0
#Layakkah seorang pejabat setingkat Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu dari Pemerintah?#
beritakorupsi.co – Senin, 15 Januari 2018, Sidang perkara kasus suap Bupati Nganjuk Taufiqurrahman oleh M. Bisri dan Harjanto yang terjaring dalam dalam OTT oleh KPK pada Sepetember tahun lalu, digelar dengan agenda pembacaan surat dakwaan oleh JPU KPK.

Dalam sidang perkara kasus suap OTT ini, JPU KPK meyeret 2 dari 5 tersangka untuk diadili oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, yakni M. Bisri Kepala Bagian (Kabag) Umum RSUD Nganjuk dan Harjanto selaku Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kab. Nganjuk. Sementara tiga tersangka lainnya termasuk Bupati Nganjuk Taufiqurrahman belum dilipmpahkan ke Pengadilan.

Dalam sidang perkara ini mengundang pertanyaan. Sebab salah satu tersangka yakni M. Bisri mengaku “melarat” alias tidak mampu untuk membayar pengacara mendapinginya selama proses persidangan, pada hal terdakwa bukan sebagai Ofice Boy (OB) atau pegawai rendahan. Sebelum menjabat sebagai Kabag Umum RSUD Nganjuk, terdakwa juga menduduki jabatan di Dinsa Pendidikan Kabupaten Nganjuk.

Anehnya, untuk menyogok Buapti senilai ratusan juta terkait pengangkatannya menjadi Kabag Umum RSUD Nganjuk, terdakwa bersedia merogoh koceknya senilai ratusan juta. Apakah uang itu hasil “curian” juga ? Sementara tersangka Harjanto, didampingi Penasehat Hukumnya Richardus Y.D Siko.

Atas surat keternagan “melarat” yang dimiliki terdakwa, Ketua Majelis Hakim Rochmat pun menunjuk saat itu juga Yuliana dari YLKI (Yayasan Legundi Keadilan Indonesia) sebagai Pengacara atau Penasehat Hukum terdakwa yang disdiakan oleh negara. Itulah hebatnya menjadi terdakwa Korupsi, ditangkap negara dalam hal ini KPK karena korupsi, tapi juga dibela negara dengan dnegan menyediakan Penasehat Hukum  melalui penunjukkan Majelis Hakim.

Dalam surat dakwaannya yang dibacakan dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Hakim Rochmat, dengan terdawa M. Bisri selaku Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk dan terdakwa Harjanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk dengan perkara terpisah.

Dalam surat dakwaan yang dibacakan JPU KPK Fitroh Rohcahyanto,  Ahmad Burhanudin, Hery BS Ratna Putra,  Arif Suhermanto, Joko Hermawan, Andhi Kurniawan dsn NN Gina Saraswati memberkan perbuatan terdakwa, diantaranya pada bulan Mei 2017 sampai dengan Oktober 2017, bertempat di Jalan Semeru Gang I RT 30 RW 01 Desa Tanjungrejo, Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk, di Hotel Luminor Surabaya di Jalan Jemursari Nomor 206 Kota Surabaya dan di RSUD Nganjuk Jalan Dr Soetomo 62 Kabupaten Nganjuk, melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sebagai perbuatan berlanjut, memberikan sesuatu berupa uang sebesar Rp 400 juta kepada Taufiqurrahman selaku Bupati Nganjuk periode 2013-2018, melalui Joni Tri Wahyudi dan Suwandi, yang bertentangan dengan jabatannya.

JPU KPK mengungkapkan, pemebrian uang itu berhubungan dengan promosi dan mutasi jabatan eselon III dan IV di lingkungan RSUD Nganjuk, yang bertentangan dengan kewajiban Taufiqurrahman selaku  Bupati Nganjuk, sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang RI Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah RI Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut.

Pada awal bulan Mei 2017, saat Bupati Nganjuk Taufiqurrahman memutasi terdakwa M. Bisri yang menjabat sebagai Kepala Bidang (Kabid) perencanaan Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk, menjadi Kepala Bagian (Kabag) Umum RSUD Nganjuk, sekaligus mau minta terdakwa untuk mengkoordinir para pegawai yang berkeinginan menduduki jabatan Eselon III dan IV, baik pada RSUD Nganjuk dan RSUD Kertosono, dengan syarat bersedia memberikan sejumlah uang sebagai imbalannya yang diistilahkan sebagai uang syukuran dimana terdakwah menyanggupinya.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, terdakwa M. Bisri mengkoordinir beberapa pegawai untuk dipromosikan maupun mutasi di RSUD Nganjuk dan RSUD Kertosono. Lalu terdakwa M. Bisri membuat daftar nama dan promosi jabatan yang diinginkan. Daftar nama tersebut kemudian diserahkan terdakwa kepada Taufiqurrahman sambil menyampaikan, bahwa para pegawai sanggup untuk memberikan uang syukuran.

“Daftar nama yang dibuat terdakwa M. Bisri untuk promosi jabatan maupun untuk mutasi adalah, diantaranya Hardi Jono, Waskito Rini, Sofianti Wahyu Setyaningsih, Sri Mumpuni, Yuliana, Anang Agus Susilo, Sri Nuryati, Agustin Rahmawati, Muhammad Yudi Arifin dan Lilik supriyadi,” ungkap JPU KPK Fitroh.

Kemudian pada tanggal 24 Mei 2017, lanjut JPU KPK, Bupati Nganjuk menerbitkan surat keputusan (SK) Nomor 82/86/411.404/2017 tentang pengangkatan dalam jabatan struktural yang mengangkat terdakwa dari jabatan Kepala Bidang Perencanaan Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk Eselon III/B menjadi Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk Eselon III/B, serta mengangkat para pegawai sebagaimana informasi yang diajukan terdakwa.

Setelah pengangkatan terdakwa sebagai Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk dan pengangkatan para pegawai dimaksud, maka untuk merealisasikan uang syukuran yang akan diberikan kepada Taufiqurrahman, terdakwa M. Bisri kemudian menyiapkan uang sebesar Rp 400 juta, yang terdiri dari  100 juta rupiah merupakan uang pribadi terdakwa dan Rp 300 juta uang yang dikumpulkan oleh terdakwa dari para pegawai yang telah berhasil dipromosikan dan dimutasikan. Uang tersebut diterima terdakwa secara bertahap baik secara langsung maupun melalui Tien Farida Yani.

Masih menurut JPU KPK dalam surat dakwaannya, sebagai kompensasi atas pelantikan diri terdakwa sebagai Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk dan para pegawai yang diusulkan oleh terdakwa, kemudian memberikan uang yang terkumpul itu kepada Taufiqurrahman melalui Joni Tri Wahyudi, Kepala SMP Negeri 3 Ngeronggot, yakni pada sekitar bulan Juli - Agustus 2017,  bertempat di rumah terdakwa di Jalan Semeru Gang I Rt 03 Rw 01 Desa Tanjungrejo, Kabupaten Loceret Kabupaten Nganjuk, diserahkan kepada Taufiqurrahman melalui Wahyudi sebesar Rp 200 juta. Kemudian oleh Joni Tri Wahyudi, diserahkan kepada Taufiqurrahman di Pendopo Kantor Bupati Nganjuk.

“Pada tanggal 12 Oktober 2017, bertempat di Hotel Luminor Surabaya di Jalan Jemursari Nomor 206 Kota Surabaya, diarahkan kepada Taufiqurrahman melalui Suwandi sebesar Rp 100 juta. Pada tanggal 15 Oktober 2017, bertempat di rumah terdakwa diserahkan kepada Taufiqurrahman melalui Swandi sebesar 50 juta. Dan pada tanggal 17 Oktober 2017 bertempat di RSUD Nganjuk diserahkan kepada kepada Taufiqurrahman senilai Rp 50 juta. Bahwa uang sebesar Rp 200 juta yang diterima Suwandi, kemudian diserahkan kepada Taufiqurrahman melalui Rosid Husein Hidayat selaku ajudan Bupati Nganjuk di sebuah rumah makan di Surabaya,” beber JPU KPK Fitroh dalam surat dakwaannya.

Pemberian uang sebesar Rp 400 juta kepada Taufiqurrahman selaku Bupati Nganjuk melalui Joni Tri Wahyudi dan Suandi, karena Taufiqurrahman telah mengangkat dirinya sebagai Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk, dan para pegawai lainnya sesuai usulan terdakwa atau pemberian itu berhubungan dengan promosi dan mutasi jabatan di lingkungan RSUD Nganjuk yang bertentangan dengan kewajiban Taufiqurrahman selaku Bupati Nganjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah RI Nomor 53 Tahun 2010.

Sementara Harjanto, memberikan uang sebesar Rp 500 juta terhadap Buapti Nganjuk, terkait pengankatannya sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk. Pemberian uang tersebut oleh terdakwa diberikan dalam beberapa tahap.

Pada sekitar bulan April 2017, terdakwa dihubungi Ibnu Hajar Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk yang merupakan orang kepercayaan Taufiqurrahman, agar menyiapkan uang sebesar Rp 100 juta untuk keperluan Taufiqurrahman yang sedang ada acara di Yogyakarta. Atas permintaan itu, terdakwa meminta Wisnu Anang Wibowo agar menyiapkan uang sebesar Rp 100 juta, tetapi yang sanggup disediakan Wisnu Anak Wibowo hanya sebesar Rp 80 juta. Setelah terdakwa menerima uang sebesar 80 juta itu, terdakwa kemudian menghubungi Ibnu Hajar dan menyampaikan bahwa uang sudah dapat diambil di rumahnya tetapi hanya Rp 80 juta. Ibnu Hajar Kemudian datang ke rumah terdakwa terletak di Desa Kwagean, Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk, lalu terdakwa menyerahkan uang sebesar 80 juta tersebut kepada Ibnu Hajar. Kemudian Ibnu Hajar menyerahkan uang tersebut kepada Taufiqurrahman yang masih berada di Yogyakarta.
 
“Perbuatan terdakwa M. Bisri sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi junto pasal 64 ayat 1 KUHAP,” ucap JPU KPK Fitroh.

Atas surat dakwaan JPU KPK, kedua terdakwa tidak keberatan, sehingga persidangan akan dilanjutkan Satu minggu yang akan datang demgan agenda pemeriksaan saksi dari JPU.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top