![]() |
Terdakwa, Sumargono |
Pasalnya, dalam kasus ini Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya hanya menyeret Tujuh terdakwa (semuanya sudah divonis.red) yakni, Empat ditingkat Satuan tugas (Satgas) Euis Darliana atau Ana, Eka Martono, Djoko Waluyo dan Olli Faisol. Tiga dari warga biasa, Abdul Fattah, Adri Harmoko serta Sumargono.
Dari tiga warga yang menjadi terdakwa tersebut, satu diantaranya adalah warga yaitu Sumargono yang tanah dan rumahnya ikut tergusur akibat proyek pembebasan lahan untuk umum oleh Pemkot Surabaya yang dikenal dengan Proyek MERR namun oleh Jaksa didakwa sebagai kordinator dan berperan “turut menentukan” nilai ganti rugi tanah.
Para terdakwa inipun dibagi dalam dua Jilid. Jilid I semuanya ditingkat Satgas yakni, Euis Darliana selaku PPKm juga menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (divonis 1,2 thn penjara pasal 3 UU Korupsi tuntutan JPU 2 thn vonis terima), Djoko Waluyo selaku Ketua Pembebasan (divonis 8 di PT jadi 10 thn, uang Pengganti Rp 4,5 M selain pasal 3 UU Korupsi juga UU TPPU, tuntutan JPU 12 thn saat ini dalam tingkat Kasasi), Olli Faisol selaku Kodinator Satgas (divonis 5,6 thn uang pengganti 500 jt rupiah, pasal 3 UU Korupsi dan UU TPPU, tuntutan JPU 8 thn vonis terima). Ketiganya (masing-masing perkara terpisah) divonis pada 30 Maret 2015 oleh Ketua Majelis Hakim Martua Rambe.
Dalam Jilid II, Satu ditingkat Satgas yakni Eka Martono menggantikan jabatan Ana sebagAi PKKm sekaligus KPA (divonis 1 thn penjara pasal 3 UU Korupsi, tuntutan JPU 1,6 vonis terima) dan Abdul Fatah (divonis 1 thn penjara uang pengganti 38 jt, pasal 3 UU Korupsi, tuntutan JPU 1,6 vonis terima). Keduanya divonis pada 11 November 2015 oleh Ketua Majelis Hakim Jalili.
Pada Senin, 16 November 2015, dalam sidang yang berlangsung di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Jalan Raya juanda, dengan agenda pembacaan surat putusan oleh Ketua Majelis Martua Rambe dengan terdakwa, Adri Harmoko dan Sumargono (keduanya warga dalam perkara terpisah). Adri divonis pidana penjara selama 1 tahun uang pengganti 120 juta rupiah. Sementara Sumargono divonis 1,8 tahun uang pengganti 140.186.940 rupiah.
Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim menyatakan bahwa, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana Korupsi bersama-sama dan berkelanjutan sebagaiman diatur dan diancam dalam pasal 3 jo pasal 18 UU Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 56 KUHP.
Menjatuhkan pidana penjara selama Satu tahun dan Delapan bulan denda Limapuluh juta rupiah subsidair 3 bulan kurangan. Menjatuhkan pidana tambahan berupa memabayar uang pengganti sebesar 140.186.940 rupiah. Atas putusan tersebut, JPU maupun terdakwa pikir-pikir dan kemudian terdakwa mengatakan akan banding. Hal itu disampaikan Sumargono usai keluar dari ruang sidang.
Sumargono adalah salah satu dari puluhan warga Gunung Anyar yang ikut tanah dan rumahnya tergusur
Terdakwa Sumargono adalah salah satu dari puluhan warga Gunung Anyar yang ikut tanah dan rumahnya tergusur, kemudian memprotes panitia karena nilai ganti rugi yang ditawarkan 1.750.000 rupiah oleh panitia pada tanggal 10 Agustus 2011 dikantor Kelurahan jauh dari permintaan warga yakni 3 juta permeter sehingga belum mencapai kesepakan. Selain itu, Panitia juga tidak pernah menyampaikan nilai ganti rugi dari Appraisal atau Lembaga Tim penilai berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI No 3/2007 dan Perpres No 65/2006 tentang pembebasan lahan untuk umum.
Kemudian, terdakwa Sumargono dan puluhan warga lainnya memprotes panitia dengan cara mendatangi Djoko Waluyo selaku Ketua Pembebasan di kantor Dinas PU Pemkot Surabaya untuk meminta nilai ganti rugi ditambah dan dilakukan pengukuran ulang khususnya pada bangunan. Kebetulan Djoko Waluyo adalah pelanggan lama Terdakwa Sumargono yang bekerja di Perusahaan air minum miniral. Protes yang dilakukan terdakwa dan puluhan warga lainnya kemudian dikaulkan Djoko Waluyo dengan syarat warga harus ikut aturan yang ditentukan oleh Djoko. Setelah satu tahun menunggu, panitiapun mengabulkan penambahan nilai ganti rugi.
Hal itu disampaikan terdakwa kepada Wartawan media ini usai persidangan. Bahkan terdakwa menunjukkan bukti-bukti berupa dokumen hasil pertemuan Panitia dengan warga pada 10 Agustus 2011 di Kantor Kelurahan.
“Pertemuan tanggal 10 Agustus 2011 dijadikan sebagai Keputusan P2T atas ganti rugi 1.750.000 rupiah. Pada hal, hasil pertemuan tersebut belum ada kesepakatan. Saya dan juga warga lain protes. Saya minta nilai ganti rugi tanah dan rumah saya 450 juta. Kemudian oleh Djoko dikabulkan. Apakah itu salah ? Dokumen pembayaran ganti rugi ditandatangani semua panitia,” ungkap Sumargono sambil menunjukkan dokumen yang sempat dilarang Jaksa agar terdakwa tidak menunjukkannya pada wartawan.
Terdakwapun melanjutkan, “kalau saya dianggap korupsi, bagaimana dengan warga lainnya ? Ada warga yang menerima kelebihan ganti rugi hampir 1 milliar. Pembuatan buku rekening di Bank Mandiri tanpa setahu saya. Bahkan nama orang tua saya dipalsu oleh Triana,” ungka terdakwa kemudian. Terdakwapun memprotes adanya ketimpangan dalam penagan kasus yang meyeretnya. Yakni P2T yang tidak terseret, padahal, P2T menerima honor berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI No 3/2007 dan Perpres No 65/2006 tentang pembebasan lahan untuk umum juga menandatangani dokumen tersebut.
Pada hal menurut terdakwa, berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomer 3 tahun 2007 tentang pelaksanaan pembebasan tanah untuk umum, dan Perpres Nomor 36 tahun 2005 yang dirubah dengan Prerpres Nomor 65 tahun 2006, adalah tanggunggungjawa P2T.
“dakwaan maupun surat Tuntutan Jaksa, apa lagi Putusan Majelis Hakim Tipikor yang dibacakan dalam persidangan, tidak menyebutkan tentang tanggungjawab P2T yang mendapat upah selaku Panitia. Sebab, Peraturan Kepala BPN RI dan Peraturan Presiden tidak menjadi pertimbangan, sekalipun pembentukan P2T berdasarkan 2 peraturan tersebut,” ujar terdakwa
Apa yang disampaikan terdakwa Sumargono tidak jauh beda dalam fakta persidangan sebelumnya.
Keterangan saksi-saksi dari P2T maupun kerangan terdakwa Djoko dan Olli dihadapan Majelis Hakim menyatakan bahwa, yang melakukan sosialisasi hingga pembayaran ganti rugi ke masyarakat adalah adalah satgas. Tidak hanya itu. Dalam fakta persidangan jilid I Djoko Waluyo setelah menerima SK dari Ketua P2T dan surat perintah dari Kepala Dinas PU, kemudian terdakwa melakukan sosalisai, ferifikasi, inventarisasi dan menentukan nilai ganti rugi, hingga pembayaran kepada warga.
Menurut Djoko, Olli dan saksi Anton Susilo pegawai Dinas Cita Karya merubah data volume bangunan dan jumlah nilai ganti rugi sebanyak 48 KK (kepala keluarga) atas perintah terdakwa Djoko. Selain itu, Olli juga mendapat perintah untuk membawa catatan berupa nama dan Buku rekening sejumlah warga untuk kemudian diserahkan kepada saksi Triana Wahyuningsih, Kepala Cabang Bank Mandiri Cabang Pakuwon City. Selanjutnya, Triana melakukan transfer sejumlah uang kerekening warga dan kerekening Djoko sesuai catatan yang diterima dari Olli.
Kemudian mantan terpidana Euis Darliana, selaku PPKm/KPA/Kepala Bidang Perancangan dan pemanfaatan, tidak melakukan ferifikasi ulang atas data yang disebut Nota Dinas berupa hasil pengukuran ulang terhadap luas bangunan milik warga yang dilakukan anggota Satgas, dengan data awal dari dinas terkait. Dan faktanya dipersidangan, Nota Dinas hingga dokumen pencairan nyatanya ditandatangani oleh seluruh P2T yang kemudian jabatan Euis Darliana digantikan Eka Martono.
Anehnya, keterangan terdakwa Djoko Waluyo di persidangan dihadapan Majelis Hakim dalam perkara jilid II dengan terdakwa Eka Martono (PPkm), telah mencabut ucapannya terkait aliran dana yang diterima Triana dan keterlibatan Anton Susilo dipenyidik. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :