT PAL sesuai dengan yang sebenarnya.
“Itu uang milik PT PAL. Kita tidak pernah menarik atau meminta dari para Vendor. Misalnya begini, ada kontrak dengan nilai 200 juta. Lalu kita titipkanlah Dana Komando disitu misalnya 50 juta. Jadi dalam kontrak tertulis 250 juta. Kita bayar 250 juta, tetapi yang 50 juta akan dikembalikan secara diam-diam. Itu sudah ada kesepakatan. Jadi kita nggak pernah menarik atau meminta uang dari para Vendor,” ungkap terdakwa M. Firmansyah Arifin. (Redaksi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Tulias alamat email :