0
#Terdakwa : Sebagai Lembaga Superpower, KPK Dapat Melakukan Tindakan Hukum Kapan Saja, Dimana Dan Dengan Cara Apa Saja Pada Semua Pihak#


 beritakorupsi.co – Sidang perkara dugaan Korupsi Dana Dekonsentrasi Derektorat Jenderal (Dirjen) PLS (Pendidikan Luar Sekolah) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dispendikbud) Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) pada tahun 2007 lalu, yang menelan anggaran dari APBD sebesar Rp 77.675.354.000 milliar, dan merugikan keuangan negara berdasarkan hasil audit BPK RI senilai Rp 4.292.378.200, kembali digelar, pada Senin, 17 Juli 2017.

Setelah JPU (Jaksa Penuntut Umum) Dodi Sukmono dkk dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah membacakan surat tuntutanntanya terhadap terdakwa, Marthen Luter Dira Tome (52) Bupati (non aktif) Sabu-Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT) (10 Juli 2017), kini giliran terdakwa membacakan surat Pledoi (Pembelaannya) di hadapan Majelis Hakim selaku Marwah Tuhan.

Dihadapan Majelis Hakim, terdakwa Marthen Luter Dira Tome, membacakan pembelaanya sebelum Pledio dari Penasehat Hukum (PH)-nya, Johannes Dkk.

Dalam surat pembelaannya, terdakwa mengatakan bahwa, proses hukum dalam kasus ini memakan waktu yang cukup panjang dan sangat melelahkan yakni kurang lebih 10 tahun. Bola panas dari kasus ini bergulir pada tahun 2007, berawal dari laporan Anita Yakoba Gah, salah seorang anggota DPR RI.

Anita Yacoba Gah, kata terdakwa, melaporkan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Kupang, tentang adanya dugaan korupsi dana pendidikan luar sekolah PLS pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi Nusa Tenggara Timur tahun anggaran 2007  sebesar Rp 77 miliar, setelah terdakwa menjabata sebagai Kasubdin dan juga sebagai PPKm, tidak melayani permohonan anggaran yang diajukan Yayasan Anita Media center Air milik anggota DPR RI tersebut.

Saat itu, lanjut terdakwa, bahwa Yayasan Anita Media center sedang menangani program dari Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional yaitu, program peningkatan mutu pendidikan anak pengungsi dengan total anggaran sebesar Rp 300 juta. Pengelolaan program dan anggaran tersebut oleh Yayasan Anita Media center bermasalah, karena kegiatan hanya dilaksanakan beberapa kali dan anggaran tidak direalisasikan, akibatnya masyarakat pengungsi Timor Timur yang menjadi sasaran program tersebut menuntut, agar Yayasan AMC segera merealisasikan anggaran milik masyarakat.

“Tetapi saat itu, Yayasan AMC tidak dapat merealisasikan anggaran dimaksud karena anggaran sudah habis dipakai untuk operasional Yayasan. Hal ini terkuak ketika beberapa kali saya didatangi kelompok masyarakat pengungsi dalam rangka menagih anggaran yang menjadi hak mereka yang dikelola Yayasan AMC, karena sesuai dengan penjelasan Anita Yakoba Gah bersama staf Yayasan AMC kepada masyarakat, bahwa Yayasan AMC belum bisa merealisasikan anggaran tersebut, karena anggaran yang menjadi hak mereka masih sementara diproses di Subdin PLS Provinsi. Anggaran belum bisa cair karena Kasubdin PLS Provinsi selalu beralasan sibuk dengan pekerjaan lain,” beber terdakwa dalam pledoinya.

Bisa jadi, karena terdakwa tidak merealisasikan permohonan anggaran yang diajukan Yayasan AMC, sehingga menurut terdakwa, Anita Yakoba CS, melakukan rekayasa laporan ke Kejari  Kupang dan ke KPK, Inspektorat Jenderal Depdiknas tentang pengelolaan program pemberantasan buta aksara (PBA) di Kabupaten Kupang, yaitu adanya kelompok yang fiktif yang dilakukan oleh para penyelenggara. Menindaklanjuti laporan anggota DPR tersebut. pada awal 2008, Kejari Kupang melakukan penyelidikan dan memeriksa 104 orang penyelenggara program PLS di Kabupaten Kupang.

Sayangnya, mengapa terdakwa tidak melaporkan Yayasan Anita Media Center terkait penggunaan anggaran dalam program dari Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional yaitu, program peningkatan mutu pendidikan anak pengungsi ?


KPK Sepertinya Menganggap Penyidik Kejati NTT Tidak Serius, Sehingga KPK Mengambil Alih Penyidikan


Anehnya, pada tanggal 17 November 2014, penyidik KPK mengambil alih penyelidikan kasus ini dan menetapkan saya sebagai tersangka untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap diri saya pada tanggal 15 Agustus 2015. Saya merasa, bahwa penetapan saya sebagai tersangka oleh penyidik KPK, tidak didasarkan pada bukti awal yang kuat, oleh karena itu melalui pengacara saya, mengajukan gugatan Praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, pada tanggal 15 Agustus 2016. Dan akhirnya, PN Jakarta Selatan lewat putusannya Nomor : 65 /PID.PRA/ 2016 PN. Jkt.Sel tanggal 18 Mei 2016 mengabulkan gugatan praperadilan saya.

Dalam putusan praperadilan tersebut ditegaskan, tidak sah dan memerintahkan kepada termohon dalam (penyidik KPK) untuk menghentikan penyidikan atau mengaembalikan seluruh berkas perkara terkait hasil penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana Korupsi pada program PLS pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov. NTT untuk dihentikan penyidiknnya.

Tragisnya, pada tanggal 14 November 2016, KPK menangkap saya di Jakarta dan sehari kemudian, saya ditahan di rutan KPK. Dengan adanya penangkapan dan penahanan diri saya sebagai tersangka, sesungguhnya ada beberapa catatan yang patut disimak antara lain : a,  bawa KPK dalam mengambil alih proses penyidikan kasus ini, tindakannya terkesan sebagai lembaga Superpower yang dapat melakukan tindakan hukum kapan saja, dimana dan dengan cara apa saja pada semua pihak.

Apakah dapat dibenarkan kalau KPK Sebelum melaksanakan putusan praperadilan berhak melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini ? Apakah KPK boleh saja mengabaikan dan tidak melaksanakan putusan Pengadilan ? Atas dasar apa KPK menetapkan saya sebagai tersangka dalam kasus ini, sementara berkas hasil penyelidikan dan penyidikan sesuai putusan Praperadilan di PN Jakarta Selatan harus diserahkan kepada penyidik Kejati untuk dihentikan.


JPU KPK Menuntut Terdakwa Membayar Uang Pengganti Sebesar Rp 3,7 Milliar Yang Diterima Pihak Lain Dan FK-TLD Dianggap “Tidak” Sah

Menyimak surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, terdakwa didakwa melakukan beberapa perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara sebesar Rp 4.292.378.200 dengan rincian sebagai berikut ; 1. terdakwa telah mengalihkan Penyaluran dana kegiatan PLS melalui Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FK-TLD) Provinsi NTT, melakukan pengeluaran anggaran yang seharusnya tidak dikeluarkan dari kas negara, dan melakukan pengadaan barang dan jasa yang bertentangan dengan pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional untuk Prosedur Operasional Standar (POS), pelaksanaan program dan anggaran dana dekonsentrasi Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007, dan Keppres Nomor 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Selain itu, terdakwa juga didakwa telah memotong uang transport penyelenggara sebesar Rp 50.000 per kelompok untuk diberikan kepada Camat, Kepala Desa/Lurah, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan, sehingga dapat memperkaya Jhon Agustinus Radja Pono sebesar Rp 3.330.000.000. terdakwa didakwa telah meminta dana operasional kepada Basa Alim Tualeka sebesar Rp 390 juta melalui rekening Simon Dira Tome, sehingga memperkaya diri sendiri sebesar Rp 390 juta. Juga didakwa, bersalah bersama-sama dengan Thobias Uly, Jhon Agustinus Radja Pono dan Basa Alim Tualeka, sehingga telah memperkaya Basa Alim Tualeka sebesar Rp 572.378.200.

Ironisnya, dalam tuntuta JPU KPK, terdakwa justru diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 3,7 milliar yang tidak diterima oleh terdakwa sepeserpun. Bukankah kerugian negara yang dibebankan kepada terdakwa sebesar uang yang dinikmati oelh terdakwa yang dibuktikan dalam persidangan ?

“Keberadaan Forum dalam pelaksanaan program PLS, bukanlah inisiatif pribadi saya selaku Kepala Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi NTT, tetapi atas kesepakatan para Kepala Bidang PLS Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten se-Provinsi NTT dan para Ketua FK-TLD Kabupaten/Kota se-Provinsi NTT sebagai perwakilan penyelenggara atau pengelola program PLS dalam rapat koordinasi dan evaluasi pelaksanaan program pendidikan luar sekolah tahun 2007 yang bertempat di Hotel Bahagia 2 SoE, Ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan, pada bulan Maret 2007. Dasar pertimbangan dari keterlibatan FK-TLD dalam pengelolaan anggaran TLD tahun 2007 adalah bertolak dari Ketentuan dan syarat pencairan dana oleh para pengelola PLS adalah, bahwa para pengelola program PLS harus mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan nomor rekening bank,” ungkap terdakwa

Dihadapan Majelis Hakim, terdakwa menjelaskan, pembentukan FK-TLD berpedoman pada pendidikan tenaga kependidikan non formal (PTK –PNF) Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PM-PTK) nonformal Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2006. Akta notaris serta anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Forum Komunikasi tenaga lapangan pusat dan mempunyai cabang di seluruh wilayah Indonesia yang ditetapkan oleh keputusan rapat Badan pendiri, pada pasal 6 tentang organisasi berskala nasional yang beranggotakan TLD di seluruh Indonesia dipimpin oleh pengurus pusat, pengurus Provinsi dan pengurus Kabupaten/Kota.

Dalam pembelaanya, terdakwa menjelaskan terkait pemotongan dana transport sebesar Rp 50.000 per kelompok, sehingga terdakwa dianggap memperkaya Jhon Agustinus Radja Pono sebesar Rp 3.330.000.000, adalah merupakan suatu keniscayaan. Karena menurut terdakwa, tidak pernah menyuruh ataupun memotivasi para penyelenggara untuk memotong uang transport mereka.

Menurut terdakwa, hal tersebut merupakan murni kesepakatan bersama para penyelenggara. Terdakwa menyatakan, jika dakwaan JPU KPK lahir dari pemahaman terhadap lampiran petunjuk lapangan program PLS tahun 2007 tentang rincian biaya KF tahun 2007 khususnya pada kolom keterangan transport penyelenggara dicantumkan atau disebutkan, Camat Cs, sebesar Rp50.000, berdasarkan kesepakatan. Tetapi JPU KPK menyimpulkan bahwa, terdakwa telah memotong dana transport penyelenggaraan Rp 50.000 per kelompok per bulan untuk diserahkan kepada Camat Cs dan telah merugikan negara, karena Camat Cs bukanlah penyelenggara program PLS. Jika demikian, maka dapat dipastikan bahwa JPU telah terjerumus dalam pemahaman yang sangat keliru terhadap tabel rincian biaya tersebut.

Terdakwa memaparkan, Camat Cs bukanlah penyelenggara tetapi mereka adalah tokoh-tokoh pengaruh yang ada di tingkat Kecamatan dan Desa, yang sangat dibutuhkan perannya oleh penyelenggara untuk memberikan motivasi dan dorongan kepada warga belajar, agar mau mengikuti kegiatan belajar sampai tuntas atau selesai. Terlibat atau tidaknya para Camat Cs dalam pelaksanaan program PLS, tidak mempengaruhi alokasi dana untuk penyelenggara, karena dana tersebut telah ditetapkan dalam RK-AKL, yaitu sebesar Rp900.000.

“Ketika JPU KPK mempersoalkan uang transport penyelenggara yang dialokasikan untuk mengganti uang transport dari camat Cs, yang melakukan kunjungan ke kelompok belajar diklarifikasi sebagai suatu perbuatan yang dapat memperkaya Jhon Agustinus Radja Pono sebesar R3.330.000.000, merupakan suatu kekeliruan yang nyata, karena jumlah dana transport pengelola yang dianggarkan sebesar Rp 150.000 per kelompok per bulan. Namun dari jumlah tersebut disepakati oleh para penyelenggara sendiri untuk menyisihkan Rp 50.000 per kelompok per bulan sebagai pengganti uang transport bagi Camat Cs yang berkunjung ke kelompok belajar. Kalaupun tidak ada kunjungan dari Camat Cs, maka uang tersebut sepenuhnya adalah milik para penyelenggara,”  beber terdakwa

“Secara akal sehat, jika saja saya memiliki niat buruk untuk memperkaya diri atau orang lain atau korporasi, maka tidaklah mungkin terjadi efisiensi atau penghematan anggaran pada pengelolaan program dan anggaran pemberantasan buta aksara. dari target pemerintah pusat menuntaskan 90.320 orang atau 9.032 kelompok. Sementara yang dilaksanakan di Provinsi NTT melampaui target tersebut yaitu 111.000 orang atau 11.100 kelompok tanpa merubah atau menambah anggaran,” kata terdakwa dengan jelas.

Terdakwa menjelaskan, selisih lebih dari target pemerintah pusat yakni 20.680 orang atau 2.068 kelompok jika dikalikan dengan alokasi anggaran per kelompok sebesar Rp 2.900.000 maka, 2.068 X Rp 2.900.000 = Rp 5.997.200.000. Dari pelaksanaan program tersebut telah terjadi pengamatan keuangan negara sebesar Rp 5.997.200.000 atau menguntungkan rakyat yang kurang beruntung sejumlah 20.680 orang, karena mereka bisa menikmati pendidikan dengan program wajib belajar pendidikan Dasar 9 tahun yaitu, program paket A setara SD dan Paket B setara SMP. Target pemerintah pusat menuntaskan 21.850 orang sementara dilaksanakan di provinsi NTT mencapai 28.510 orang atau terjadi selisih lebih 6.660 orang dengan efisiensi anggaran Rp 3.262.690.000. hal yang sama juga terdapat dalam program paket C setara SMA, dalam target pemerintah pusat menuntaskan 926 orang, sementara dilaksanakan di Provinsi NTT mencapai 2340 orang. terdapat selisih lebih warga belajar sebanyak 1.414 orang dan efisiensi anggaran sebesar Rp 962.500.000.

“Total efisiensi keuangan negara dari Ketiga program di atas yaitu, program pemberantasan buta aksara, wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan program paket C setara SMA sebesar Rp 10. 222.390.000 atau menguntungkan 28.754 orang masyarakat NTT yang kurang beruntung karena kesulitan kehidupan tidak bersekolah atau buta huruf putus sekolah atau putus lanjut SD, SMP, SMA dan mereka kembali dapat mengenyam pendidikan lagi,” ungkap terdakwa

“Apabila keterangan saya dalam persidangan dianggap sebagai hal-hal yang memberatkan, maka saya khawatir, suatu saat, orang-orang yang tidak bersalah pun akan mengikuti keinginan JPU KPK, agar memperoleh tuntutan pidana yang ringan. Padahal pemeriksaan di pengadilan bertujuan untuk memperoleh kebenaran materiil, agar Majelis Hakim yang mulia tidak keliru dalam menjatuhkan putusan bagi pencari keadilan. Saya mempertaruhkan seluruh masa depan keluarga ke tangan Majelis Hakim, karena saya yakin, Majelis Hakim akan memberikan putusan yang sangat objektif dan seadil-adilnya,” lanjut terdakwa


Terdakwa : Diperlakukan Seperti Seorang Teroris Yang Siap Meledakkan Bom Dasyat, Tetapi Majelis Hakim Ibarat Tuhan Yang Maha Esa



Menurut terdakwa, Sejak dirinya ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya sebagai orang yang diduga melakukan tindak pidana Korupsi dalam penggunaan dana Dekonsentrasi Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional tahun anggaran 2007 pada Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, terdakwa merasa sangat shock, karena sterdakwa merasa kasus ini dengan sengaja dipolitisir Ketika terdakwa  diberikan kepercayaan oleh Tuhan lewat mayoritas masyarakat Kabupaten Sabu Raijua untuk memimpin Kabupaten Sabu Raijua untuk periode yang kedua kalinya.

Bahkan menurut terdakwa dalam pembelaanya, bahwa terdakwa saat mengunjungi beberapa daerah otonom Kabupaten untuk mensosialisasikan dirinya sebagai bakal calon Gubernur NTT periode 2018-2023, namun secara tiba-tiba dan sangat mengejutkan, terdakwa pun ditetapkan sebagai tersangka, dan bahkan dalam sidang perdana dan sidang kedua kasus ini, terdakwa  didakwa dikawal oleh beberapa aparat Brimob bersenjata lengkap.

“Saya dianggap seorang teroris yang siap untuk meledakkan bom yang memiliki daya ledak yang super Dahsyat, sementara fakta dan pengalaman selama proses Penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini, saya telah menunjukkan sikap yang sangat kooperatif dan tidak ada tanda-tanda saya akan melarikan diri. Hal ini yang patut saya sayangkan dari cara KPK memperlakukan saya,” kata terdakwa

Pada awal persidangan perkara ini, lanjut terdakwa, mengapa semua orang termasuk terdakwa, harus berdiri untuk menghormati Yang Mulia, ketika Yang Mulia, masuk dan keluar ruang ruang persidangan. Dan setelah terdakwa duduk di kursi terdakwa selama kurang lebih 3 bulan, terdakwa baru memahami, mengapa demikian ? Karena Hakim adalah satu-satunya profesi dibumi ini yang menjadi wakil Tuhan  Yang Maha Esa dan negara untuk memegang Palu Keadilan, Palu Kebenaran dan Palu yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan termasuk terdakwa.

“Saya yakin, menjadi seorang Hakim bukan hanya karena pilihan hidup tetapi Tuhanlah yang memilih Yang Mulia. Di tangan Majelis Hakim Yang Mulia, saya dan keluarga, menyandarkan harapan, karena kami sadar, bahwa yang mulia ibarat batu karang, dan di dalam persidangan ini menjadi Catatan sejarah dalam kehidupan saya dan keluarga. Saya akan menggoreskan cerita ini dengan tinta Emas, bahwa Yang Mulia, mempunyai pilihan untuk menunjukkan, bahwa di atas batu karang inilah yang Mulia, dengan berani menyatakan kebenaran yang Hakiki, bahwa saya tidak melakukan tindak pidana Korupsi seperti yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum KPK dihadapan Majelis Hakim Yang Mulia. Saya mengutip dari seorang bangsawan Inggris yang juga ahli hukum terkenal yaitu, William Murary, bahwa biarlah keadilan terlaksana, meski Langit Runtuh,” kata terdakwa diakhir pembelaannya.

Terkait Pledoi terdakwa, JPU KPK, Dodi Sukmono kepada wartwan media ini mengatakan, sangat menghargai apa yang disampaikan oleh terdakwa. Saat ditanya, terkait uang pengganti yang dibebankan kepada terdakwa, namun terdakwa tidak menerima aliran dana melainkan diteriam pihak lain, Dodi mengatakan akan menanggapinya dalam persidangan yang akan datang.

“Kita mengharagai apa yang disampaikan terdakwa. mengaenai uang pengganti, akan kita tanggapi dalam persidangan,” kata JPU KPK Dodi.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top