beritkorupsi.co – “Mencari keadilan, ibarat mencari mutiara di dasar laut, yang penuh perjuangan untuk menghadapi badai”. Kalimat itulah yang diungkapkan terdakwa, Marthen Luter Dira Tome (52), mantan Kasubdin PLS Dispendikbud NTT tahun 2007, yang saat ini menjabat Bupati (non aktif) Sabu-Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), seuasi persidangan, pada Senin, 31 Juli 2017.
Terdakwa Marthen Luter Dira Tome, menyampaikan hal tersebut, terkait Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap dirinya, dalam kasus perkara Korupsi Dana Dekonsentrasi Derektorat Jenderal (Dirjen) PLS (Pendidikan Luar Sekolah) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dispendikbud) Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) pada tahun 2007 lalu, yang menelan anggaran APBN sebesar Rp 77.675.354.000 milliar, dan merugikan keuangan negara berdasarkan hasil audit BPK RI senilai Rp 4.292.378.200.
Dalam persidangan yang berlangsung, dengan agenda pembacaan surat putusan (Vonis) oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, yang diketuai Majelis Hakim Tahsin, dan dibantu 2 Hakim Ad Hock yakni, Dr. Andriano dan Dr. Lufsiana, dan dihadiri JPU (Jaksa Penuntut Umum) Dodi Sukmono dkk dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), serta terdakwa yang didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya Yohanis D. Rihi., SH; Dr. Melkianus., SH., M.Hum; Yanro., SH. M.Hum; Alexander F. Tungga., SH. M.Hum dan Lesly A. Lay., SH, pada Senin, 31 Juli 2017.
Terdakwa Marthen Luter Dira Tome, menyampaikan hal tersebut, terkait Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap dirinya, dalam kasus perkara Korupsi Dana Dekonsentrasi Derektorat Jenderal (Dirjen) PLS (Pendidikan Luar Sekolah) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dispendikbud) Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) pada tahun 2007 lalu, yang menelan anggaran APBN sebesar Rp 77.675.354.000 milliar, dan merugikan keuangan negara berdasarkan hasil audit BPK RI senilai Rp 4.292.378.200.
Dalam persidangan yang berlangsung, dengan agenda pembacaan surat putusan (Vonis) oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, yang diketuai Majelis Hakim Tahsin, dan dibantu 2 Hakim Ad Hock yakni, Dr. Andriano dan Dr. Lufsiana, dan dihadiri JPU (Jaksa Penuntut Umum) Dodi Sukmono dkk dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), serta terdakwa yang didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya Yohanis D. Rihi., SH; Dr. Melkianus., SH., M.Hum; Yanro., SH. M.Hum; Alexander F. Tungga., SH. M.Hum dan Lesly A. Lay., SH, pada Senin, 31 Juli 2017.
Majelis Hakim menyatakan bahwa, Terdakwa Marthen Luther Dira Tome, selaku Kasubdin PLS Dispendikbud NTT, terbukti secara sah dan meyakinkan, melakukan tindak pidana Korupsi, sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP. Terdakwa pun di Vonis 3 tahun penjara.
“Menjatuhkan hukuman pidana dengan pidana penjara semalam 3 tahun dikurangi selama dalam tahanan, denda sebesar Rp 100 juta. Apa bila terdakwa tidak membayar, maka diganti kurungan selama 3 bulan,” ucap Ketua Majelis Hakim.
Tidak hanya itu. Terdakwa juga dihukum pidana tambahan berupa, membayar uang pengganti sebesar Rp 1,5 milliar, subsiadair 3 tahun penjara.
“Apa bila terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan setelah hukuman berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti,” Kata Ketua Majelis dalam surat Putusannya.
Dalam amar putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa, terdakwa Marthen Luther Dira Tome, selaku Kasubdin PLS Dispendikbud NTT, bersama Tobias Uly, Kepala Dinas Pendidikan yang menjabat sebagai Kuasa Pengguan Anggran (KPA), John Agustinius Radja Pono, Ketua Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FKTLD) dan Basa Alim Tualeka, selaku Direktur PT Bintang Ilmu, melakukan kegiatan Pendidikan Luar Sekolah, dengan anggaran sebesar Rp Rp 77.675.354.000, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 4.292.378.200 sesuai dengan surat dakwaan.
