![]() |
Ke-4 Terdakwa menyimak tuntutan JPU |
Sebab, surat dakwaan maupun surat tuntutan JPU tidak sesuai fakta persidangan berdasarkan keterangan dari puluhan saksi yang ada dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang dihadirkan dihadapan Majelis Hakim.
Namun anehnya, tuntutan JPU kepada keempat terdakwa sangat mengherankan. Pasalnya, keempat terdakwa dijatuhui tuntutan pidana penjara masing-masing 13 tahun dan 3 bulan. Dengan rincian, pidana pokok berupa penjara badan selama 8 tahun dan 6 bulan, denda masing-masing sebesar Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Tidak hanya itu. JPU juga menuntut pidana tambahan berupa membayar uang pengganti untuk terdakwa Amru (sekretaris) sebesar Rp 2,4 miliar, untuk terdakwa Gatot Sugeng Widodo (Bendahara) Rp 2 miliar dan terdakwa Indroyono (rekanan) Rp 713 juta lebih. Bila tidak dibayar, hartanya disita. Bila tidak mencukupi, ketiganya dipidana penjara selama 4,3 tahun. Sementara si “calo” rekanan dengan imbalan 300 ribu rupiah yakni Ahmad Khusaini, hanya dituntut pidana pokok dan denda tanpa uang pengganti. Seharusnya, JPU pun harus menuntut pidana tambahan berupa uang pengganti kepada si “calo” dengan jumlah uang yang diterimanya dari Samudji Hendrik Susilo Bali (Hendri juga tersangka namum dalam perlindungan LPSK) selaku pejabat pengadaan yang melaporkan kasus ini ke Polda Jatim.
Menurut JPU Endriyanto dan Agung Pribadi dari Kejaksaan Timggi, bahwa keempat terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan berkelanjutan seperti yang diatur dan diancam dalam pasal 3 Jo pasal 18 UU Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP. Surat tuntutan itu dibacakan dihadapan Majelis Hakim yang diketua Hakim Tahsin, pada Senin, 22 Pebruari 2016. Dugaan rekayasa dalam kasus ini berdasarkan fakta persidangan. Sebab, pelaksaan Pilgub Jatim pada 29 Agustus 2013. Bawaslu Provinsi Jatim sejak Januari telah melakukan kegiatan sekalipun anggaran dana hibah belum turun sementara penandatanganan NPHD Januari, pencairan Maret 2013. Kemudian, Bawaslu sudah harus mempersiapkan kegiatan untuk enam bulan kemudian yakni April dan Juli 2014 dalam pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden.
Penggunaan Dua Pos Anggaran (APBD untuk Pilgub dan APBN untuk Pilpres) Belum Diaudit BPK
Sehingga, Bawaslu belum selesai membuat laporan pertanggungjawaban atas pengunaan anggaran dana hibah APBD (Pilgub)/APBN (Legislatif dan Pilpres). Bahkan penggunaan di dua pos anggaran tersebut belum diaudit Badan Pengawas Keuangan (BPK) RI. Namun pada Oktober 2013, dugaan penyimpangan dana hibah APBD sudah dilaporkan ke Polda Jatim.
Anehnya, belum ada rapat pleno terkait penggunaan anggaran oleh Bawaslu, Ketua Bawaslu sudang mengirimkan laparan realisasi penggunaan dana hibah Pilgub tanpa dilampiri rinciannya kepada Pemrov Jatim. Tidak hanya itu. Pada 26 Oktober 2013, Terdakwa Amru mengirim surat permintaan investigasi penggunaan anggaran dana hibah kepada Polda Jatim. Jauh sebelumnya, terdakwa Amru mengirim surat ke BPKP Perwakilan Jatim. Anehnya, Tim audit BPKP yang menghitung kerugian negara berdasarkan permintaan Penyidik tidak mengetahuinya (fakta persidangan). Tetapi Tim audit BPKP Perwakilan Jatim mengklarifikasi kembali kepada terdakwa saat para terdakwa sudah ditahan oleh penyidik. Namun, semua dokumen termasuk komputer sudah disita oleh penyidik.
Dalam persidangan (14 Desemebar 2015) yang menghadirkan saksi kunci yakni, Samudji Hendrik Susilo Bali (Hendrik) selaku Pejaabat Pengadaan Bawaslu sekaligus sebagai pelapor ke Polda Jatim menjelaskan dihadapan Majelis Hakim, bahwa yang membuat dokumen pengadaan spanduk adalah terdakwa Amru selaku PPKm dan Sapto Sauprihatnadi. Tetapi keterangan Hendrik bertolak bakang dengan keterangan Sapto maupun Ahmad Khusaini. Sapto, juga boleh dikatakan salah satu saksi kunci. Karena Sapto adalah bawahan langsung dari Hendrik.
Pada persidangan selanjutnya, (Senin, 21 Desember 2015), tiga yaitu, Sapto Sauprihatnadi (Staf kontrak Bawaslu), Rizky (Staf kontrak Bawaslu) dan Heru (pegawai percetakan). Dihadapan Majelis Hakim, saksi Sapto mengungkapkan bahwa dirinyalah yang mengerjakan (mengetik) dokumen pengadaan spanduk pengawasan Bawaslu menjelang Pilgub 2013 lalu atas perintah Hendrik dan Pasaru Palembangan selaku Koordinator Keuangan.
Sementara keterangan saksi Rizky, terkait uang perjalan dinas fiktif/THR dan pembuatan laporan sehubungan perjalan dinas dimaksud, menjelaskan bahwa dirinya diperintah Pasaru Palembangan dan ditandangani Catur.
Selanjutnya pada Senin, 4 Januari 2016, JPU kembali mengahdirkan 13 saksi selaku bendahara Panwaslu di Kabupaten/Kota diantaranya, Reni (Panwaslu Kediri), Zaenal (Panwaslu Bilitar), Hendra Jatmiko (Panwaslu) Blitar, Novi (Panwaslu Jombang), Haris (Panwaslu Magetan), Riama (Panwaslu Situbondo), Ernawati (Panwaslu Lumajang), Lilik Winarni (Panwaslu Madiun), Yeni Safitri Yanti (Panwaslu Pamekasan), M.Amin (Panwaslu Sumenep), M.Qomaruddin (Panwaslu Probolinggo), Gatot Edy (Panwaslu Probolinggo) dan dari Panwaslu Banyuwangi. Dihadapan Majelis Hakim yang diketua Hakim Tahsin, saksi mengatakan bahwa keterangan yang ada di BAP diarahkan penyidik.
Dalam BAP, saksi Lili menjelaskan, yang mendatangani undangan dan dokumen kontrak pengadaan adalah terdakwa Amru. Pada hal, saksi ini bukan Staf Bawaslu Provinsi melainkan bendahara Panwaslu Madiun. Bahkan saat itu saksi Lili, mengatakan bahwa keterangan saksi lainnyapun akan sama seprti dirinya. Sementara keterangan saksi Haris dalam BAP yang mengatakan bahwa, dokumen tidak sesuai dengan kontrak, menurutnya karena pertanyaan penyidik. Seharusnya para saksi inipun “dapat dilaporkan atas keterangan palsu dalam persidangan”.
Kemudian, pada Senin, 11 Januari 2016, JPU kembali mengahdirkan 11 saksi yaitu, Dr.Sufyanto, S.ag, MSi, Sri Sugeng Pujiatmiko, Andreas pardede, Catur, Agus, Darmini, Desi, Ajeng, Bagus, Kohar dan Yuswanto.
Dalam persidangan saat itu, dihadapan Majelis Hakim, Catur menyampaikan hendak mencabut keterangannya dalam BAP mengenai dana THR (Tunjangan Hari Raya). Sebab menurutnya, itu adalah dana perjalanan dinas. Atas pertanyaan Majelis Hakim, Catur pun menjelaskan, bahwa dirinya diarahkan oleh penyidik terkait keterangannya dalam BAP tentang THR dan membuat data atas suruhan penyidik.
