![]() |
Ilustrasi |
Itulah salah satu bagian dalam isi surat yang dikirimkan oleh Purwaningsih, warga Jalan Gresik Surabaya kepada Presiden RI, Ir. Joko Widodo dan Kepala Kepolisian RI (Kaplori) di Jakarta. Surat tersebut dikirimkan melaui Kepala Kepolisian Derah (Kapoda) Jawa Timur, dan ditembuskan juga ke Kapolrestabes Surabaya, pada, Senin, 18 Januari 2016.
Purwaningsih atau disapa Ningsih, adalah Istri Amin Wahyoe Bagio, salah satu dari tiga tersangka dalam kasus dugaan Korupsi di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tahun 2012 lalu. Purwaningsih menuturkan, saat menemui Wartawan media ini di Pengadilan Tipikor pada, Rabu 20 Januari 2016, tekait surat yang dikirmkan kepada Presiden, karena penyidik Polrestabes Surabaya dianggap telah “melanggar Hak Azasi dan Konstutusional keluarganya sebagai warga negara RI berdasarkan UUD 1945.
Dalam penuturannya, suaminya (Amin Wahyoe Bagio) bersama Anggoro dan Anjani, ditetapkan sebagai tersangka pada 7 Maret 2015 berdasarkan Surat perintah Penyidikan No. Sp-Sidik/ 930-A / III / 2015 atas Laporan Polisi No. : LP/383/A/VII/2014, tanggal 23 Juli 2014 oleh ‘Wissang Wullantiko (anggota Polrestabes Surabaya). Kemudian pada tanggal 21 Desember 2015, penyidik melakukan penahanan kepada ketiga tersangka yang tidak sesuai dengan prosedur yang diantur dalam perundang-undangan.
“Saya hanya meminta perlindungan hukum kepada bapak Presiden Joko Widodo dan bapak Kapolri sebagai warga negara. Dalam UUD 1945, pasal 1 ayat (3) dan pasal 28D ayat (1), setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Tapi hal ini buat keluarga khususnya suami saya telah dilanggar,” tutur Ningsih.
Saat ditanya terkait pelanggaran Hak Azasi dan Konstutusional yang dialaminya, Ningsih menuturkan bahwa penyidik telah menetapkan dan menahan suaminya serta dua tersangka lain yang tidak sesuai dengan prosedur.
“AKP Soekris selaku Penyidik Polrestabes Surabaya menetapkan dan menahan suami saya dan dua tersangka lain yaitu, Anggoro dan Anjani tidak sesuai KUHP. Pasal 15 juncto pasal 69 dan pasal 70 Peraturan Kapolri No 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Kan harus ada minimal dua alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka kan ?. Pelapornya ini juga penyidik. Juga belum pernah dilakukan gelar perkara. Alat bukti yang dimili penyidik hanya foto copy. Apalagi penyidik langsung melakukan ekspos kebebrapa media massa secara besar-besaran. Apakah seperti ini hukum yang berlaku ?,” tutur Ningsih bertanya.
Lebih lanjut Ningsih, menuturkan awal kejadian penahanan suaminya oleh penyidik Polrestabes Surabaya.
“Sejak ditetapkan sebagai tersangka, suami saya dan dua tersangka lainnya diwajibkan lapor dua kali seminggu. Tapi sejak bulan Juli hingga Desember sebelum ditahan, tidak ada kejelasan dalam absensi, apakah tahanan kota atau tahanan rumah. Pada saat wajib lapor tanggal 7 Desember 2015, Ketiganya disuruh untuk menemui Kanit AKP Sukris keruang kerjanya. Alasannya karena Kanitnya baru dilantik jadi ingin bertemu, ” terang Ningsih, dengan mata berkaca-kaca.
“Beberapa saat setelah ketiganya diruang Kanit, mereka diberi map untuk menutupi wajahnya. Mereka (para tersangka) disuruh turun tangga yang ternyata diruangan tersebut sudah banyak wartawan media Cetak maupun Elektronik, habis itu mereka disuruh naik keruangan Kanit,” lanjutnya.
Terkait surat yang dikirimkan Purwaningsih, Humas Polrestabes Suarabaya, Kompol Lili, saat dihubungi melalui telepon selulernya (SMS), menjawab belum mengetahui. “Saya belum tau masaah itu. Kalau tau nomor atau tanggal suarat, saya bisa cek kepengiriman surat,” balasnya melaui SMS. “Nanti, besok saya cek ada nggak,” balasnya kemudian. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :