#Pada era Hatta Ali, sudah 25 orang Hakim dan aparat pengadilan yang dijerat KPK#
Jakarta, beritakorupsi.co - Jumat, 6 Oktober 2017 lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap seorang Hakim (Ketua Pengadilan Tinggi Manado, Sudiwardono) dan seorang Anggota Komisi XI DPR RI (Aditya Anugerah Moha) karena diduga melakukan transaksi suap-menyuap.
Transaksi suap menyuap yang dilakukan oleh keduanya dilakukan untuk mempengaruhi hakim agar tidak melakukan penahanan terhadap terdakwa dalam perkara korupsi yang melibatkan Bupati Bolaang Mongondow, serta mempengaruhi putusan banding atas kasus korupsi tunjangan pendapatan aparat pemerintah desa (TPAPD) Kab. Bolaang Mongondow.
Terbongkarnya kasus korupsi ini tentu menambah panjang daftar nama hakim yang tertangkap melakukan korupsi. Sebelumnya, tepat satu bulan yang lalu (6 September 2017) KPK melakukan OTT terhadap Hakim Dewi Suryana yang merupakan hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tipikor Bengkulu.
Dalam catatan ICW sejak Hatta Ali dilantik menjadi Ketua Mahkamah Agung (sejak Maret 2012 hingga Oktober 2017) setidaknya sudah ada 25 orang hakim dan aparat pengadilan (non hakim) yang tersandung kasus korupsi dan sebagian besar terjerat OTT KPK. Mereka terdiri dari 10 orang hakim dan 15 pegawai pengadilan atau Mahkamah Agung (Daftar nama terlampir).
Banyaknya hakim dan pegawai pengadilan yang ditangkap KPK mengindikasikan bahwa pengadilan atau cabang kekuasaan yudikatif sedang dalam kondisi darurat korupsi. Lembaga Pengadilan memiliki potensi korupsi yang sangat besar, dan bahwa belum ada reformasi yang signifikan yang dilakukan di lingkungan Mahkamah Agung khususnya di bawah kepemimpinan Hatta Ali.
Potensi korupsi yang sangat besar itu juga dilihat dari besarnya struktur organisasi Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan dibawah Mahkamah Agung. Maka bukan hal yang mustahil, masih banyak oknum hakim dan petugas pengadilan yang korup namun belum tersentuh oleh KPK atau penegak hukum lainnya.
Selain itu, potensi tersebut juga diperbesar dengan lemahnya pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial. Sehingga peluang terjadinya korupsi di tubuh pengadilan semakin terbuka lebar. Adalah hal yang lumrah jika menilai hakim yang telah ditangkap oleh KPK hanya sedang bernasib buruk. Namun tidak memberikan efek penjeraan bagi oknum nakal di pengadilan.
Meskipun Mahkamah Agung telah memberlakukan Perma Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya, namun tetap belum mampu melakukan pengawasan yang efektif terhadap hakim dan petugas pengadilan.
Justru, Ketua Pengadilan yang dibebani tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap bawahan. Dalam perkara korupsi yang menimpa Hakim Sudiwardono, ia sebagai Ketua PT Manado justru yang melakukan pelanggaran dan menerima suap. Sehingga sulit secara nalar untuk menjustifikasi pengawasan dilakukan oleh Ketua Pengadilan tetapi justru Ketua Pengadilan lah yang menjadi oknum nakal di pengadilan. Oleh karenanya sebagai atasan dari Hakim Sudiwardono harus ada pimpinan MA yang bertanggung jawab atas kejadian yang memalukan ini.
Karena kondisi pengadilan yang darurat, maka perlu ada langkah luar biasa untuk membersihkan praktek mafia hukum di Pengadilan dan sekaligus mengembalikan citra pengadilan dimata publik. Selain membuka ruang bagi KPK untuk terus melakukan penindakan - menangkap hakim dan aparat Pengadilan yang korup, sebagai langkah pencegahan maka Mahkamah Agung perlu melakukan evaluasi dalam melihat dan memetakan potensi korupsi di tubuh pengadilan. Selain itu juga perlu melakukan evaluasi terhadap implemenyasi Perma No. 8 Tahun 2016 tersebut. Apakah Perma tersebut efektif dalam mengatasi persoalan korupsi yang dilakukan oleh hakim dan aparat pengadilan.
Upaya lain yang perlu dilakukan oleh Mahkamah Agung adalah melakukan penilaian ulang terhadap seluruh Ketua Pengadilan sebagai ujung tombak pengawasan di pengadilan. Memastikan bahwa Ketua Pengadilan merupakan sosok yang berintegritas dan tidak pernah memiliki persoalan di masa lalu adalah hal penting untuk menjamin Perma 8 Tahun 2016 dapat secara efektif berjalan. Tanpa adanya kesepahaman dan keterbukaan dari Mahkamah Agung tentu perkara korupsi yang melibatkan hakim akan terus terjadi berulang.
Karenanya, kami mendorong Mahkamah Agung untuk: 1.mengevaluasi pelaksanaan Perma 8 Tahun 2016 dengan cara melakukan evaluasi terhadap Ketua Pengadilan Negeri / Banding untuk memastikan integritas, kualitas, dan kemampuan yang bersangkutan dalam melaksanakan Perma tersebut.
2. Menerapkan dengan tegas dan konsisten, Maklumat Ketua Mahkamah Agung Nomor 01/Maklumat/KMA/XI/2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya, terhadap oknum-oknum Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang diduga terlibat dalam perkara pidana, khususnya korupsi
3. Bersama KPK dan KY melakukan pemetaan terhadap ruang potensi terjadinya korupsi di lembaga pengadilan. Pemetaan dilakukan agar dapat dijadikan rujukan pembentukan kebijakan pembinaan dan pengawasan.
4. Bersama KPK dan KY merumuskan kurikulum pembinaan yang ditujukan khusus untuk meningkatkan integritas aparat pengadilan dan secara berkala melakukan assesment kepada hakim dan aparat pengadilan.
Selain itu, sebaiknya Pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap pengelolaan pengadilan untuk dijadikan masukan dan kebijakan dalam RUU Jabatan Hakim.
Sumber : Indonesia Corruption Watch (ICW)
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Tulias alamat email :