0
#Orang-Orang Yang Turut Menikamati “uang Haram” Dari Terdakwa Bambang Irianto, Bisa Bermimpi Indah. Dan Akankah Syukuran ?#


beritakorupsi.co – Sosok Bambang Irianto, tidak asing lagi di mata masyarakat Jawa Timur, Khususnya di Kota Madiun. sebab Dia adalah “Raja yang berkuasa” alias Wali Kota Madiun sejak 2009 hingga 2014, dan kembali terpilih untuk periode kedua 2014 - 2019 (2 periode)

Bambang Irianto, sebelum menjabat sebagai Wali Kota Madiun, Dia adalah seorang pengusaha SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak) sebanyak 10 lokasi, distributor Oli pelumas, distributor LPG di 2 Kabupaten, Kontraktor dan beberapa usaha lainnya, serta Ketua DPC (Dewan Pimpian Cabang) Partai Demokrat Kota Madiun.

Sejak menjabat sebagai Wali Kota Madiun tahun 2009, kekuasaan Bambang Irianto ibarat Raja yang tak satu pun berani menentang kebijakannya, apakah itu sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini atau tidak.

Namun tragis, Raja Madiun itu saat ini menyandang gelar terdakwa, dalam kasus dugaan Korupsi (Gratifikasi) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan di non aktifkan sementara serta diinapkan di Hotel Prodeo alias di penjara yang disapkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), karena kebijakannya ternyata melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku.

Yang lebih tragis lagi, Raja Madiun itu kini dituntut pidana penjara selama 9 tahun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Hakim H.R. Unggul Warso Mukti. Selain itu, Dia juga didenda sebesar Rp 1 milliar atau dikurung selama 6 bulan. Tuntutan itu dibacakan oleh JPU KPK Fitroh Rohcahyanto, TrimulyonoHendradi, Herry B.S. Ratna Putra, Feby Dwiyandospendy, N.N. Gina Saraswati, Joko Hermawan, Alandika Putra dan Dormian, pada Selasa, 2 Agustus 2017.

Dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim, JPU KPK menyatakan bahwa, terdakwa Bambang Irianto (didampingi Penasehat Hukumnya Indra Priangkasa dkk) terbukti secara sah dan meyakinkan, melakukan Tindak Tidana Korupsi, sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 12 huruf i dan atau, pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.


Selain UU Tindak Pidana Korupsi, terdakwa Bambang Irianto pun dijerat dengan UU TPPU yaitu, pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.

“Meminta kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara ini, untuk menjatuhkan pidana penjara selama 9 tahun denda sebesar Rp 1 milliar. Apa bila terdakwa tidak emmbayar, maka diganti dengan kurungan selama 6 bulan,” ucap JPU KPK Feby.

Pada hal, dalam tuntutan JPU KPK dibeberkan. sejak Wali Kota yang berkuasa sejak 2009 hingga 2016, Dia telah menerima uang gratifikasi yang jumlahnya sekitar Rp 55,5 miliar, yang berasal dari Proyek pembangunan Pasar Besar Madiun (PBM) tahun 2009 dengan anggaran sebesar 77,6 M, setoran dari 33 SKPD (Kepala Dinas), pemotongan gaji pegawai dan setoran dari  kontraktor-kontraktor yang ada di Kota Madiun.

Dalam surat tuntutan JPU KPK juga dibeberkan bahwa, Duit itu kemudian dialihkan menjadi kendaraan, rumah, tanah, uang tunai, emas batangan, dan saham di Bank Jatim atas nama sendiri, keluarga, atau korporasi termasuk salah seorang wanita “teman akrab” terdakwa yakni, Liana. Hingga total duit yang diperoleh terdakwa sekitar Rp 55 miliar dari hasil gratifikasi dan 48 milliar digunakan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.

Tuntutan itu memang termasuk ringan, apa bila dibandingkan dengan perbuatan terdakwa sejak menjabat Wali Kota Madiun sejak 2009 seperti dalam surat dakwaan maupun surat tuntutan JPU KPK. Andaikan 5 pejabat Kota Madiun melakukan hal yang sama, apakah perekonomian Kota Madiun bisa berkembang ???

Menanggapi tuntutan JPU KPK, terdakwa yang didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya menyatakan kepada Majelis Hakim, akan menanggapinya dalam pembelaan (Pledoi) dalam persidangan berikutnya.

Usai persidangan, Indra Priangkasa, selaku Ketua Tim PH terdakwa mengatakan bahwa, Penuntut Umum masih menyembunyikan fakta-fakta persidangan. Indra mengatakan, akan mengulasnya dalam Pledoi (Pembelaan) di persidangan yang akan datang.

