0
#JPU KPK : Tidak menutup kemungkinan akan dilakukan penyelidikan baru dalam kasus ini sesuai fakta Persidangan#
Terdakwa Eddy Rumpoko
beritakorupsi.co – Eddy Rumpoko, selaku Wali Kota Batu yang terjaring OTT oleh KPK pada tanggal 16 Septemberi 2017 lalu, karena menerima “Si Hitam” alias mobil mewah merek Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 warna hitam, dan  Undangan alias uang suap sebesar Rp 200 juta dan dari Filipus Djab seorang pengusaha, akhirnya dituntut 8 tahun penjara dan pencabutan hak politiknya selama 5 tahun oleh JPU KPK, pada Jumat, 6 April 2018.

Dalam kasus ini, KPK mengamankan 3 orang dengan barang bukti berupa uang suap sejumlah Rp 295 juta dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada tanggal 16 September 2017 sekitar pukul 12.30 WIB. Ketiga orang itu ialah Edi Setiawan selaku Kepala Bagian  Unit Layanan Pengadaan (Kabag ULP) Kota Batu dengan barang bukti berupa uang sebesar Rp 95 juta. Menyusul kemudian KPK mengamankan Filipus Djab, Direktur CV Amarta Wisesa (sudah divonis 2 tahun penjara selaku pemberi suap pada tanggal 22 Januari 2018) bersama Eddy Rumpoko yang menjabat Wali Kota Batu di rumah dinasnya dengan barang bukti uang sebesar Rp 200 juta, bagian dari nilai harga mobil mewah merek Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 warna hitam Rp 1,6 milliar yang sudah diberikan Filipus Djab terhadap Eddy Rumpoko sebelumnya.

Sementara dalam persidangan kali ini (6 April 2018), adalah pembacaan surat tuntutan oleh Tim JPU KPK Ronald Ferdinand Worontika dkk diruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya dengan terdakwa Eddy Rumpoko yang didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya Mustofa dkk, dan terdakwa Edi Setiawan didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya Yuliana dari LBH YLKI.

Sidang pembacaan surat tuntutan untuk ke- 2 terdakwa ini digelar dalam 2 session yang dipimpin Ketua Majelis H.R. Unggul Warso Mukti, karena memang sejak awal perkaranya terpisah namun kasus yang sama, yakni sebagai penerima uang suap dari Filipus Djab. Dan yang disidangkan terlebih dahulu adalah terdakwa Eddy Rumpoko.

Dalam surat tuntutan sebanyak 300 lembar lebih dibacakan oleh JPU KPK Ronald Ferdinand Worontika dkk secara bergantian, membeberkan kronologis mobil Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T keluaran tahun 2016 warna hitam seharga Rp 1,6 milliar dan uang sebanyak Rp 200 juta dengan istilah undangan, yang diberikan Filipus Djab terhadap Eddy Rumpoko.

JPU KPK dalam surat tuntutannya yang dibacakan dihadapan Majelis Hakim menyakatakan,  bahwa Eddy Rumpoko Walikota Batu tahun 2012 sampai dengan 2017 bersama-sama dengan Edy Setiawan yang menjbata Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan, pada bulan Mei 2016 sampai dengan hari Sabtu tanggal 16 September 2017, bertempat di ruang kerja Walikota Batu di lantai 5 Gedung Balai Kota Among Tani Kota Batu Jalan Panglima Sudirman Nomor 507 Kota Batu, di Hotel Amarta Hills Jalan Abdul Gani Atas Komplek Amarta Hills Kota Batu, serta di rumah dinas Walikota Batu Jalan Panglima Sudirman Nomor 98 Kota Batu, telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan berlanjut, menerima hadiah atau janji berupa 1 unit mobil merk Toyota New Alphard Nomor Polisi N 507 BZ seharga Rp 1,6 miliar, dan uang sebesar Rp 95 juta serta Rp 200 juta dari Filipus Djap.

Pada sekitar tahun 2012, terdakwa Eddy Rumpoko berkenalan dengan Fiilipus Djab, seorang pengusaha yang sedang mengurus ijin mendirikan Hotel miliknya yakni Hotel Amarta Hills di Kota Batu. Dan Filipus Djab pun mejadi rekanan di Kota Batu yang mengikuti beberapa proyek pengadaan Meubelair dan seragam kantor, menggunakan CV Amarta Wisesa miliknya dan PT Dailbana Prima Indonesia milik istrinya (dalam persidangan ternyata Esther Tedjakusuma bukan istri Filipus Djab namun tinggal serumah bertahun-tahun).

Pada Mei 2016, terdakwa Eddy Rumpoko ingin memiliki mobil mewah merek Toyota Alphard seri terbaru untuk dipergunakan melayani tamunya yang berkunjung ke Kota Batu. Untuk mewujudkan keinginannya itu, terdakwa Eddy Rumpoko memanggil Filipus Djab ke ruang kerjanya di lantai 5 Gedung Balai Kota Among Tani Kota Batu, dan menyampaikan agar Filipus Djab membayar terlebih dahulu pembelian mobil Toyota Alphard tersebut yang harganya Rp 1.600.000.000, dan sebagai gantinya Eddy Rumpoko akan memberikan proyek-proyek atau paket pekerjaan yang didanani dari APBD Kota Batu, dan permintaan itupun disanggupi oleh Filipus Djab.

Pada tanggal 17 Mei 2016, terdakwa memanggil Filipus Djab dan Haryanto Iskandar selaku Kepala Cabang Dealer Toyota PT Kartika Sari, untuk datang ke ruang kerjanya guna membicarakan type-type terbaru kendaraan Toyota Alphard. Dari pertemuan dan pembicaraan ketiganya,  kemudian memutuskan untuk memilih Toyota New Alphard type 3.5 Q A/T Tahun 2016 warna hitam dengan harga yang disepakati Rp 1,6 miliar. Dan saa itu juga, terdakwa menyampaikan kepada Hariyanto Iskandar, bahwa yang akan membayar adalah Filipus Djab. 

Terdakwa Edi Setiawan
“Beberapa hari kemudian, Filipus Djab melunasi pembayaran harga mobil kepada Dealer Toyota PT Kartika Sari dengan cara dua kali angsuran, pertama pada tanggal 19 Mei 2016 sebesar Rp 300 juta, dan kedua tanggal 3 Juni 2016 sebesar Rp 1,3 milliar. Dan pada tanggal 20 Mei 2016, terdakwa memerintahkan Haryanto Iskandar agar nama pemilik dalam STNK dan BPKB mobil tersebut dibuat atas nama perusahaan PT Duta Perkasa Unggul Lestari (PT DPUL), karena terdakwa Eddy Rumpoko ternyata mantan orang PT DPUL,” kata JPU KPK.

Pada tanggal 21 Mei 2016, Yunedi yang merupakan sopir pribadi terdakwa sejak tahun 2008 yang juga anggota TNI AD yang masih aktif itu, lalu mengambil mobil tersebut dari dealer Toyota PT Kartika Sari ke rumah dinas Wali Kota Batu (dalam fakta persidangan, Yunedi ikut menandatangani dokumen pengambilan mobil di daeler. Dan besoknya mobil tersebut digunakan untuk mengantarkan Megawati ke Blitar dengan membuat Nomor Polisi palsu N 507 BZ).

“Pada pertengahan Mei 2016, di ruang rapat Walikota Batu, Eddy Rumpoko memperkenalkan Filipus Djab kepada Edi Setiawan yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Pengadaan dan Distribusi Aset Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Batu sekaligus merangkap sebagai Sekretaris Unit Layanan Pengadaan (ULP) dengan mengatakan, “Ed, Ini teman saya, dan Dia sebagai pemenang lelang Pekerjaan Meubelair, kamu pandu atau arahkan agar pekerjaannya bagus, yang kemudian dijawab oleh Edi Setiawan, siap.,” kata JPU KPK menirukan.

Sejak pembelian mobil tersebut, PT Dailbana Prima Indonesia dan CV Amarta Wisesa  memenangkan 7 proyek pengadaan di Pemkot Batu, antara lain di Dinas pendidikan, pengadaan batik siswa SD dengan pagu anggaran Rp 1.204.740.000 dengan nilai penawaran Rp 1.170.505.000 pemenang CV Amarta Wisesa,; 2. Pengadaan Batik untuk siswa SMP dengan pagu anggaran Rp 632.100.000, nilai penawaran Rp 614.190.000 pemenang lelang CV Amarta Wisesa,; 3. Dinas Pendidikan pengadaan batik untuk siswa SMA/SMK dengan pagu anggaran Rp 657.370.000, nilai penawaran Rp 640.466.000 pemenang CV Amarta Wisesa,; 4. Di BPKAD pengadaan mebeleur berupa meja dan kursi dengan pagu anggaran Rp 5.010.755.000, nilai penawaran Rp 4.929.404.000 pemenang PT Dailbana Prima Indonesai,; 5. Di Dinas Pendidikan pengadaan Almari Sudut BacaSDN dengan pagu anggaran Rp 2.125.000.000 nilai penawaran Rp 2.033.570.000 pemenang CV Amarta Wisesa,; 6. Di Dinas Pendidikan Belanja seragam bawahan SMA/MA/SMK dengan pagu anggaran Rp 852.372.500 nilai penawaran Rp 851.919.500 pemenang CV Amarta Wisesa, dan ke- 7 di Dinas Pendidikan Belanja seragam bawahan SMP/MTs dengan pagu anggaran Rp 728.612.500 nilai penawaran Rp 710.066.000 pemenang CV Amarta Wisesa

Pada bulan April 2017, Edi Setiawan dan Filipus Djab mengadakan pertemuan diruang kerja Edi Setiawan sebelum proses lelang pengadaan dimulai. Dalam pertemuan tersbut, Filipus menyampaikan akan mengikuti lelang dengan memakai PT Dailbana Prima Indonesia dan CV Amarta Wisesa. Selain itu, Filipus Djab juga menyampaikan kepada terdakwa Eddy Rumpoko, bagaimana cara pelunasan mobil Toyota Alphard.  Yang dijawab oleh Eddy Rumpoko, bahwa pelunasan mobil sebesar Rp 650 juta, akan diselesaikan dengan pengadaan TA 2017.

Pada tanggal 23 Mei 2017, setelah Edi Setiawan diangkat menjadi Kepala Bagian Layanan Pengadaan Pemkot Batu lalu menindaklanjuti perintah terdakwa Eddy Rumpoko dengan cara melakukan pembicaraan dengan Filipus Djab, untuk membantu pekerjaan dalam memenangkan lelang pengadaan barang di Pemkot Batu TA 2017, sekaligus membicarakan fee yang harus diberikan kepada terdakwa Eddy Rumpoko sebesar 10 persen, dan untuk Edi Setiawan sebesar 2 persen dari nilai kontrak.

“Walaupun terdakwa tidak mengakui haruslah dikesampingkan, fakta dalam persidangan sudah cukup jelas termasuk keterangan dari Filipus Djab,” ucap JPU KPK.

“Pada tanggal 23 Agustus 2017 bertempat di kedai roti di Bandara Abdul Rahman Saleh Malang, terdakwa bertemu dengan Filipus Djap yang menanyakan kepada terdakwa, “Pak, untuk fee meubeler ini mau dipotong untuk Si Hitam berapa, Bapak berkenan tunai berapa ?”. Yang di jawab oleh terdakwa, “Udah, Edi Setiawan yang atur”. Selanjutnya, sekitar pukul 13.00 WIB, Filipus Djab menghubungi Edi Setiawan untuk membicarakan penyerahan fee 10 persen dari nilai kontrak pekerjaan pengadaan meubelair sebesar Rp 500 juta,” kata JPU KPK dalam surat tuntutannya.

Dalam pembicaraan tersebut, lanjut JPU KPK membacakan surat tuntutannya, disampaikan bahwa dari fee Rp 500 juta akan diperhitungkan Rp 300 juta yang sudah dikelaurkan Filipus Dajb untuk pembayaran Si Hitam. Sehingga sisa kekuragan Rp 650 juta setelah dikurangi Rp 300 juta  menjadi Rp 350 juta, dan akan diperhitungkan dari pengadaan lainnya pada tahun anggaran 2017 yang dikerjakan oleh Filipus Djap. Selanjutnya sisa uang sejumlah Rp 200 juta diminta oleh terdakwa Eddy Rumpoko untuk diberikan secara tunai,  dan Rp 100 juta untuk Edi Setiawan sebagai fee 2 persen yang dijanjikan.

Pada tanggal 24 Agustus 2017 sekitar pukul 10.00 WIB, terdakwa Eddy Rumpoko  menghubungi Filipus Djab dan menyampaikan pesan agar tidak melakukan transaksi terlebih dahulu karena sedang dipantau oleh tim Saber Pungli dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, terdakwa berpesan agar Filipus Djab mengingatkan Edi Setiawan terkait hal tersebut.

Pada siang harinya di tanggal 24 Agustus 2017, Filipus Djab dan Edi Setiawan mengadakan pertemuan di rumah makan Java Nine Malang dan menyepakati untuk menggunakan kata sandi undangan untuk uang, Atas untuk mengganti Hotel Amartha Hills, bawah untuk Cafe Java Nani dan Si Hitam untuk mobil Alphard, untuk digunakan dalam setiap komunikasi. Atas saran terdakwa, menunjuk Edi Setiawan sebagai orang tengah yang menjembatani komunikasi antara terdakwa dan Filipus Djap.

“Pada tanggal 15 September 2017, setelah pembayaran pekerjaan meubelair masuk ke rekening BRI atas nama PT Dailbana Prima Indonesia sebesar Rp 4.714.850.250 dari BKAD Kota Batu sekitar pukul 13.49 WIB, terdakwa dihubungi oleh Filipus Djab, yang menyampaikan “Oh Pak, besok saya mau ngantar undangan. Yang dijawab oleh terdakwa, “iya iya saya tunggu ya”. Kemudian dijawab Filipus Djap “he he he. saya kontak Bapak besok ya”. Dan dijawab oleh terdakwa “Nggeh maturnuwun”,” kata JPU KPK menirukannya.

Masih di hari yang sama sekitar pukul 13. 59 WIB, Filipus Djap menghubungi Edi Setiawan, mengajak bertemu di atas untuk menyerahkan undangan. Selain itu Filipus Djap juga menyampaikan, sudah menghubungi terdakwa Eddy Rumpoko akan memberikan undangan secara langsung.

Sabtu tanggal 16 September 2017 sekitar pukul 10.14 WIB, Filipus Djap menelepon Edi Setiawan meminta untuk mengecek keberadaan terdakwa. Atas permintaan tersebut, selanjutnya Edi Setiawan menghubungi Lila Widya Rahajeng, sekretaris pribadi terdakwa dengan menggunakan aplikasi WhatsApp untuk mempertanyakan keberadaan terdakwa. Menurut Lila Widya Rahajeng, bahwa terdakwa berada di rumah dinas, dan selanjutnya Edy Setiawan menyampaikan informasi tersebut kepadaku Filipus Djap

Di hari yang sama sekitar pukul 11.00 WIB, Filipus Djab menghubungi Edi Setiawan untuk bertemu di atas. Selanjutnya, sekitar pukul 11.29 WIB, Filipus Djab  menghubungi terdakwa dan menanyakkan apakah terdakwa di rumah atau tidak, yang dijawab oleh terdakwa “di rumah belum mandi, belum makan”. lalu Filipus Djab menyampaikan ingin bertemu 4 mata terlebih dahulu karena akan menyampaikan undanga untuk terdakwa. Yang dijawab oleh terdakwa “ya, ya, ya pak”.

“Tanggal 16 September 2017 Sekitar pukul 12.30 WIB, Filipus Djab bertemu dengan Edi Setiawan di halam parkir Hotel Amarta Hills, lalu sekitar pukul 12.45 WIB, Filipus Djap menyerahkan paper bag BRI prioritas berisi uang sebesar Rp 95 juta, sambil mengatakan ini titipannya. Setelah menyerahkan uang kepada Edi Setiawan, Filipus Djap kemudian pergi ke rumah dinas Walikota Batu di Jalan Panglima Sudirman Nomor 98 Kota Batu dengan membawa paper bag BRI prioritas yang berisi uang sebesar Rp 200 juta untuk diserahkan langsung terhadap Eddy Rumpoko, dan sesampainya di rumah dinas Wali Kota Batu saat itu langsung  diamankan oleh KPK,” kata JPU KPK dalam tuntutannya

Sehingga menurut JPU KPK, bahwa perbuatan terdakwa Eddy Rumpoko diancam pidana penjara sebagaiaman dalam pasal 12 huruf a UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat (1) KUHAP

“Menuntut; Meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya untuk menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 8 (Delapan) tahun, denda sebesar Rp 600 juta. Apabila terdakwa tidak membayar maka diganti dengan kurungan selama 6 bulan. Selain itu, agar menghukum terdakwa dengan pencabutan hak untuk dipilih dan memili dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah terpidana seleseai menjalani pidana pokok,” ucap JPU KPK Ronald Ferdinand Worontika.


Sementara dalam persidangan selanjutnya, JPU KPK Ronald Ferdinand Worontika dkk, juga membacakan surat tuntutannya untuk terdakwa Edi Setiawan yang didampingi PH-nya Yuliana dari LBH Yayasan Legundi Keadilan Indonesia (YLKI).

Dalam surat tuntutannya JPU KPK mengatakan, bahwa terdakwa turut membantu KPK untuk mengungkap kasus yang juga menjerat dirinya dan diberi penghargaan berupa JC (Jastice Cullabulator). Namun demikian, JPU KPK menganggap bahwa terdakwa adalah orang yang aktif dalam kasus ini dan terdakwa pun dijerat dengan pasal yang sama dengan terdakwa Eddy Rumpoko.

Bedanya, Edi Setiawan dituntut 2 tahun lebih ringan yakni 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp 600 juta. Apabila terdakwa tidak membayar maka diganti dengan kurungan selama 6 bulan.

Atas tuntutan JPU KPK, Ketua Majelis Hakim H.R. Unggul Warso Mukti memberikan kesempatan terhadap kedua terdakwa untuk menyampaikan pembelaannya pada persidangan yang akan datang, yakni tanggl 17 April 2018.

Usai persidangan, Penasihat Hukum terdakwa Mustofa mengatakan sudah menduga tuntutan Jaksa.

"Kami suda menduga tuntutan Jaksa KPK, tapi kami juga sudah mempersiapan pembelaan nanti, dan kami akan menjelaskan persepsi lain sesuai fakta-fakta persidangan. Hal itu karena ada beberapa fakta persidangan yang tidak dimasukkan dalam tuntutan, dan JPU terkesan tetap menggunakan dakwaannya," ujarnya.

Terpisah. Saat wartawan media ini menanyakkan JPU KPK Ronald Ferdinand Worontika tentang ada tidaknya tersangka baru dalam kasus ini sesuai fakta-fakta persidangan, diantaranya keterlibatan Yunaedi dalam pengambilan mobil dari daeler dan pemalsuan Nomor Polisi serta penerimaan gaji ganda sebagai anggota TNI AD dan gaji dari Pemkot Batu. Kemudian keterangan Lila Widya Rahajeng selaku sekretaris pribadi (Sekpri) Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, yang dalam persidangan JPU KPK menunjukkan bukti berupa hasil percakapan Lila Widya Rahajeng dengan Yuyun mantan Sekpri Wali Kota, Lila Widya Rahajeng dengan Zadim, Lila Widya Rahajeng dengan Eddy Rumpoko. Dalam percakapan itulah terbongkar, peran Lila menerima uang “siluman” untuk Eddy Rumpoko, diantaranya dari Muhamad Ali Umar sebesar Rp Rp 50 juta melalui Edy Setiawan.

Selain itu, penerimaan uang untuk pembelian Sarung yang akan dibagikan Eddy Rumpoko kepada masyarakat Kota Batu sebagai terima kasihnya kerena sudah dipercaya menjadi Wali Kota. Kemudian keterlibatan Diah salah satu staf Pemkot Batu yang mengakui, penah menerima uang dari Yusuf selaku rekanan untuk Eddy Rumpoko yang diserahka Diah ke Eddy Rumpoko melalui Lila Widya Rahajeng.

Menanggapi hal itu, JPU KPK Ronald Ferdinand Worontika mengatakan, tidak menutup kemungkinan akan dilakukan penyelidikan baru dalam kasus ini sesuai fakta persidangan.

“Memang sesuai fakta persidangan dari keterangan Yunaedi, Lila dan pemberian uang oleh Yusuf, tidak menutup kemungkinan akan dilakukan penyelidikan baru,” kata JPU KPK Ronal.
   
“Apakah ada tersangka baru sesuai fakta dan bukti-bukti yang ditunjukkan JPU KPK di persidangan dalam pasal  55 KUHP,” tanya wartawan ini kemudian.

Namun JPU KPK Ronald tetap mengatakan tidak menutup kemungkinan akan dilakukan penyelidikan baru. Sementara tuntutan JPU KPK terhadap Edi Setiawan yang dianggap tinggi oleh terdakwa, pada hal JPU KPK mengatakan terdakwa sebagai JC dan membantu KPK untuk mengungkap kasus ini, Ronal mengatakan karena terdakwa aktif dalam proses pelaksanaan lelang yang dimenangkan oleh terpidana Filipus Djab. Selain itu, Ronald juga mengatakan bahwa terdakwa dapat mengajukan untuk mendapatkan keringangan hukuman.

“Memang terdakwa adalah sebagai JC, namun harus diingat bahwa terdajwa aktif dalam proses lelang yang dimenangkan oleh Filipus Djab. Terdakwa dapat mengajukan untuk mendapatkan keringanan hukuman nanti,” ujar Ronald.

Sementara ada informasi yang diterima wartawan media ini, bahwa KPK “sudah” melakukan pemeriksaan terhadap beberapa orang. Apakah ada kaitannya dengan pernyataan JPU KPK Ronald yang mengatakan, tidak menutup kemungkinan akan dilakukan penyelidikan baru ?.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top