Majelis Hakim menyatakan bahwa, terdakwa Marthen Luter Dira Tome bersama John Agustinius Radja Pono, selaku Ketua Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FKTLD) Provinsi NTT tahun 2007, melakukan pemotongan dana PLS sebesar Rp 50 ribu per bulan selama 6 bulan terhadap 11.000 Kelompok untuk diberikan kepada camat, kepala cabang Dinas, Lurah atau Kepala Desa sebesar Rp 3.330.000.000.
Dana tersebut menurut Majelis Hakim, seharusnya tidak diberikan kepada camat, kepala cabang Dinas, Lurah atau Kepala Desa, kerena mereka bukanlah penyelenggara dalam kegiatan Pendidikan Non Formal PLS Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT tahun 2007.
Majelis Hakim menyatakan bahwa, terdakwa Marthen Luter Dira Tome bersama John Agustinius Radja Pono, selaku Ketua Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FKTLD) Provinsi NTT tahun 2007, melakukan pemotongan dana PLS sebesar Rp 50 ribu per bulan selama 6 bulan terhadap 11.000 Kelompok untuk diberikan kepada camat, kepala cabang Dinas, Lurah atau Kepala Desa sebesar Rp 3.330.000.000.
Dana tersebut menurut Majelis Hakim, seharusnya tidak diberikan kepada camat, kepala cabang Dinas, Lurah atau Kepala Desa, kerena mereka bukanlah penyelenggara dalam kegiatan Pendidikan Non Formal PLS Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT tahun 2007.
Tidak hanya itu, Majelis Hakim juga menyetakan bahwa, terdakwa Marthen Luter Dira Tome, telah menghubungi Basa Alim Tualeka, untuk meminta sejumlah uang melalui rekening BCA milik Simon Dira Tome, adik kandung terdakwa pada 19 Desember 2007 sebesar Rp 140 juta dan 23 Maret 2008 sebesar Rp 160 juta
Atas Vonis tersebut, terdakwa langsung menyatakan banding, sementara JPU KPK masih pikir-pikir. “Yang Mulia, kalau boleh, hari ini kamu bisa mendapatkan salinan putusannya, untuk banding,” kata Yohanis D. Rihi. Namun oleh Ketua Majelis Hakim dijanjikan 3 hari kemuadian.
“Ini adalah awal dari perjuangan. Mencari keadilan, ibarat mencari mutiara di dasar laut, yang penuh perjuangan untuk menghadapi badai. Kami sangat menghargai putusan Majelis Hakim. Tapi kami akan banding, karena pertimbangan Majelis Hakim tidak sesua fakta persidangan, melainkan sama dengan dakwaan,” kata terdakwa, seuasai persiandan, yang di iakan Tim Penasehat Hukumnya.
Menurut Yohanis D. Rihi, selaku PH terdakwa mengatakan, dalam pertimbangan Majelis Hakim dikatakan bahwa, terdakwa menghubungi Basa Alim Tualeka, untuk meminta uang. Pada hal, John Radja Pono lah yang menghubungi Basa Alim Tualeka, tanpa sepengetahuan terdakwa.
“Tadi Majelis Hakim mengatakan, bahwa terdakwa menghubungi Basa Alim Tualeka untuk meminta sejumlah unag. Pada hal dalam fakta persidangan yang terungkap, John Radja Pono lah yang menghubungi Basa Alim Tualeka, meminta sejumlah uang untuk biaya pengiriman dan pengepakan buku dan dikirimkan melalui rekening Simon Dira Tome. Dan itu diakui oleh John Radja Pono dan Basa Alim Tualeka dalam persidangan,” jelasnya.
Terdakwa menambahkan, pemotongan dana transport sebesar Rp 50.000 per kelompok, sehingga dianggap memperkaya Jhon Agustinus Radja Pono sebesar Rp 3.330.000.000, adalah merupakan suatu keniscayaan.
