2

"4 Saksi di sidang Perkara Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan  Marthen Luter Dira Tome, mantan Kasubdin PLS Dispendikbud NTT tahun 2007 yang juga mantan Bupati Sabu Raijua menjelaskan, bahwa uang yang diterima penyelenggara  sebesar Rp2.9 juta kelompok termasuk untuk upah/gaji tanpa ada pemotongan sama sekali"


beritakorupsi.co - “Mencari keadilan itu tak mudah, ibarat mencari mutiara di dasar laut dengan penuh perjuangan menghadapi badai”. 

Kalimat di atas, terucap dari terpidana 7 tahun penjara Marthen Luter Dira Tome, mantan Kasubdin PLS (Pendidikan Luar Sekolah) Dispendikbud (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang juga mantan Bupati Sabu Raijua, Prov. NTT yang terjerat dalam kasus Korupsi dana Dekonsentrasi Dispendikbud program pemberantasan buta aksara yang menelan anggaran yang bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) sebesar Rp77.675.354.000, yang merugikan keuangan negara berdasarkan audit BPK RI senilai Rp4.292.378.200, yang saat ini mengajukan sidang Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan Tipikor Surabaya atas putusan Hakim Agung Mahkamah Agung RI yang menghukumnya dengan pidana penjara selama 7 tahun dan dijerat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi dengan membawa sebanyak 104 Novum (Bukti) baru.

Tak tanggung-tanggung memang, Marthen Luter Dira Tome bersama tim Penasehat Hukumnya mengusung sebanyak 104 Novum baru untuk diajukan sebagai bukti dalam sidang Peninjauan Kembali. Di mana bukti baru itu terdiri dari 4 orang saksi selaku penyelenggara kegiatan yang menerima pencairan anggaran kegiatan, dan 100 buktinberupa keterangan saksi lainnya yang juga selaku penyelenggara kegiatan yang tertuang dalam Akte Notaris.

Andai saja persidangan PK ini dapat dilaksanakan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Kupang, bisa jadi Marthen bersama tim Penasehat Hukumnya akan menghadirkan ratusan bahkan ribuan saksi selaku penyelenggara.

Dalam kasus ini, Marthen Luter Dira Tome divonis pidana penjara selama 3 tahun denda sebesar Rp100 juta subsidair 3 bulan kurangan serta membayar uang pengganti sebanyak Rp1.5 M subsidair 3 tahun penjara dijerat oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya pada tanggal 31 Juli 2017.

Vonis itu lebih ringan 9 tahun dari tahun tuntutan JPU KPK, dan denda sebesar Rp250 juta subsidair 6 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti sebanyak Rp3.735.000.000 subsidair 5 tahun penjara.

Sedangkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pengadilan Tinggi Jawa Timur menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Surabaya, tanpa membayar denda dan uang pengganti. Sedangkan Pasal yang dikenakan terhadap terpidana ini sama dengan Pasal pada tuntutan JPU KPK yaitu Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi.

Namun oleh Hakim Agung Mahkamah Agung RI yang diketuai Prof. Dr. Krisna Harahap, SH, HM dengan dibantu dua Hakim Agung masing-masing sebagai anggota yakni H. Syamsul Rakan Chaniago, SH, MH, dan Dr. Artidjo Alkostar, SH, LLM, menjerat  Marthen Luter Dira Tome dengan Pasal yang berdeda, yaitu Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana korupsi dengan hukuman pidana penjara selama 7 tahun denda sebesar Rp200 juta serta membayar uang pengganti senilai Rp1.5 miliyar.

Sejak awal Marthen Luter Dira Tome sudah mengatakan, jangankan di hukum 3 tahun, sehari saja akan melakukan upaya hukum untuk mencari keadilan di tanah Ibu Pertiwi. Sehingga Marthen Luter Dira Tome mengajukan PK dengan membawa sebanyak 104 Novum baru termasuk 4 orang saksi selaku penyelenggara kegiatan di Provonsi Nusa Tengara Timur.

Sedangkan keterangan saksi sebanyak 100 orang yang juga sebahagian dari 11.100   penyelnggara kegiatan, tertuang dalam bentuk  Akta Notaris. Novum baru sebanyak 104 itu diusung oleh Marthen Luter Dira Tome  bersama tim Penasehat Hukumnya, dari berbagai Kabupaten Kota di Prov. NTT, untuk ditunjukkan ke Hakim PK Mahkamah Agung RI melalui  Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya di muka persidangan yang menyidangkan sidang perkara PK dengan ketua Majelis Hakim Cokorda Gedearthana dengan dihadiri JPU KPK Dodi Sukmono, pada Rabu, 9 Mei 2019.

Ke- 4 saksi itu adalah Maxen Mau dari Kota Kupang, Oscar Toka dari Kabupaten Ngada, Alfred Labu dari Kabupaten TTU, dan Tibu Robing dari Kabupaten Sabu Raijua.

Para saksi ini belum pernah dihadirkan sebagai saksi dipersidangan oleh JPU KPK maupun pihak pemohon PK. JPU KPK hanya menghadirkan 52 orang saksi termasuk 16 penyelenggara dari 11.100 kelompok.

Sementara pemohon PK memohon kepada Majelis Hakim agar persidangan ini dapat dilangsungkan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Kupang, mengingat jumlah saksi yang akan dihadirkan sebanyak ratusan orang selaku penyelenggara kegiatan program pemberantasan buta aksara.

Alasan pemohon PK, karena tidak mempunyai cukup uang untuk menghadirkan ratusan orang dari NTT ke Pengadilan Tipikor Surabaya. Namun permohonan pemohon PK ditolak oleh Majelis Hakim dan mengatakan bahwa bukti sebanyak 104 itu sudah cukup untuk diajukan.

“Ini kan ada 104 bukti, ini saj sudah cukup,” ucap Ketua Majelis Hakim Cokorda.

Dalam persidangan, para saksi menjelaskan kepada Majelis Hakim atas pertanyaan Penasehat Hukum terpidana maupun JPU KPK, bahwa uang yang diterima penyelenggara untuk satu kelompok sebanyak 10 orang, adalah dua juta sembilan ratus ribu rupiah (Rp2.900.000) termasuk untuk upah/gaji penyelenggara selama 6 bulan dan tidak ada pemotongan.

“Kami menerima dua juta sembilan ratus ribu rupiah (Rp2.900.000) tidak ada potongan. Uang itu digunaka untuk Tutor satu juta dua ratus (Rp1.2 juta) selama 6 bulan, Untuk ATK dua ratus ribu (Rp200 ribu), Untuk evaluasi lima puluh ribu (Rp50 ribu) termasuk untuk sertifikat sebanyak 10 orang, Identifikasi lima puluh ribu (Rp50 ribu), upah/gaji untuk penyelenggara selama 6 bulan sembilan ratus ribu (Rp900 ribu), dan untuk dana belajar usaha warga selama 6 bulan lima ratus ribu (Rp500 ribu),” kata saksi menjelaskan.

Saat ditanaya terkait pemberian duit kepada Camat, Kepala Desa/Lurah, para saksi  menjelaskan bahwa tidak ada pemberian uang, yang ada adalah pembelian snack atau jajan dan minum (kopi), yang diambil dari sebahagian sebahagian upah saksi bila mereka (Camat, Kepala Desa/Lurah)  datang melakukan monitoring.

“Tidak ada potongan, itu kan uang kami sendiri, yang kami terima sebagai upah kami selama 6 bulan. Atas kesepakatan semua pelenggara (11.100) untuk menyediakan jajan dan kopi bila mereka melakukan monitoring. Kami terima dua juta sembilan ratus ribu untuk kegiatan selama enam bulan,” kata para saksi. Dan para saksi juga menjelaskan kepada Majelis Hakim, kalau kegiatan tersebut sudah dilakukan audit.

Apa yang dijelaskan oleh ke- 4 saksi ini berbeda jauh dengan dakwaan JPU KPK yang mengatakan, bahwa terpidana Marthen Luter Dira Tome melakukan pemotongan sebesar Rp3.735.000.000 (Rp50.000 X 6 bulan X 11.100 kelompok) untuk diberikan kepada Camat, Kepala Desa/Lurah, ditambah uang yang diterima terdakwa sebesar Rp405 juta.

Dari keterangan para saksi ini ternyata tidak ada pemotongan, sebab uang yang masuk yang diterima setiap penyelenggara untuk satu kelompok sebesar Rp2.900.000 termasuk upah penyelenggata selama 6 bulan kegiatan.  Bahkan yang memberikan uang kepada Camat, Kepala Desa/Lurah sebesar Rp50 ribu pun bukan terpidana melainkan penyelenggara itu sendiri, dan bukan berupa uang melainkan berupa jajan dan minuman atau kopi. Di mana pembelian untuk snek itu diambil dari sebahagian upah mereka selaku penyelenggara kegiatan kesepakatan seluruh penyelenggara.

Alasan penyelenggara untuk menyediakan makan ringan dan minuman kepada Camat, Kepala Desa/Lura, bukan sebagai penyelenggara melainkan sebagai tokoh masyarakat yang punya pengaruh atau yang lebih di dengar oleh masyarakat desa/plosok agar bersedi sebagai peserta dalam program pebernntasan buta aksara.

Dari keterangan 4 orang saksi disidang PK ini menimbulkan pertanyaan bila dikaitkan dengan dakwaan JPU KPK. Apakah ada pemotongan anggaran dari Rp2.900.00? Sementara para saksi sudah merinci penggunaan uang sebesar Rp2.900.000 yang diterima oleh setiap penyelenggara,  yaitu untuk tutor Rp1.2 juta selama 6 bulan. Untuk Identifikasi Rp50 ribu, untuk Evaluasi termasuk sertifikat bagi peserta sebanyak 10 orang per kelompok sebesar Rp50 ribu. Kemudain sebagai upah/gaji penyelenggara selama 6 bulan sebesar Rp900.000, serta dana belajar usaha warga selama 6 bulan sebesar Rp500 ribu, sehingga total keseluruhan sebesar total Rp2.900.000.

Lalu siapa yang melakukan pemotongan dana Dekonsentrasi Dispendikbud program pemberantasan buta aksara seperti dalam dakwaan JPU KPK ? Sebab berdasarkan keterangan saksi di sidang PK sudah menjelaskan, bahwa uang yang diterima para penyelenggara sebesar Rp2.900.000 tanpa ada potongan, dan juga tidak ada pemberian uang ke Camat, Kepala Desa/Lurah, yang ada adalah menyediakan makan ringan dan minuman bila Camat, Kepala Desa/Lurah datang untuk melakukan monitoring dan motivasi kepada pesera.

Apakah ada yang salah, ketika penyelenggara kegiatan yang sudah menerima upahnya secara utuh sesuai dengan anggaran yang tercantum, yang kemudian para penyelenggara membuat kesepakatan untuk mengambil sebagahian upah/gajinya untuk membeli makan ringan dan minuman kepada Camat, Kepala Desa/Lurah karena bukan sebagai penyelenggara kegiatan melainkan sebagai tokoh masyarakat yang punya pengaruh di mata masyarakat desa/plosok yang dapat dilibatkan untuk memberikan motifasi kepada pesrta (masyarakat) didik dalam program pemberantasan buta aksara yang sudah berusia tua. 

Tidak hanya itu. JPU KPK pun tak dapat menunjukkan bukti dalam persidangan terkait adanya aliran duit sebesar Rp405 juta yang masuk kerekening terpidana atau tidak ada saksi sebanyak 52 orang yang dihadirkan JPU KPK dari Flores, Kupang, Sabu Raijua yang mengatakan telah memberikan sejumlah uang kepada terpidana. Uang yang dimaksud sebesar Rp405 juta itu masuk ke rekening Simon Dira Tome yang juga selaku penyelenggara kegiatan.

Dalam persidangan sebelumnya terungkap, bahwa John Radja Pono menghubungi Basa Alim Tualeka, meminta sejumlah uang untuk biaya pengiriman dan pengepakan buku yang akan  dikirimkan melalui rekening Simon Dira Tome. Dan itupun diakui oleh John Radja Pono dan Basa Alim Tualeka dalam persidangan.

Kasus yang menyeret Marthen Luter Dira Tome ini, setelah menjabat sebagai Bupati Sabu Raijua untuk periode kedua dan kemudian berencana untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur NTT periode 2018 - 2020 dengan dukungan masyarakat NTT, namun dirinya sudah dijadikan sebagai tersangka sejak 2014 hingga 2016 oleh penyidik KPK. Hal ini seperti yang diceritakan Marthen Luter Dira Tome kepada beritakorupsi.co

Marthen Luter Dira Tome mengatakan, proses hukum dalam kasus ini memakan waktu yang cukup panjang dan sangat melelahkan yakni kurang lebih 10 tahun sejak 2008.

Bola panas dari kasus ini bergulir pada tahun 2008, saat penyidik Kejari Kupang mulai  melakukan penyelidikan atas dugaan Tindak Pidana Korupsi dana Dekonsentrasi Dispendikbud pengelolaan program dan anggaran pemberantasan buta aksara yang menelan anggaran APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) sebesar Rp77.675.354.000, dan merugikan keuangan negara berdasarkan audit BPK RI senilai Rp4.292.378.200, namun belum ada tersangkanya segingga kasus tersebut dihentikan.

Lalu pada tahun 2011, Kejaksaan Tinggi NTT membuka kembali kasus ini hingga tahun 2014. Lagi-lagi penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT tak juga menetapkan siapa tersangkanya. Karena kasus ini menggantung, Marthen Luter Dira Tome pun “menantang” Kejati NTT agar melimpahkan ke lembaga super body yang berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan.

Dan sejak tanggal 17 November 2014, Penyidik KPK mengambil alih penanganan kasus ini dengan menetapkan Marthen Luter Dira Tome selaku Kasubdin PLS Dispendikbud NTT sebagai  tersangka bersama Yohanis Manulanggga selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov. NTT yang sudah meninggal 3 tahun sebelumnya.

Pada tahun 2016, KPK pun belum melimpahkan kasus ini ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Kupang, sementara status tersangka tetap melekat pada diri Marthen Luter Dira Tome yang saat itu menjabat sebagai Bupati Sabu Raijua.

Pada awal tahun 2016 sekitar bulan Maret, Marthen Luter Dira Tome yang didampingi Tim Penasehat Hukumnya yang terdiri dari Yohanis D. Rihi., SH; Dr. Melkianus., SH., M.Hum; Yanto., SH. M.Hum; Alexander F. Tungga., SH. M.Hum dan Lesly A. Lay., SH mem-praperadilkan KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pada putusan Majelis Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 65 /PID.PRA/2016/PN.Jkt.Sel tanggal 18 Mei 2016 mengabulkan permohonan pemohon Praperadilan Marthen Luter Dira Tome melalui Tim Penasehat Hukumnya, dan memerintahkan penyidik KPK untuk mengembalikan barang bukti (BB) ke Kejati NTT untuk menghentikan kasus dugaan Korupsi dana Dekonsentrasi Dispendikbud NTT pada pengelolaan program dan anggaran pemberantasan buta aksara

Anehnya, penyidik KPK belum melaksanakan putusan Majelis Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hingga Nopember 2016, namun kembali menetapkan Marthen Luter Dira Tome menjadi tersangka untuk yang kedua kalinya dalam kasus yang sama.

Pada saat KPK menetapkan Marthen Luter Dira Tome sebagai tersangka untuk kedua kalinya dalam kasus yang sama, penyidik KPK mulai melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap  saksi-saksi di Polda NTT. Pada saat itu,  Marthen Luter Dira Tome sepulang dari Sumba dalam rangka sosialisasi pencalonannya sebagai  Gubernur NTT,  langsung menuju Polda untuk menemui Ketua Tim Penydik KPK Kristian, namun tak berhasil.

“KPK belum melaksanakan putusan Praperadilan, saya ditetapkan lagi sebagai tersangka untuk yang keduakalinya dalam kasus yang sama. Sejak itu, KPK mulai melakukan pemanggilan dan memeriksa saksi-saksi di Polda NTT. Karena saya dengar teman-teman sudah ada yang diperiksa di Polda, saya sepulang dari Sumba langsung ke Polda untuk menemui teman-teman dan juga untuk menanyakan ke penyidik yang ketua penydiknya Kristian. Hak saya dong untuk bertanya. Namun hingga jam 5 sore waktu itu, Pak Kristan tidak turun turun-temurun, kamipun pulang,” tutur Marthen Luter Dira Tome

Pada tanggal 14 November 2016 sekira pukul 23.00 WIB, Marthen Luter Dira Tome ditangkap penyidik KPK pada saat berada di rumah makan di sekitar Jalan Hayam Uruk Jakarta, sebelum terbang ke Kupang pada pukul 02.00 WIB setelah selesai mendaftarkan permohonan Praperadilan yang kedua ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hingga akhirnya, KPK melimpahkan perkara Marthen Luter Dira Tome ke Pengadilan Tipikor Surabaya untuk disidangkan dengan alasan keamanan.

“Kemudian besoknya sekitar tanggal 14 Noember 2016, kami berangkat ke Jakarta untuk mendaftarkan Praperadilan yang kedua ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Karena besok paginya sekitar pukul 02.00 WIB kami kembali ke Kupang, kami mampir sebentar ke Rumah Makan  di Jalan Hayam Uruk. Saat itu saya langsung ditangkap dengan alasan menghalang-halangi penyidikanm” ucap Marthen Luter Dira Tome.

Sementara dalam persidangan, Jaksa KPK menghadirkan sebanyak 52 orang saksi untuk terdakwa Marthen Luter Dira Tome dalam perkara Korupsi Dana Dekonsentrasi Derektorat Jenderal (Dirjen) PLS (Pendidikan Luar Sekolah) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dispendikbud) Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) pada tahun 2007 lalu, yang menelan anggaran APBN sebesar Rp77.675.354.000 milliar, dan merugikan keuangan negara berdasarkan hasil audit BPK RI senilai Rp4.292.378.200. Namun tak satupun saksi yang memberatkan terdakwa. Bahkan ada tiga orang saksi yaitu Martina Singgih, Toni Falentin dan Marten Ferdinan Robe yang mengatakan kalau dirinya mendapat tekanan dari penyidik KPK.

Dalam dakwaan Jaksa KPK, terdakwa didakwa melakukan mengalihkan Penyaluran dana kegiatan PLS melalui Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FK-TLD) Provinsi NTT, melakukan pengeluaran anggaran yang seharusnya tidak dikeluarkan dari kas negara, dan melakukan pengadaan barang dan jasa yang bertentangan dengan pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional untuk Prosedur Operasional Standar (POS), pelaksanaan program dan anggaran dana dekonsentrasi Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007, dan Keppres Nomor 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Terkait hal ini, Marthen menjelaskan, bahwa keberadaan Forum dalam pelaksanaan program PLS, bukanlah inisiatifnya selaku Kepala Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi NTT, tetapi atas kesepakatan seluruh Kepala Bidang PLS Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten se-Provinsi NTT, dan para Ketua FK-TLD Kabupaten/Kota se-Provinsi NTT sebagai perwakilan penyelenggara atau pengelola program PLS dalam rapat koordinasi dan evaluasi pelaksanaan program pendidikan luar sekolah tahun 2007 yang bertempat di Hotel Bahagia 2 SoE, Ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan, pada bulan Maret 2007.

“Dasar pertimbangan dari keterlibatan FK-TLD dalam pengelolaan anggaran TLD tahun 2007 adalah bertolak dari Ketentuan dan syarat pencairan dana oleh para pengelola PLS adalah, bahwa para pengelola program PLS harus mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan nomor rekening Bank,” ungkap Marthen

Pembentukan FK-TLD lanjut Marthen, berpedoman pada Juknis (Petunujk Teknis) yang diterbitkan oleh Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Kependidikan Tenaga Kependidikan (PM-PKTK) non formal Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2006, Akta Notaris serta anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Forum Komunikasi Tenaga Lapangan (FKTL) pusat dan mempunyai cabang di seluruh wilayah Indonesia yang ditetapkan oleh keputusan rapat Badan pendiri, pada pasal 6 yang menyebutkan tentang organisasi berskala nasional yang beranggotakan TLD (Tenaga Lapangan Daerah) di seluruh Indonesia dipimpin oleh pengurus pusat, pengurus Provinsi dan pengurus Kabupaten/Kota.

Selain didakwa telah mengalihkan anggaran, didakwa pula telah melakukan pemotongan Dana Dekonsentrasi Derektorat Jenderal (Dirjen) PLS (Pendidikan Luar Sekolah) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dispendikbud) Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) pada tahun 2007 lalu yang totalnya sebesar Rp4.292.378.200 atau 50.000 X 6 bulan X 11.100 kelompok ditambah penerimaan uang sebesar Rp405 juta, di mana uang hasil dari pemotongan tersebut diberikan kepada Camat, Desa, Lurah dan Kela Cabang Dinas yang dihadirkan oleh penyelenggara kegiatan untuk mendukung terlaksananya program bemberantasan buta aksara, karena para pesertaya adalah masyarakat yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah dan usia yang sudah tua

“Secara akal sehat, jika saja saya memiliki niat buruk untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, maka tidaklah mungkin terjadi efisiensi atau penghematan anggaran pada pengelolaan program dan anggaran pemberantasan buta aksara. Dari target pemerintah pusat  hanya menuntaskan sebanyak 90.320 orang atau 9.032 kelompok. Sementara yang dilaksanakan di Provinsi NTT justru melampaui target tersebut yaitu sebanyak 111.000 orang atau 11.100 kelompok tanpa merubah atau menambah anggaran,” kata Marthen dengan jelas.

“Sudah jelas seperti yang terungkap dalam persidangan PK, di mana 4 orang saksi selaku penyelenggara mengatakan bahwa mereka menerima anggaran untuk kegiatan termasuk untuk  upah penlenggara tanpa ada pemotongan sama sekali. dan tidak ada pemberian uang ke Camat, Kepala Desa/Lurah adalahm penyelenggara kan penyelenggara, yang ada adalah menyediakan makan ringan dan minuman yang uangnya  diambil dari upah/gaji para penyelenggara itu sendiri. Lalu siapa yang memotong ?,” kata Marthen dengan balik bertanya.

Dalam pelaksanaan kegiatan ini, Disependukbud Prov. NTT dapat melaksanakan jauh di atas target pemerintah pusat yaitu sebanyak 111.000 orang atau 11.100 kelompok atau terdapat peningkatan sebanyak 20.680 orang atau 2.068 kelompok (1 kelompok sebanyak 10 orang) dengan anggaran sebesar Rp2.900.000 dari anggaran pemerintah sebesar Rp3.262.690.000 khusus untuk program belajar buta aksara. Sehingga ada efisien anggaran sejumlah Rp5.997.200.000.

“Dari pelaksanaan program tersebut terjadi penghematan keuangan negara sebesar Rp5.997.200.000 atau menguntungkan rakyat yang kurang beruntung sebanyak 20.680 orang, karena mereka bisa menikmati pendidikan dengan program belajar buta aksara,” kata Marthen

Marthen melanjutkan, “Selisih lebih dari target pemerintah pusat yakni 20.680 orang atau 2.068 kelompok jika dikalikan dengan alokasi anggaran per kelompok sebesar Rp2.900.000, maka 2.068 X Rp2.900.000 = Rp5.997.200.000,” kata Marthen Luter Dira Tome kepada beritakorupsi di gedung Pengadilan Tipior Surabaya, Rabu, 22 Mei 2019.  (Rd1/*)

Posting Komentar

  1. semoga keadilan dpt ditegakan di indonesia dan penegak hukum memberikan keputusan hukum yg seadil adilnya smg Tuhan memberkati amin

    BalasHapus
  2. Kasus Marthen Dira Tome Sudah Sangat Lama, tolong dilanjutkan sidangnya.


    Biar tau apa hasil dari sidang PK berikutnya

    BalasHapus

Tulias alamat email :

 
Top