0
Dr. Herry Sinurat, ST.MMT,SH,MH, nomor 1 dari kiri
beritakorupsi.co – Perlindungan hukum bagi para pihak dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi sangat perlu, sehingga  Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2015 tentang perubahan Keempat atas Peraturan Presiden 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ( PBJP ).

Hal itu disampaikan Dr. Herry Sinurat, ST.MMT,SH,MH. dalam kapasitasnya sebagai Birokrat, Pengamat Hukum Konstruksi serta Dosen yang juga sebagai Ketua Litbang DPD IAPI (Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia), SekretAris  Ikatan Ahli Manajemen Proyek Indonesia (IAMPI), Ketua Bidang Advokasi  Persatuan Insinyiur Indonesai (PII), Sekretaris  Himpunan Ahli Kontrak  Konstruksi Indonesia (HAKKI)  di Prov Jawa Timur ini saat menjadi narasumber dalam acara Seminar Infrastruktur dalam rangka Hari Bakti PU Ke- 72 dengan thema, KERJA BERSAMA MEWUJUDKAN INFRASTRUKTUR KALTIM YANG BERKELANJUTAN DAN BERMARTABAT.

Seminar tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), yang pembukaan nya dilakukan oleh Ketua Bappeda Prov Kaltim mewakili Gubernur Kaltim ,  yang dihadiri oleh seluruh OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dilingkungan Pemprov Kaltim maupun OPD  dari berbagai  Kabupaten/Kota diantaranya Bappeda, Dinas PU, Bagian Pembangunan Setda ,  LPJK Prov. Kaltim, Asosiasi Profesi, Asosiasi Perusahaan  dan Universitas, yang diselenggarakan pada hari Senin , 18 Desember 2017 di Pendopo Lamin Etam , kantor Gubernur Kaltim di  Samarinda

Sebab jasa konstruksi, lanjut pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara ini,  mempunyai peranan strategis dalam pembangunan infrastuktur, mengingat jasa konstruksi menghasilkan berbagai sarana dan prasarana yang berfungsi untuk mendukung pertumbuhan maupun perkembangan di berbagai bidang seperti ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mendukung tumbuh dan berkembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Menurut Pejabat Struktural di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Prov Jawa Timur ini dihadapan ratusan peserta seminar mengatakan, bahwa pemerintah telah memberikan perlindungan hukum bagi para pihak dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi seperti yang diatur dalam dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang perubahan Keempat atas Peraturan Presiden 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yaitu  pada pasal 115.

“Perlindungan hukum bagi para pihak dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang perubahan Keempat atas Peraturan Presiden 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yaitu  pada pasal 115, yang menyatakan bahwa Organ Pengadaan Barang/Jasa wajib memperoleh bantuan hukum dari K/L/D/I,” kata Dr. Herry Sinurat.

“Didalam Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi pada pasal 47, Kontrak Kerja Konstruksi sekurang - kurangnya memuat, antara lain " Adanya perlindungan  bagi para pihak dan  tenaga kerja serta  pihak ketiga dalam pelaksanaan pekerjaan Konstruksi," lanjut Sekretaris HAKKI Jatim  ini.

Dr. Herry Sinurat yang juga berprofesi sebagai Dosen pada beberapa Prodi Pascsarjana di Surabaya  ini mengatakan, dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan makna, bahwa Kegiatan PBJP maupun Proyek Strategis Nasional yang dilakukan melalui kontraktualisasi antara Pengguna Jasa dengan Penyedia Jasa (Konsultan Perencana, Kontraktor Pelaksana dan Konsultan Pengawas) merupakan Kontrak Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan administrasi pemerintahan.

Menurut Dosen pada Prodi Magister Manajemen Teknologi  dan Magister Manajemen Aset Infrastruktur ITS Surabaya, yang juga Pemberi Keterangan Ahli LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah)  untuk Penanganan Permasalahan Hukum PBJP (Pengadaan Barang Jasa Pemerintah) ini, Penyediaan Jasa konstruksi dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu pertama, dengan  skema Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) yang sumber pembiayaaannya berasal dari Pajak yang dibayar oleh masyarakat. Dasar hukumnya adalah Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 04 Tahun 2015.

Kedua, dengan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha ( KPBU ) yang sumber pembiayaannya berasal dari Investasi Badan Usaha, dasar hukumnya adalah Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur

Bahwa dalam upaya memberikan hasil pekerjaan konstruksi untuk dapat segera dinikmati masyarakat, Presiden melakukan  upaya untuk  memacu akselerasi percepatan penyelesaian  pekerjaan konstruksi, yang dilaksanakan melalui kontrak pemerintah, baik melalui skema PBJP maupun Proyek strategis Nasional dengan menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 2015 tentang Percepatan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan, Inpres Nomor  1 Tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional. Kemudian Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional serta Pembentukan TP4P dan TP4D diberbagai K/L/D/I untuk melakukan pendampingan dalam pelaksanaan PBJP dan proyek strategis Nasional.

TP4P/D bertujuan untuk menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan dan keberhasilan  pembangunan melalui upaya preventif dan persuasif

“Para penyelenggara Jasa Konstruksi dalam melaksanakan pengadaan pekerjaan Konstruksi pada berbagai tahapan, antara lain perencanaan pengadaan, pemilihan penyedia, pelaksanaan kontrak dan serah terima adalah implementasi dari  pelaksanaan kegiatan yang berdimensi manjemen dan administrasi pemerintahan, yang bertujuan untuk membangun/menyediakan infrastruktur publik bagi kesejahteraan masyarakat,” paparnya.

Pada berbagai tahapan tersebut, telah diatur sanksi sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada pasal 118 antara lain pada tahapan; pemilihan penyedia barang/ jasa dan pelaksanaan kontrak , sebagai berikut :

Pertama, pada tahapan pemilihan penyedia meliputi; 1. Mempengaruhi ULP pejabat pengadaan/ pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun baik langsung maupun tidak langsung, guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan kontrak, dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Melakukan persekongkolan dengan penyedia barang/ jasa lain untuk mengatur harga penawaran di luar prosedur pelaksanaan pengadaan barang/ jasa, sehingga menghambat memperkecil dan atau meniadakan persaingan yang sehat dan atau merugikan orang lain. 3. Membuat dan atau menyampaikan dokumen dan atau keterangan lain yang tidak benar, dan untuk memenuhi persyaratan pengadaan barang/ jasa yang ditentukan dalam dokumen pengadaan. 4. Mengundurkan diri dari pelaksanaan kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan atau tidak dapat diterima oleh ULP pejabat pengadaan. 5. Membuat dokumen dan atau keterangan lain yang tidak benar, dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam dokumen pengadaan. 6. Menolak untuk menaikkan nilai jaminan pelaksanaan untuk penawaran di bawah 80 persen HPS. 7. Memalsukan data tentang tingkat komponen dalam negeri. 8. Mengundurkan diri bagi pemenang dan pemenang cadangan 1 dan 2 pada saat penunjukan penyedia barang jasa, dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh PPK dan atau mengundurkan diri dari pelaksanaan penandatanganan kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan atau tidak dapat diterima oleh PPK.

Kedua, pada tahapan pelaksanaan kontrak, lanjut Dr. Herry Sinurat, meliputi;
1. Terbukti melakukan KKN, kecurangan dan atau pemalsuan dalam proses pelaksanaan kontrak yang diputuskan oleh instansi yang berwenang. 2. Menolak menandatangani berita acara serah terima pekerjaan. 3. Mempengaruhi PPK dalam bentuk dan cara apapun baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam kontrak dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Melakukan perbuatan lalai cidera janji dalam melaksanakan kewajiban dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sehingga dilakukan pemutusan kontrak sepihak oleh PPK. 5. Meninggalkan pekerjaan sebagaimana yang diatur kontrak secara tidak bertanggung jawab. 6. Memutuskan kontrak secara sepihak karena kesalahan penyedia barang jasa dan atau Tidak Menindaklanjuti hasil rekomendasi audit pihak berwenang yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara.

“Posisi Organ Pengadaan Barang/Jasa dari unsur pengguna Jasa adalah sebagai  Pejabat Tata Usaha Negara, sehinggga produk hukum yang diterbitkan ternasuk dalam kategori Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara,” ujar Dr. Herry Sinurat yang sering didapuk menjadi narasumber pada berbagai Instansi ( Kementerian dan Pemda ), Aparat Penegak Hukum , Asosiasi Jasa Konstruksi , dll.

Lebih lanjut Pria yang pernah meraih penghargaan dari Lembaga Prestasi Indonesia Dunia (Leprid) sebagai Peraih Diversifikasi Ilmu Teknik Sipil dan Hukum dengan Jenjang Pendidikan Sebidang  ini menjelaskan, apabila dalam  menyelenggarakan kegiatan administrasi pemerintahan ditemukan adanya; a. Kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian keuangan negara. Solusinya adalah melakukan perbaikan administrasi tersebut. b. Kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara, solusinya adalah melakukan perbaikan administrasi dan mengembalikan kerugian negara yang timbul. c. Kesalahan yang tidak bersifat administrasi, misal terjadinya Suap, Gratifikasi dan OTT, solusinya adalah penyelesaian sesuai peraturan perundang - undangan yang berlaku.

Dr. Herry Sinurat lebih lanjut memaparkan, bahwa Instruksi Presiden Jokowi yang memuat tentang 8 (Delapan) perintah Presiden, antara lain Kebijakan dan diskresi tidak boleh dipidanakan, tindakan administrasi harus dibedakan dengan yang memang berniat korupsi. Aturan BPK jelas, mana pengembalian dan mana yang bukan.

Instruksi Presiden juga dipertegas dengan, “Surat Edaran Kabareskrim Polri kepada seluruh Kapolda pada tanggal 24 Agustus 2016 lalu, yang menyatakan bahwa Apabila ada pengaduan masyarakat tentang dugaan Tindak Pidana Korupsi, langkah awal yang dilakukan adalah melakukan pemberdayaan Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP) untuk melakukan pemeriksaan,” ungkapnya

“Dalam hal terjadi perbedaan pendapat dan/atau  sengketa kontraktual diantara Kontraktan, upaya yang ditempuh adalah penyelesaian melalui musyawarah mufakat. Apabila musyawarah mufakat tidak mencapai kesepakatan, solusinya diprioritaskan melalui alternatif penyelesaian sengketa diluar peradilan, antara lain mediasi, konsialiasi dan Arbitrase,” kata Dr. Herry Sinurat.

Berdasarkan Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, penegakan hukum kontrak pekerjaan konstruksi pada fase kontraktual (sejak penandatanganan kontrak sampai dengan serah terima akhir pekerjaan/FHO), adalah merupakan hubungan keperdataan.

“Jadi Aparat Penegak Hukum tidak boleh melakukan intervensi penegakan hukum, kecuali ada kerugian benda dan jiwa, OTT, suap dan gratifikasi,” pungkasnya.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top