"Terkait tuntutan dari Penuntut Umum, kita melihat dari 12 i, 12 B (maksudnya pasal 12 huruf i, pasal 12 B.red) dan pasal 3 TPPU, saya pikir Penuntut Umum masih menyembunyikan fakta-fakta persidangan. seperti di 12 i, tentang proses diskresi tentang pembayaran-pembayaran yang dilakukan oleh  terdakwa kepada repransir itu tudak terkafer, nanti itu akan kita ulas dalam Pledoi. Di 12 B juga gitu. Di pasal 3-nya, nampaknya Penuntut Umum juga dibuat mengetengahkan secara obyektif, bahwa sebenarnya terdakwa itu kalau pertahunnya, di 2013, 2014 hingga 2016, ada pendapatan devisa, tapi seolah-olah tidak ada itu. Akan kita buktikan di Pledoi,” ujar Indra.

Namun Indra mengakui, bahwa terdakwa tidak melaporkan sebahagian harat kekayaan terdakwa dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara). “Ia benar, tidak terlaporkan dalam LHKPN. Tapi itu sangsi Adminstratif,” ungkapnya.





Terpisah. Terkait tuntutan terhadap terdakwa, JPU KPK Feby menjelaskan bahwa, menurut JPU KPK, terdakwa terbukti melanggar tindak pidana yaitu, dua pasal dalam UU Korupsi dan 1 pasal UU Pencucian uang, yang besarnya sekitar 47 milliar rupiah.

“Kita merasa yakin bahwa, terdakwa itu telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan kami yaitu pelanggaran terhadap 2 pasal Tindak Pidana Korupsi dan 1 pasal Tindak Pidana TPPU. Dalam pasal 12 i dakwaan pertama, karena Dia turut serta ikut dalam pembangunan Pasar Madiun, pada hal dia adalah sebagai Kepala Daerah disitu. Bahkan juga mengikut sertakan perusahaan anaknya untuk mensuplay barang. Yang kedua, terkait setoran-setoran lainnya diluar Pasar Besar Madiun, yaitu adanya setoran-setoran dari pihak kontraktor. Kemudian ada tiga jenis setoran yaitu dari kontraktor, perijinan dan pemotongan honorarium pegawai, sehingga totalnya sekitar 50 milliar rupiah. Ternyata dari 50 milliar itu banyak dibelanjakan untuk beberapa macam kegiatan, pembelian rumah, masuk dalam tabungan, maupun memberikan kepada orang lain, seperti Liana. Kemudian membelikkan tanah, Property," ujar Feby.

"Namun dari puluhan pembelian tersebut, ternyata ada beberapa juga yang bisa dibuktikan terdakwa, bahwa itu dari penghasilan yang sah, ada 4 jenis yang pertama Emas sebesar Rp 530 juta, kemudian tanah dan bangunan di Jalan Hayam Wuruk sebesar 800 juta, ada bangunan untuk DPC Demokrat di Jalan Ahmat Yani Madiun sebesar 480 juta dan semua alat berat milik Boni Lesmana, sebesar Rp 2,7 milliar. kalau Emas ini didapat sebelum menjabat sebagai Wali Kota. Jadi total yang bisa dibuktikan terdakwa sebesar 7 milliar 545 juta. Jadi menurut kami, terbuktinya gratifikasinya senilai 47 milliar. Jadi TPPU, itulah dari gratifikasi itu memang sebenarnya 55 milliar, di TPPU nya 47 milliar, itu semua sejak 2009 hingga 2016 kemaren,” beber JPU KPK Feby.

Namun saat ditanya lebih lanjut, terkait pihak-pihak yang akan terseret dalam kasus tersebut, yang ikut menikmati “uang haram” dari terdakwa, JPU KPK Feby mengatakan belum ada. Alasannya, karena asset-asset tersebut sudah disita.

“Kalau dari Khusus Madiun, itu tidak ada. TPPU, pembelian-pembelian itu kan sudah kita rampas. TPP tujuannya adalah rekafry asset dari Tindak Pidana Korupsi. Dan untuk sementara kami belum menilai apakah ada disitu yang akan ditindak lanjuti, akan kimi laporkan dulu hasil tuntutan,” ujarnya.

Dari apa yang disampaikana JPU KPK, kini pihak-pihak yang sudah menikmati “uang haram” dari terdakwa Bambang Irianto pun, bisa bernafas lega dan bermimpi indah. Sebab, mereka tidak akan terseret ke kursi panas di Gedung Pengadil para Koruptor yang terletak di Jalan Raya Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur. Akankan mereka syukuran memotong nasi tumpeng bersamaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, pada 17 Agustus 2017 yang akan dating ???.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top