Dana hibah Pigub Jatim Yang Digunakan Bawaslu Bersumber Dari APBD Dan semua Perubahan Sesuai Dengan Prosedur
Menurut Catur, dirinyapun diminta oleh penyidik membuat nilai nominalnya termasuk dimita mengembalikan dana perjalanan dinas yang berubah menjadi uang “THR”. Sebelumnya, pada 7 Desember 2015, Pejabat Pemrov mantan Kepala Biro Pemerintahan (saat ini menjabat staf ahli Gubernur) yakni, Suprayitno dihadirkan sebagai saksi oleh JPU. Dalam persidangan, Suprayitno yang pada saat Pilgub 2013, menjabat selaku Kabiro pemerintahan menjelaskan, bahwa dirinya mengetahui langsung tentang dana hibah yang dikucurkan Pemprov Jatim untuk operasional Bawaslu dalam pelaksanaan Pilgub menjelaskan bahwa, dana hibah yang diterima Bawaslu adalah dari APBD dan semua perubahan yang diajukan Bawaslu sesuai dengan prosedur.
Suprayitno juga menjelaskan, dana itu bersumber dari APBD dengan payung hukum Perda (Peraturan Daerah) dan Pergub (Peraturan Gubernur) untuk dipergunakan sebagai honor, perjalanan dinas dan pengadaan. Ada usulan perubahan dari Bawaslu seperti penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dari Premium ke pertamax.
Semua usulan sesuai dengan proposal (prosedur). Namun dirinya mengakui tidak melakukan monitoring dan pengawasan karena sesuai profosal. laporan pertanggungjawaban (LPJ) sesuai aturannya, tiga bulan sesudah Pilgub atau Januari 2015. Pada tanggal 15 Januari Dia (Suprayitno) sudah pindah.
Namun pada, Jumat, 12 Pabruari 2016, dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi (terdakwa) untuk masing terdakwa. Dalam persidangan, Ahmad Khusaini, mengatakan, bahwa yang meminjam profil CV adalah dirinya atas perintah Samudji Hendrik Susilo Bali dan Pasaru Palembangan dengan imbalan uang sebesar 300 ribu rupiah.
Anehnya, agenda pokok dalam persidangan yang berlangsungpun malam itu (Jumat, 12 Pebruari 2016), terfokus pada pembayaran kontrak pengadaan sebesar 669 juta lebih. Tidak lagi seperti dalam surat dakwaan yakni, adanya kegiatan perjalan fiktif, kontrak fiktif dan pemberian uang THR yang tidak berdasar. Namun ada yang menjadi “teka teki” dalam keterangan saksi/terdakwa Khusaini dan Gatot, selaku Bendahara, tentang pelunasan sebesar Rp 669.810.000. Pembayaran atau pelunasan sebesar Rp 669.810.000 itu, fakta persidangan, sesuai kontrak yang ada atas nama CV Singgasana Putih dan CV Jatayu Era Global adalah, CV yang dipinjam Khusaini atas perintah Henrik dan Pasaru. Sementara nilai kontrak yang sah atas nama CV Canopus, adalah sebesar Rp.221.426.000 dibayarkan langsung oleh bendahara. namun “nasi sudah jadi bubur”, tandatangan Amru, dalam dokumen yang menjadi “biang kerok” dalam kasus ini memang ada.
Keterangan Khusaini dan Gatot dalam persidangan bahwa uang sejumlah Rp 669.810.000 dimasukkan kedalam plastik kresek oleh Gatot kemudian diletakkan diatas meja kerjanya Amru setelah terdakwa Khusaini menandatangani kwitansi atas permintaan Amru. Mengapa terdakwa Gatot memasukkan uang tersebut kedalam palstik kresk, tidak kedalam amplop warna kuning lajimnya pembayaran resmi di kantor ? Mengapa terdakwa Khusaini menandatangani kwitansi pembayaran atas kontrak pembuatan spanduk sebesar Rp 669 juta lebih, sementara kehadiran terdakwa Khusaini di Bawaslu sekaligus yang meminjam profil CV tersebut adalah terdakwa sendiri atas perintah Hndrik dan Pasaru?
Yang sebelumnya sudah ada pembyaran yang dilakukan oleh terdakwa Gatot selaku Bendahara kepada terdakwa Khusaini sebesar Rp 49 juta, yang menurut terdakwa Khusaini, bahwa uang tersebut diberikan kepada Hendrik. Terdakwa Khusaini hanya menerima imbalan sebesar 300 ribu ruiah. Faktanya, keterangan terdakwa Khusaini sudah ada perubahan saat di penyidikan.
Akankah kasus koruspi Bawaslu “jilid II” akan terungkap lebih jelas, kalau 6 tersangka yang saat ini berkasnya masih “bolak balik melintasi” Polda ke Kejaksaan Tinggi ? (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :