![]() |
Ke Lima terdakwa saat menjalani sidang tunda |
Bagaimana tidak, dua minggu lamanya waktu yang dibutuhkan JPU membuat Replik, tapi isinya sama dengan surat tuntutan yang dibacakan pada persidangan sebelumnya.
Pada sidang terakhir yang dilaksanakan Kamis 25 Juni 2015, di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) agenda sidang yaitu jawaban (Replik) JPU atas pembelaan (Pledoi) Penasehat Hukum (PH) para terdakwa yang dibacakan pada persidangan, 11 Juni 2015. Sebelum digelar sidang di kemarin, seminggu sebelumnya, Kamis, 18 Juni 2015, JPU meminta penundaan kepada Majelis Hakim yang diketuai Sri Herawati. Ketika itu alasan JPU mengaku belum siap (belum selesai) menyusun Replik.
Menggelikannya selama waktu dua minggu, dikerjakan Replik kemudian dibacakan di muka persidangan ternyata sama dengan surat tuntutannya. Bedanya hanya sedikit yaitu menolak Pledoi PH para terdakwa, dan anehnya, tanpa ada penjelasan.
Dalam persidangan sebelumnya (Kamis, 21 April 2015) dengan agenda pembacaan surat tuntutan, JPU meminta kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada terdakwa, Bambang Mulyono, Pimpinan CV Usaha Mandiri, selama 3,6 tahun denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan. Dan hukuman tambahan berupa, membayar uang pengganti sebesar Rp 672.998.0000 dikurangi 300 juta rupiah ditanggung renteng, subsidair 1,6 tahun penjara.
Sementara untuk terdakwa Nasuchi Ali selaku PPTK, JPU menuntutnya lebih ringan satu tahun dari terdakwa Bambang Mulyono yakni 2,6 tahun penjara. Sedangkan untuk tiga terdakwa lainnya selaku PPHB yakni, Harjani, Amin Wahjoe Bagiyo dan Anggoro Dianto, dituntut masing-masing 2,3 Tahun. Sementara untuk denda dan uang pengembalian kerugian negara sama-sama ditanggung renteng.
Dalam fakta persidangan, JPU dalam surat dakwaan maupun surat tuntutannya yang menyeret ke Lima terdakwa untuk diadili di Pengadilan Tipikor karena dianggap telah merugikan keuangan negara dengan cara melaksanakan suatu kegiatan “fiktif” pelatihan Otomotif pada pertengahan 2013 lalu.
Pelaksanaan kegiatan “fiktif”dianggap merugikan negara senilai Rp 672 juta lebih dari total anggaran Rp 882 juta, yang bersumber dari APBD Surabaya Tahun Anggaran (TA) 2013. Dalam dakwaan Jaksa, “fiktif” yang dimaksud, bahwa 119 orang dari 280 peserta pelatihan otomotif yang dilaksanakan CV Usaha Mandiri selaku pelaksana kegiatan, mengikuti tetapi tidak penuh selama 20 hari. Sementara yang 261 orang lainnya mengikuti penuh. Anehnya, Jaksa tidak menjelaskan secara rinci dalam dakwaan maupun tuntutan, terkait perserta 119 orang yang dimaksud. Berapa hari mengikuti, berapa hari tidak mengikuti dan mengapa tidak mengikuti ?.
Padahal, pengertian “fiktif” yang sebenarnya adalah, tidak ada tetapi dibuat menjadi ada. Sementara pengertian “fiktif” oleh BPKP yang melakukan penghitungan sekaligus sebagai saksi Ahli yang dihadirkan JPU dalam persidangan, bahwa data dalam dokumen berupa KTP, KSK dan Ijazah tidak sama dengan pesertanya. Artinya bahwa kegiatan tersebut memang ada bukan fiktif.
Mengapa JPU tidak menghadirkan 119 orang peserta agar kasus Korupsi ini jelas ?
Tidak hanya itu. Mengapa JPU tidak menghadirkan 119 orang peserta yang dikatakan mengikuti kegiatan pelatihan otomotif tetapi tidak penuh di dalam persidangan untuk diminta keterangannya? Apakah 13 orang saksi yang dihadirkan JPU dalam persidangan dapat mewakili 106 orang lainnya ? Mengapa JPU tidak mengungkap siapa yang menyuruh/memperbolehkan para peserta untuk “memalsu” dengan cara meminjam dokumen berupa KTP, KSK dan Ijazah?
Padahal, dalam dokumen peserta sudah dinyatakan lulus seleksi oleh tim seleksi Disnaker. Namun yang menarik dalam kasus ini adalah, munculnya rincian anggaran biaya (RAB) dalam dakwaan JPU atas kegiatan tersebut diatas yang diduga fiktif.
Dimana sejak awal proses lelang dilaksanakan secara terbuka oleh panitia Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemkot Surabaya, tidak ada RAB. Hal itu karena anggaran kegiatan yang digunakan Disnaker adalah, menggunakan jenis kontrak Lumpsum (global) dengan standar satuan harga (SSH) berdasarkan SK Wali Kota Surabaya No. 188.45/348/436/.1.2/2012, tanggal 1 Nopember 2012 tentang standar satuan harga belanja Daerah Kota Surabaya TA 2013, untuk seluruh SKPD yang besarnya Rp 4.237.500 per orang.
Yang menarik dalam kasus ini adalah, munculnya RAB dalam dakwaan JPU yang semula tidak ada
Dalam kegiatan ini, Disnaker memperuntukkan untuk 280 orang peserta pelatihan bagi warga Surabaya dengan lama kegiatan 20 hari. Sehingga anggaran yang tecantum dalam HPS (harga perkiraan sendiri) sebesar Rp 1.186.500.000 rupiah atau (Rp4.237.500 X 280 orang= 1.186.500.000).
Sementara dalam penawaran CV Usaha Mandiri sebesar Rp 882 juta rupiah atau (Rp 882.000.000 : 280 orang peseta = Rp 3.150.000 rupiah). Sehingga sisa anggaran dalam kas negara (APBD Surabaya) sebsar RpRp Rp304.500.000 rupiah atau (Rp 1.186.500 – Rp 882.000.000 ).
Pada Desember tahun lalu, penyidik Kejaksaan Tanjung Perak, Surabaya dibawah Komando Kasi Pidsus, Gatot Haryono (saat ini menjabat Kasi Pidum Kejari Mojokerto) “menerima” laporan tentang adanya kegiatan “fiktif” yang artinya, “tidak ada kegiatan namun dibuat menjadi ada” dalam kegiatan pelatihan otomotif yang diikuti sebanyak 280 orang peserta.
Menurut Jaksa dalam dakwaannya, 161 orang mengikuti pelatihan penuh selama 20 hari, dan 119 orang peserta lainnya mengikuti tetapi tidak penuh. Kemudian pada Desember 2014, Kasi Pidsus Kejari Tanjung Perak memanggil Pimpinan CV Usaha Mandiri, Bambang Mulyono, selaku pelaksana.
Saat itulah, Bambang Mulyono “mendapat tekanan” untuk membuat rincian anggaran biaya standar satuan harga (SSH) tahun 2012 atas nama CV Ilaham Zidan Jaya untuk dicontoh oleh CV Usaha Mandiri.
Juga “diberikan” sebuah dokumen LPJ proyek Swakelola. Dalam persidangan, JPU tidak dapat membuktikan dakwaannya untuk menghadirkan 119 orang peserta yang dimaksud, kecuali hanya 13 orang. Ke 13 orang tersebut tidak semuanya peserta. Karena ada yang hanya meminjamkan dokumen berupa foto copy KTP, Ijazah dan KSK kesaudaranya masing-masing.
Menurut JPU, ke 13 orang tersebut dapat mewakili 106 orang lainnya. Pada hal, dalam dokumen pelaksanaan, daftar hadir dalam absensi sama dengan nama peserta dan sama pula dengan Sertifikat yang dikeluarkan oleh pelaksana (CV Usaha Mandiri) dan diperkuat dengan keterangan para saksi dipersidangan.
Tidak hanya itu, dalam dokumen lelang, pesrta sudah dinyatakan lulus seleksi oleh Tim seleksi Disnaker. Belum lagi JPU yang tidak bisa menghadirkan juga tidak membacakan keterangan saksi Ahli Pidana yang dalam BAP sudah disumpah.
Pada hal, Ketua Majelis Hakim, Sri Herawati, sudah memberika waktu 2 minggu kepada JPU. JPU Kejari Tanjung Perak hanya mengadirkan saksi dari BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Timur selaku Tim audit, namun tidak melakukan audit investigasi.
Keterangan BPKP dalam persidangan, hanya melukukan konfirmasi kepada CV Usaha Mandiri yang didampingi Penyidik termasuk Kasi Pidsus. BPKP mengakui, menerima data RAB dan penghitungan kerugian negara dari Penyidik Kejaksaan. Namun dijelaskan dihadapan Majelis Hakim, tidak menggunakannya. Menurut BPKP, ditemukan adanya kerugian negara sebesar Rp 672 juta. Pada hal, BPK RI telah melakukan audit investiasi pada tahun 2012 yang menyebutkan, hasil klir tidak ada temuan.
Sebelum ada hasil audit BPKP, penyidik telah melakukan penghitungan/audit sebesar Rp 300 juta. Dan hasil audit BPKP Provinsi Jatim ini pun, saat ini masih dalam proses perkara di PTUN, Surabaya yang digugat oleh terdakwa. Terdakwa menjelaskan, “Tanggal 2 Januari 2014, dimunculkan rincian biaya pelatihan otomotif, SSH (standar satuan harga ) milik CV Ilham Zidan Jaya oleh Kasi Pidsus, Gatot Haryono,SH, memaksa dan menekan Siswo Adi (mantan PPK), kemudian diteruskan ke Kasubag Keuangan Disnaker Surabaya.
Syamsul Hadi, supaya CV Usaha Mandiri mencontoh seperti milik CV Ilham Zidan Jaya. Kop Suratnya disuruh mengganti kop CV Usaha Mandiri. Dan apa yang perlu dikurangi hingga mencapai harga total Rp 63 juta dengan harga satuan Rp3.150 000, yang seolah-olah rincian biaya pelatihan otomotif tersebut, atas nama CV Usaha Mandiri,” ungkap Bambang Mulyono.
Menurut terdakwa, bahwa pelaksanaaan pekerjaan dimulai tanggal 18 Maret s/d 27 Juli 2013. “Karena paksaan dan tekanan Kasi Pidsus, Gatot Haryono, Siswo Adi (PPK) datang ke Banyu Urip No 35, RAB sudah ada hasil dari mencontoh milik CV Ilham Zidan Jaya dengan kop CV Usaha Mandiria. Bukan saya yang membuat. Karena dengan janji akan diselesaikan dan tidak disidangkan, sesuai apa yang dikatakan Kasi Pidsus, Gatot Haryono saat itu.
Karena paksaan dan tekanan, akhirnya saya tanda tangani RAB itu,” ungkap terdakwa “Rincian biaya pelatihan otomotif dimasukkan dalam BAP saya yaitu, halaman 3, 15, 26, 27 dan dijadikan dasar penghitungan kerugian keuangan negara oleh penyidik dan BPKP. Ini tidak tepat, tidak sesuai dasar hukum data lelang paket pekerjaan pelatihan otomotif tahun 2013. Di ULP, yang menetapkan jenis kontrak Lumpsum tidak ada RAB. Saya merasa dikriminalisasi penyidik,” lanjutnya.
Terdakwapun mengutip keterangan pakar hukum Pidana dalam fakta persidangan, Dr. Krisnadi Nasution, (Kamis, 19 maret 2015 ) menjelaskan bahwa itu adalah, Pelanggaran “kode etik” dan “pidana”. “Apabila seorang penegak hukum memaksa seseorang/tersangka untuk membuat keterangan palsu dan dimasukkan dalam dokumen negara, maka itu adalah pidana,” ucap terdakwa.
Pada saat penyelidikan, terdakwa mengatakan, ditekan dan disuruh untuk menyediakan uang sebesar 300 juta
Lebih lanjut terdakwa menjelaskan mengenai uang sebesar Rp300 juta yang dikatakan Jaksa sebagai “titipan” dan kemudian dijadikan sebagai barang bukti dalam dakwaan (tidak pernah ditunjukkan dalam persidangan).
Menurut terdakwa, bahwa dirinya pada saat penyelidikan ditekan dan disuruh untuk menyediakan uang sebesar 300 juta sebagai pengganti kerugian negara dan kasusnya akan dibantu untuk diselesaikan. Kalau tidak, akan ditahan.
“Saya ditekan dan disuruh menyedian uang sebesar 300 juta sebagai pengganti kerudian negara dan dijaniikan akan dibantu. Kalau tidak, saya akan ditahan. Saat itu Jaksa mengatakan ada 100 orang peserta mengikuti tetapi tidak penuh. Bisa jadi uang 300 juta bila dikalikan 100 orang. Terus tanggal 6 Januari 2014, saya bawa uang tunai 300 juta ke Kejari. Tapi Sama Gatot dan Haryo, saya diantar ke BRI Jalan Pahlawan untuk mentransfer uang tersebut ke Rek. BRI Nomor : 0211-01-000633-30-7 atas nama Kejaksaan Negeri Tanjung Perak notepad
Yang menyerahkan uang itu ke pegawai Bank, Gatot dan mengisi slip transfer Haryo, saya disuruh tandatagan. Sepulang dari Bank, saya ditetapkan sebagai tersangka dengan menyita barang bukti berupa bukti transfer sebagai uang titipan. Pada hal, uang itu bukan titipan tapi karena saya ditekan.
Terpaksa saya menjual apa aja yang ada supaya bisa mencukupi sementara uang dari hasil penjualan rumah warisan orang tua, dan uang hasil penjualan 1 (satu) unit mobil dan 60 unit komputer, untuk memenuhi permintaan Kasi Pidsus Kejari Tanjung Perak sebesar Rp 300 juta. Dan Saya serahkan pada tanggal 6 Januari 2014 sebelum Saya ditetapkan tersangka. Ini benar-benar uang pribadi Saya,” ungkap terdakwa.
Terdakwa melanjutkan, pada saat pemeriksaan tersangka pada 8 Januari 2014, dirinya tidak didampingi Penasehat Hukum. Pada hal, penyidik telah menunjuk Yuliana Cs sebagai PH tersangka. Selain tersangka tidak didampingi juga tidak boleh berkonsultasi. Keberadaan PH terdakwa hanya pada penandatanganan BAP.
“Saya tidak pernah disarankan untuk menentukan pengacara sendiri, saya hanya dimita mengikuti. Jaksa sudah menyidakan pengacara (Yuliana Cs.red) tetapi tidak mendampingi saya. Saya juga tidak diperbolehkan untuk konsulatasi. Pencagacara datang saat menandatangani BAP,” beber terdakwa kemudian. Hal ini menimbulakan pertanyaan.
Apakah terdakwa pernah mengajukan kepenyidik untuk mendapatakan pendampingan dari Advokat secara cuma-cuma (Proideo) ? Lalu dari mana anggaran yang dikeluarkan penyidik untuk membayar pengacara ?. Pada hal, banyak kasus pidana dengan ancaman hukuman penjara diatas 4 tahun Khususnya kasus Psikotropika (UU No 35/2009) yang ditangani Kejari Tanjung Perak, Jaksa “tidak” menyediakan pengacara untuk mendampingi dipersidangan. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :