0
Suryono Pane. SH
Surabaya  – Dalam pasal 143 KUHAP ayat (4) “Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri”.

Anehnya, dalam fakta persidangan kasus perkara pidana, Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkadang “melanggar” pasal 143 ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam proses persidangan. Pasalnya, terdakwa atau penasehat hukum (PH)-nya baru menerima turunan atau copy surat dakwaan setelah JPU membacakan dalam persidangan. Akibatnya, terdakwa maupun PH-nya tidak sempat mempelajari isi surat dakwaan yang dibuat oleh JPU. Parahnya, Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut juga tidak memberi teguran kepada Jaksa tentang hak terdakwa. Namun Majelis Hakim hanya mempersilahkan kepada PH terdakwa untuk memfoto copy dengan biaya sendiri. Apakah Jaksa tidak punya anggaran untuk membuat turunan surat dakwaan untu diberikan kepada terdakwa ?

Hal itulah yang sempat diprotes Penasehat Hukum terdakwa, Suryono Pane kepada Majelis Hakim yang diketuai Hakim Jihad Arkhanuddin, dalam sidang perkara pidana pasal 161 UU RI No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Jo pasal 64 ayat (1) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan terdakwa Eriza Hardi Zakaria (31) warga jambangan surabaya (dalam surat dakwaan, JPU menyebut Kabupaten Surabay), dalam persidangan yang berlangsung pada, Kamis, 18 Pebruari 2016.

Pasalnya, Suryono Pane Cs, selaku PH terdakwa maupun terdakwa sendiri belum menerima turunan atau copy surat dakwaan hingga JPU selesai membacakan dakwaannya. JPU baru memberikan setelah diprotes. Berbeda dengan terdakwa Kusnul Rofiq yang sudah menerima turunan dakwaan.

“Karena terdakwa tidak ada kaitannya dengan kasus penambangan dan terdakwa sudah lama ditahan, jadi kami tidak akan mengajukan keberatan (Eksepsi). Tapi perlu kami sampaikan yang, Mulia. Kami selaku penasehat hukum terdakwa belum menerima dakwaan,” protes Pane.

Uasi persidangan, JPU Dodi Gazali Emil, dari Kejaksaan Lumajang mengatakan hanya miss Komunikasi. “Hanya miss Komunikasi (kesalahpahaman) aja,” jawabnya enteng.

Terpisah, Suryono pane selaku PH terdakwa terkait terkait belum diterimanya turunan dakwaan mengatakan, bahwa Jaksa menlanggar KUHP. “Sebenarnya kalau kita lihat KHUP (pasal 143 ayat (4)), Tiga hari sebelum sidang, terdakwa kan sudah harus diberikan dakwaan. Apakah melalui terdakwa atau Penasehat Hukumnya secara langsung. Tapi sampai persidangan dan kita sampaikan bahwa kami penasehat hukum terdakwa belum menerima dakwaan. Kami baru menerima setelah jaksa membacakan. Sehingga tidak ada waktu bagi kami untuk mempelajarinya,” ujar Pane.

Saat ditanya lebih lanjut apakah JPU melanggar KUHP dalam hal tidak diberikannya turunan dakwaan, dengan tegas, Pane mengatakan, dengan jelas melanggar KUHP. “Melanggar KUHP dong, sudah pasti melanggar KUHP,” ucapnya dengan tegas.

Terkait pasal yang dikenakan JPU kepada terdakwa Eriza Hardi Zakaria, Pane menjelaskan, bahwa terdakwa tidak ada hubungannya dengan kasus penambangan. Terdakwa hanya menandatangani SPK (Surat perintah Kerja) karena dalam SPK tersebut akan menjadikan Kabupaten lumajang menjadi Kota Wisata.

“Terdakwa disuruh menandatangani SPK. Untuk pembuatan Desa wisata. Tandatangannya dilakukan disalah satu rumah makan MC Donald di Sidoarjo. Jadi Klien kami ini tidak terlibat secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkara minerba (Penambangan mineral) yang hari ini disidangkan di PN surabaya,” pungkas Pane. Pane juga menjelaskan, SPK itu membuat Desa Wisata bukan melakukan penambangan. “Jadi secara langsung, klien kami tidak ada kaitannya dengan itu. Jadi sekali kami katakan, klien kami hanya dipinjam, dicatut untuk menandatangani SPK. Klien kami tidak ada kaitannya dengan illegal mining. Nanti akan kami buktikan dalam persidangan. Dan klien kami pun tidak menerima sepeserpun dari keuntungan pekerjaan ini,” tegasnya

Menurut Pane, terdakwa menadatangani SPK karena disebutkan akan menjadikan Desa Wisata dan terdakwa bukan sebagai rekanan/kontraktor. Karena SPK itu sendiri dibuat oleh LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan),” ungkap Pane.

Untuk diketahui. Kasus ini bermula pada September tahun lalu. Samsul (Salim Kancil), salah seorang petani yang tewas, sementara Tosan mengalami luka parah karena dianiaya sekelompok preman terkait penolakannya atas kegiatan tambang pasir (Galian C) secara ilegal di Desanya, Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Dari tewasnya Salim Kancil, membuat geger negeri ini. Pengusutan pun langsung ditangani Mabes Polri dan Polda Jatim. Tidak tanggung-tanggung. Dari hasil penyidik Keplosian tersebut, penydik menetapkan 34 orang tersangka, 5 diataranya masuk dalam DPO (daftar pencaharian orang).

Dari 34 tersangka, salah satunya adalah pejabat Publik yakni Kepala Desa Selok Awar-Awar, Hariyono. Hariyono pun menurut kepolisian, adalah diduga sebagai otak dari aksi kekerasan terhadap dua warganya. Dirinyapun dijerat dengan pembunuhan berenca, pasal 340 KUHP dan UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Selain kasus pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan Tosan. Polisi juga menyelidiki penambangan pasir illegal. Dari situlah, Polisi menetapkan Eriza Hardi Zakaria sebagai tersangka. Sebab, Eriza diduga terlibat dalam kegiatan illegal mining sebagai pemilik alat berat Excavator.

Padahal, dalam kegiatan tersebut, Eriza Hardi Zakaria hanya menandatangani surat perjanjian dengan Ketua LMDH, Madasir, tentang selaku pemilik alat berat dan bersedia mendatangkan dengan pembayaran sebesar 180 ribu rupiah per-jam.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top