“Saya, tidak pernah menyuruh, mengetahui ataupun memotivasi para penyelenggara untuk memotong uang tersebut. Secara akal sehat, jika saya memiliki niat buruk untuk memperkaya diri atau orang lain atau korporasi, maka tidaklah mungkin terjadi efisiensi atau penghematan anggaran pada pengelolaan program dan anggaran pemberantasan buta aksara. dari target pemerintah pusat menuntaskan 90.320 orang atau 9.032 kelompok. Sementara yang dilaksanakan di Provinsi NTT melampaui target pemerintah pusat yaitu 111.000 orang atau 11.100 kelompok tanpa merubah atau menambah anggaran,” kata terdakwa dengan jelas.
Menurut terdakwa, selisih lebih dari target pemerintah pusat yakni 20.680 orang atau 2.068 kelompok jika dikalikan dengan alokasi anggaran per kelompok sebesar Rp 2.900.000 maka, 2.068 X Rp 2.900.000 = Rp 5.997.200.000.
“Dari pelaksanaan program tersebut telah terjadi pengamatan keuangan negara sebesar Rp 5.997.200.000 atau menguntungkan rakyat yang kurang beruntung, sejumlah 20.680 orang, karena mereka bisa menikmati pendidikan dengan program wajib belajar pendidikan Dasar 9 tahun yaitu, program paket A setara SD dan Paket B setara SMP. Target pemerintah pusat menuntaskan 21.850 orang sementara dilaksanakan di provinsi NTT mencapai 28.510 orang atau terjadi selisih lebih 6.660 orang dengan efisiensi anggaran Rp 3.262.690.000. hal yang sama juga terdapat dalam program paket C setara SMA, dalam target pemerintah pusat menuntaskan 926 orang, sementara dilaksanakan di Provinsi NTT mencapai 2340 orang. terdapat selisih lebih warga belajar sebanyak 1.414 orang dan efisiensi anggaran sebesar Rp 962.500.000,” beber terdakwa
“Total efisiensi keuangan negara dari Ketiga program di atas yaitu, program pemberantasan buta aksara, wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan program paket C setara SMA sebesar Rp 10. 222.390.000 atau menguntungkan 28.754 orang masyarakat NTT yang kurang beruntung karena kesulitan kehidupan tidak bersekolah atau buta huruf putus sekolah atau putus lanjut SD, SMP, SMA dan mereka kembali dapat mengenyam pendidikan lagi,” ujar terdakwa dengan tegas.
Kasus ini pun semakin panjang. Selain melaukan upaya hukum banding, ternyata Tim PH terdakwa telah mendapat respon dan undangan dari Pansus hak angket KPK DPR RI. Yang rencananya pertemuan antara Tim PH terdakwa dengan Pansus hak angket KPK DPR RI akan diadakan besok (hari ini, 1 Agustus 2017).
“Ini kita langsung terbang ke Jakarta, karena agenda pertemuan dengan Pansus hak angket KPK DPR RI akan diadakan besok pagi (Selasa, 1 Agustus 2017) sekitar jam 10. Karena sebelumnya, Pansus hak angket KPK DPR RI bersama kami selaku PH terdakwa, sudah bertemu dengan terdakwa sendiri di Rutan. Dan kita diundang untuk hadir dalam pertemuan dengan Pansus hak angket. Kita melaporkan kasus penyidikan yang dilakukan oleh KPK,” uajr Yohanis. (Redaksi)
Atas Vonis tersebut, terdakwa langsung menyatakan banding, sementara JPU KPK masih pikir-pikir. “Yang Mulia, kalau boleh, hari ini kamu bisa mendapatkan salinan putusannya, untuk banding,” kata Yohanis D. Rihi. Namun oleh Ketua Majelis Hakim dijanjikan 3 hari kemuadian.
“Ini adalah awal dari perjuangan. Mencari keadilan, ibarat mencari mutiara di dasar laut, yang penuh perjuangan untuk menghadapi badai. Kami sangat menghargai putusan Majelis Hakim. Tapi kami akan banding, karena pertimbangan Majelis Hakim tidak sesua fakta persidangan, melainkan sama dengan dakwaan,” kata terdakwa, seuasai persiandan, yang di iakan Tim Penasehat Hukumnya.
Menurut Yohanis D. Rihi, selaku PH terdakwa mengatakan, dalam pertimbangan Majelis Hakim dikatakan bahwa, terdakwa menghubungi Basa Alim Tualeka, untuk meminta uang. Pada hal, John Radja Pono lah yang menghubungi Basa Alim Tualeka, tanpa sepengetahuan terdakwa.
“Tadi Majelis Hakim mengatakan, bahwa terdakwa menghubungi Basa Alim Tualeka untuk meminta sejumlah unag. Pada hal dalam fakta persidangan yang terungkap, John Radja Pono lah yang menghubungi Basa Alim Tualeka, meminta sejumlah uang untuk biaya pengiriman dan pengepakan buku dan dikirimkan melalui rekening Simon Dira Tome. Dan itu diakui oleh John Radja Pono dan Basa Alim Tualeka dalam persidangan,” jelasnya.
Terdakwa menambahkan, pemotongan dana transport sebesar Rp 50.000 per kelompok, sehingga dianggap memperkaya Jhon Agustinus Radja Pono sebesar Rp 3.330.000.000, adalah merupakan suatu keniscayaan.
“Saya, tidak pernah menyuruh, mengetahui ataupun memotivasi para penyelenggara untuk memotong uang tersebut. Secara akal sehat, jika saya memiliki niat buruk untuk memperkaya diri atau orang lain atau korporasi, maka tidaklah mungkin terjadi efisiensi atau penghematan anggaran pada pengelolaan program dan anggaran pemberantasan buta aksara. dari target pemerintah pusat menuntaskan 90.320 orang atau 9.032 kelompok. Sementara yang dilaksanakan di Provinsi NTT melampaui target pemerintah pusat yaitu 111.000 orang atau 11.100 kelompok tanpa merubah atau menambah anggaran,” kata terdakwa dengan jelas.
Menurut terdakwa, selisih lebih dari target pemerintah pusat yakni 20.680 orang atau 2.068 kelompok jika dikalikan dengan alokasi anggaran per kelompok sebesar Rp 2.900.000 maka, 2.068 X Rp 2.900.000 = Rp 5.997.200.000.
“Dari pelaksanaan program tersebut telah terjadi pengamatan keuangan negara sebesar Rp 5.997.200.000 atau menguntungkan rakyat yang kurang beruntung, sejumlah 20.680 orang, karena mereka bisa menikmati pendidikan dengan program wajib belajar pendidikan Dasar 9 tahun yaitu, program paket A setara SD dan Paket B setara SMP. Target pemerintah pusat menuntaskan 21.850 orang sementara dilaksanakan di provinsi NTT mencapai 28.510 orang atau terjadi selisih lebih 6.660 orang dengan efisiensi anggaran Rp 3.262.690.000. hal yang sama juga terdapat dalam program paket C setara SMA, dalam target pemerintah pusat menuntaskan 926 orang, sementara dilaksanakan di Provinsi NTT mencapai 2340 orang. terdapat selisih lebih warga belajar sebanyak 1.414 orang dan efisiensi anggaran sebesar Rp 962.500.000,” beber terdakwa
“Total efisiensi keuangan negara dari Ketiga program di atas yaitu, program pemberantasan buta aksara, wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan program paket C setara SMA sebesar Rp 10. 222.390.000 atau menguntungkan 28.754 orang masyarakat NTT yang kurang beruntung karena kesulitan kehidupan tidak bersekolah atau buta huruf putus sekolah atau putus lanjut SD, SMP, SMA dan mereka kembali dapat mengenyam pendidikan lagi,” ujar terdakwa dengan tegas.
Kasus ini pun semakin panjang. Selain melaukan upaya hukum banding, ternyata Tim PH terdakwa telah mendapat respon dan undangan dari Pansus hak angket KPK DPR RI. Yang rencananya pertemuan antara Tim PH terdakwa dengan Pansus hak angket KPK DPR RI akan diadakan besok (hari ini, 1 Agustus 2017).
“Ini kita langsung terbang ke Jakarta, karena agenda pertemuan dengan Pansus hak angket KPK DPR RI akan diadakan besok pagi (Selasa, 1 Agustus 2017) sekitar jam 10. Karena sebelumnya, Pansus hak angket KPK DPR RI bersama kami selaku PH terdakwa, sudah bertemu dengan terdakwa sendiri di Rutan. Dan kita diundang untuk hadir dalam pertemuan dengan Pansus hak angket. Kita melaporkan kasus penyidikan yang dilakukan oleh KPK,” uajr Yohanis. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :