0
beritakorupsi.co - Terdakwa Mustopa Kamal Pasha adalah Bupati (non aktif) Mojerto, yang divonis pidana penjara selama  8 (Delapan) tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya pada Senin, 21 Januari 2019, karena kasus Tindak Pidana Korupsi (TPK) Suap pemberian 11 Izin IPPR (Prinsip Pemanfataan Ruang) dan 11 izin IMB (Izin Mendirikan Banguan) pembangunan Tower di Kabupaten Mojokerto pada tahun 2015 lalu sebesar Rp2.250.000.000 (dua miliyar dua ratus lima puluh juta rupiah) dari Onggo Wijaya, sepertinya tak puas sehingga melakukan upaya banding ke Pengadilan Tipikor Pengadilan Tinggi - Jawa Timur, Senin, 28 Januari 2019 ?

Senin, 28 Januari 2019, salah seorang Penasehat Hukum terdakwa Mustopa Kamal Pasha atau yang akrab dipanggil MKP, yakni Jumahir mendatangi Pengadilan Tipikor Surabaya di Jalan Raya Juanda Sidaorjo, Jawa Timur untuk menyatakan banding atas vonis dari Majelis Hakim.

Hal itu disampaikan Panmud Pengadilan Tipikor maupun salah seorang dari Tim JPU KPK kepada wartawan beritakorupsi.co pada, Senin, 28 Jnuari 2019.

“Terdakwa MKP (Mustopa Kamal Pasha) banding. Tadi PH (Penasehat Hukum)-nya datang menyatakan banding, hari ini kan pas 7 (tujuh) hari dari putusan Hakim tanggal 21 kemarin (21 Januari 2019.red),” kata Panmud Pengadilan Tipikor Ahmad Nur, Senin, 28 Januari 2019.

Hal yang sama juga disampaikan salah seorang dari Tim JPU KPK saat dihubungi wartawan  beritakorupsi.co.

“Ya, terdakwa MKPK banding,” kata JPU KPK.

Apakah upaya banding yang dilakukan oleh terdakwa Mustofa Kamal Pasha, karena tak puas atas Vonis pidana 8 (delapan) tahun penjara atau karena tak terima dinyatakan terbukti bersalah menurut hukum melakukan Tindak Pidana kejahatan yang luar bisa, yaitu Korupsi Suap sebesar Rp2.250.000.000 (dua miliyar dua ratus lima puluh juta rupiah) dari Onggo Wijaya terkait pemberian 11 Izin IPPR (Prinsip Pemanfataan Ruang) dan 11 izin IMB (Izin Mendirikan Banguan) pembangunan Tower di Kabupaten Mojokerto pada tahun 2015 lalu ?

Atau tak rela meninggalkan kursi empunya di Pemerintahan Kabupaten Mojokerto hingga akhir jabantannya tahun 2020 mendatang ?

Sebab, pada Senin lalu, 21 Januari 2019, Jumahir, salah seorang Penasehat Hukum terdakwa Mustopa Kamal Pasha mengatakan, tidak menerima putusan Majelis Hakaim yang menyatakan, kalau terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 12 huruf a UU RI 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI  Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP juncto pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya menyatakan; menjatuhkan hukuman pidana penjara selama selama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp500 juta subsidair 4 bulan kurungan. Dan  pidana tambahan untuk mewajibakan si Mustopa Kamal Pasha untuk mengembalikan uang yang diterima terdakwa seluruhnya sebesar Rp2.250.000.000 (dua miliyar dua ratus lima puluh juta rupiah) kepada kas negara c/q Pemda Mojokerto. Dan bilamana terdakwa tidak membayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bedandanya dapat rampas oleh Jaksa untuk dilelang. Apabila harta benda terdakwa tidak mencukupi, maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Selain itu, terdakwa juga di hukum dalam hal memili dan dipilih dalam jabatan publik yang diselenggararakan berdasarkan Peraturan Pemerintah selama 5 (lima) tahun setelah terdakwa selesai menjalani hukuman pokok.

Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap terdakwa Mustopa Kamal Pasha ini pun lebih ringan 4 tahun dari tuntutan JPU KPK
Dalam surat tuntutan JPU KPK yang dibacakan pada persidangan Jum'at, 28 Desember 2018, terdakwa dituntut pidana penjara selama 12 tahun, denda sebesar Rp750 juta subsidair 6 (enam) bulan kurungan, serta tuntutan pidana tambahan berupa mengembalikan uang suap yang diterima dan dinikmati terdakwa dari pengusaha Onggo Wijaya dan Ockyanto sebesar Rp2.750.000.000 (dua miliyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dan dipenjara selama 2 tahun apabila harta bendanya tidak mencukupi saat dirampas oleh Jaksa sebagai penggantinya bila terdakwa tidak membayar. Sehingga total hukuman penjara dalam tuntutan JPU KPK terhadap Bupati (non aktif) Mojokerto ini adalah selama 14 tahun dan 6 bulanm, serta tuntutan pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik (hak politiknya) selama 5 tahun setelah terdakwa selesai menjalani hukuman pokok (pidana penjara badan).

Sementara Penasehat Hukum terdakwa maupun terdakwa sendiri mengatakan kepada Majelis Hakim, masih pikir-pikir atas vonis tersebut.

Jumihar, kepada media ini mengatakan, pikir-pikir karena keberatan dan tak menerika putusan Majelis Hakim. Alasannya, tak satupun saksi yang mengatakan, kalau terdakwa menerima duit “haram” terkait pemberian 11 Izin IPPR dan 11 izin IMB pada tahun 2015 lalu.

“Tidak ada uang yang langsung diterima oleh terdakwa baik dari Nono. Kami tidak sependapat dengan putusan Majelis Hakim, jadi masih ada waktu selama tujuh haru untuk pikir-pikir,” ujar Jumihar, Senin, 21 Januari 2019.

Anehnya, Penasehat Hukum terdakwa ini mengatakan, kalau terdakwa Mustopa Kamal Pasha tidak menerima duit “haram” seperti dalam surat dakwaan dan surat tuntutan JPU KPK maupun dalam surat putusan Majelis Hakim.

Padahal, salah seorang saksi kunci, sekaligus sebagai orang kepercayaan terdakwa, yakni Nano Santoso Hudiarti alias Nono, mantan Kepala Desa sekaligus juru kampanye terdakwa mengakui kepada majelis Hakim, kalau dirinya (Nano Santoso Hudiarti alias Nono) diperintahkan oleh terdakwa untuk menerima duit dari “haram” itu.dan diserahkan kepada terdakwa.

Tidak hanya itu. Nano Santoso Hudiarti alias Nono juga dikatakan saksi lainnya, bahwa Nano Santoso Hudiarti alias Nono berperan untuk merekomdasi mutasi para Kepala Sekolah SMP di Kabupatena Mojokerto.

Dalam surat dakwaan, surat tuntutan JPU KPK maupun dalam surat putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Suaranaya dijelaskan, bahwa pada awal tahun 2015, terdakwa Mustofa Kamal Pasha mendapat laporan dari Suharsono selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kabupaten Mojokerto, bahwa di wilayah Kabupaten Mojokerto banyak ditemukan Tower Telekomunikasi yang telah beroperasi yang belum memiliki Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Atas laporan itu, lanjut Majelis Hakim, terdakwa memerintahkan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kabupaten Mojokerto untuk dilakukan pemetaan dan pendataan ke sejumlah Tower Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto yang belum memiliki izin.

Menindaklanjuti perintah terdakwa, Suharsono melakukan pemetaan dan menemukan ada sekitar 22 tower Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum memiliki IPPR dan IMB, yakni 11 Tower atas nama perusahaan PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (PT TBG),  dan 11 Tower lagi atas nama PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT Protelindo). Atas temuan tersebut, Suharsono melaporkan kepada Terdakwa, dimana Terdakwa kemudian memerintahkan agar dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut sampai ada izin IPPR dan IMB-nya.

Majelis Hakim menyatakan, setelah dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut, terdakwa memerintahkan Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto, terkait perijinan dari tower dimaksud harus ada fee untuk terdakwa sebesar Rp200 juta per towernya, dan fee tersebut agar diserahkan melalui orang kepercayaannya yakni Nano Santoso Hudiarti alias Nono.

Dalam fakta persidangan sebelumnya terungkap, bahwa Nano Santoso Hudiarti alias Nono adalah mantan Lurah di Mojokerto yang kemudian menjadi tim pemanangan terdakwa Mustofa Kamal Pasha saat Pilkada Mojokerto pada tahun 2010 lalu menjadi tangan kana terdakwa untuk menerima duit serta berperan juga untuk merekomondasi mutasi para Kepala Sekolah di Kabupaten Mojokerto.
Dan setelah Mustofa Kamal Pasha terpilih menjadi Bupati Mojokerto Periode 2010 - 2015, Nano Santoso Hudiarti alias Nono pun menjadi orang kepercayaan Mustofa Kamal Pasha. Dan pengakuan Nano Santoso Hudiarti alias Nono dalam persidangan menjelaskan, bahwa dirinya diperintahkan oleh terdakwa untuk menerima uang dari pengurusan izin tower serta penerimaan uang dari Dinas-Dinas lainnya. Tidak hanya itu. Dalam persidangan juga terungkap bahwa Nano Santoso Hudiarti alias Nono berperan dalam mutasi beberapa pejabat di Kabupaten Mojokerto. Namun terdakwa tidak mengakui apa yang dijelaskan oleh orang dekatnya itu.

Majelis Hakim pun membeberkan asal usul duit “haram” yang diterima terdakwa terkait pemberian rekomendasi 11 izin IPPR dan IMB pembangunan Tower, diantaranya ;

a. Penerimaan fee dari PT Tower Bersama Infrastructure Tower Bersama Grup (TBG) Beberapa hari setelah dilakukan penyegelan terhadap 11 tower telekomunikasi milik PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Group (TBG). Sekitar awal tahun 2015, Ockyanto  meminta bantuan Nabiel Titawano untuk mengurus perizinan atas 11 tower yang disegel tersebut, dimana dalam perjalanannya, pengurusan perijinan dibantu oleh Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro

Dalam rangka pengurusan ijin tower tersebut, sekitar bulan April 2015, Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro melakukan pertemuan dengan Bambang Hahyudi. Dalam pertemuan itu,  Bambang Hahyudi menyampaikan untuk mendapatkan IPPR dan IMB harus disediakan fee sebesar Rp220 juta per tower dengan rincian;  Rp200 juta untuk terdakwa dan Rp20 untuk UKL dan UKP. Sehingga fee untuk 11 tower yang harus disiapkan adalah sebesar Rp2.420 milliar.

“Permintaan itu disanggupi Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro, dan akan disampaikan kepada Nabiel Titawano selaku pihak yang mewakili PT TBG. Beberapa hari setelah pertemuan, Agus Suharyanto menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Nabiel Titawano dan disepakati oleh Nabiel Titawano,” kata anggota Majelis Hakim Dr. Andriano saat membacakan suruta putusan.

Majelis Hakim menjelaskan, kemudian Nabiel Titawano menemui Ockyanto yang menyampaikan, bahwa ia sanggup mengurus ijin tower, tetapi harus disiapkan fee untuk terdakwa sekaligus biaya operasional yang seluruhnya sebesar Rp2.6 milliar, dengan perhitungan per towernya sebesar Rp260 juta, dan disepakati Ockyanto, setelah berbicara dengan Herman Setyabudi selaku Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastructure.

“Pada bulan Juni 2015, Ockyanto menyerahkan uang seluruhnya sebesar Rp2.600 milyar kepada Nabiel Titawano melalui transfer ke Rekening Bank BCA cabang Pondok Indah Nomor rekening 04980347678 atas nama Nabiel Titawano dalam tiga tahap yakni ; Tanggal 10 Juni 2015 sebesar Rp780 juta; Tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp780 juta rupiah); Tanggal 30 Juni 2015 sebesar Rp1.040 milyar,” ungkap Majelis Hakim

“Dari total uang sebesar Rp2.600 milyar yang diterima Nabiel Titawano tersebut, sebesar Rp2.410 milyar diserahkan kepada Agus Suharyanto secara bertahap, yakni  I. Sekitar awal bulan Juni  2015 diberikan secara tunai sebesar Rp220 juta,; 2. Tanggal 11 Juni 2015 melalul transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp350 juta,; 3. Tanggal 11 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp300 juta,; 4. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 5. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 6. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia  dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 7. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 8. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 9. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia  dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 10.Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Vici Dwi Indarta sebesar Rp220 .juta. Sedangkan sebesar Rp190 juta dinikmati Nabiel Titawano,” beber Majelis Hakim kemudian.

Dari total uang yang diterima Agus Suharyanto seluruhnya sebesar Rp2.410 milliar itu, kemudian diserahkannya kepada Moh. Ali Kuncoro secara bertahap, dengan rincian sebagai berikut : 1. Awal Juni 2015 rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Awal Juni 2015 di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto sebesar Rp200 juta,; 3. Pertengahan Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 4. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar. Sedangkan sebesar Rp10 juta dinikmati Agus Suharyanto.

Majelis Hakim mengungkapkan dalam surat putusannya, dari total uang yang diterima Moh. Ali Kuncoro sebesar Rp2.400 milliar, dan Rp2.200 milliar  diserahkan kepada Bambang Hayudi yaitu : 1. Tanggal 11 Juni 2015 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dlanggu, Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Tanggal 17 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 3. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar.

“Sedangkan sebesar Rp100 juta diserahkan kepada Khoiru; Munif selaku Kepala Bidang Pelayanan Perizinan Terpadu, yang mengurusi masalah pembayaran retribusi IMB, dan sebesar Rp100 juta dinikmati Moh. Ali Kuncoro,” kata Majelis Hakim

Sesuai perintah terdakwa, Bambang Wahyudi kemudian menyerahkan uang fee sebesar Rp2.200 milliar kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono secara bertahap, yakni Pertama (1) pada bulan Juni 2015 besar Rp600 juta,  diserahkan di parkiran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo,; 2. Pada bulan Juni 2015, sebesar Rp600 juta diserahkan di sekitar masjid di daerah Merr, Mojokerto,; 3. Pada tanggal 30 Juni 2015 sebesar Rp1 milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing, Mojokerto.

Selanjutnya, Nano Santoso Hudiarti alias Nono, atas perintah terdakwa, menyerahkan fee itu kepada Lutfi Arif Muttaqin selaku ajudan terdakwa secara bertahap yakni ; 1. Sebesar Rp600 juta diserahkan di parklran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo,; 2. Sebesar Rp600 juta  diserahkan di sekitar masjid di daerah Meri, Mojokerto,; 3. Sebesar Rp1 milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing Mojokerto. Setelah menerima fee tersebut, Lutfi Arif Muttaqin menyimpannya di rumah dinas terdakwa dan setelah itu melaporkannya kepada terdakwa.
“Setelah merima fee, terdakwa kemudian mengeluarkan 11 Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan 11 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di beberapa Desa, dan beberapa Kecamatan Kabupaten Mojokerto, atas tower telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastucture/Tower Bersama Grup (TBG) yang diajukan oleh Herman Setya Budi dari PT Sulusindo Pratama antara bulan Juni hingga Juli 2015,” kata Majelis Hakim kemudian

Dan Majelis Hakim juga membeberkan asal usul duit “haram” lainnya yang diterima oleh terdakwa yang masih berhubungan dengan  pemberian rekomendasi izin IPPR dan IMB diantaranya ;

b. Penerimaan uang dari PT Protelindo atas penyegelan 11 tower telekomunikasi PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), Onggo Wijaya memerintahkan Indra Mardani dan Suciratin untuk menyelesaikannya, kemudian Indra Mardani dan Suciratin meminta bantuan Ahmad Suhawi, dimana Ahmad Suhawi menyanggupinya asal disediakan biaya termasuk fee untuk terdakwa. Akhirnya disepakati biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk terdakwa seluruhnya sebesar Rp3.030.612.247 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah).

Setelah ada kesepakatan, pada awal bulan Juni 2015, Ahmad Suhawi menemui terdakwa di Vila milik terdakwa, meminta bantuan terkait penyegelan tower telekomunikasi milik PT Protelindo, dimana terdakwa menyampaikan agar diurus melalui BPTPM Kabupaten Mojokerto. Setelah pertemuan itu, Ahmad Suhawi menemui Bambang Hayudi di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto, menanyakan tentang penyegelan tower telekomunikasi PT Protelido, Ialu Bambang Hayudi menyanggupinya.

Majelis Hakim menyebutkan, pada tanggal 22 Oktober 2015 sebesar Rp275.510.204 (dua ratus tujuh puluh lima juta lima ratus sepuluh ribu dua ratus empat rupiah). Dari total uang yang diterima Ahmad Suhawi sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) itu, sebesar Rp2.460 milliar diberikan kepada Subhan secara bertahap melalui cek dan melalui transfer dengan rincian sebagai berikut :

1. tanggal 16 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Utami Surabaya,; 2. tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Mercure Surabaya,; 3. tanggal 23 Juni 2015 sebesar Rp150 juta di Bank BRI Cabang Jembatan Merah Surabaya,; 4. tanggal 25 Juni 2015 secara tunai sebesar Rp850 juta di Bank BRI Mojokerto Cabang Mojopahit,; 5. 17 September 2015 melalui cek sebesar Rp460 juta di Gedung Bidakara. Sedangkan sisanya sebesar Rp570.612.255 (lima ratus tujuh puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) dinikmati Ahmad Suhawi

Pada tanggal 20 Mei 2015, sebelum Achmat Subhan menerima uang dari Ahmad Suhawi, Achmat  Subhan menemui Bambang Wahyudi, dan menyampaiakan bahwa PT. Protelindo sanggup memberikan uang untuk biaya pengurusan izin termasuk fee untuk terdakwa sebesar  Rp2.2 milliar, atau sebesar Rp200 juta per towernya. Dan la akan memberikan uang muka terlebih dahulu sebesar Rp550 juta kepada terdakwa.

Setelah pertemuan itu, Bambang Wahyudi meminta Khoirul Munif untuk segera memfinalisasi berkas permohonan pengurusan 11 Izin tower telekomunikasi milik Protelindo.

Pada tanggal 24 Juni 2015, Bambang Wahyudi menemui terdakwa di ruang kerjanya, mengajukan permohonan rekomendasi pendirian 11 menara (tower) telekomunikasi dari PT  Protelindo guna mendapatkan disposisi dari terdakwa. Sebelum memberikan disposisi, terdakwa menanyakan fee sebagaimana pernah disampaikan sebelumnya kepada Bambang Hayudi, dan mendapat jawaban uang fee telah disanggupi.

Majelis Hakim mengatakan, pada tanggal 25 Juni 2015, Achmat Subhan dan Ahmad Suhawai melakukan pertemuan dengan Bambang Wahyudi di perumahan Griya Permata Meri Mojokerto  guna menyerahkan uang muka sebesar Rp550 juta sebagai fee untuk terdakwa.

Atas perintah Terdakwa sebelumnya, agar uang fee diserahkan melalui Nano Santoso Hudiarti alias Nono, maka Bambang Wahyudi kemudian menghubungi Nano Santoso Hudiarti alias Nono, meminta untuk datang ke perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto guna mengambil uang tersebut. Sesampainya Nano Santoso Hudiarti alias Nono ditempat tersebut, Achmat Subhan kemudian menyerahkan uang sebesar Rp550 juta kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono.

“Setelah menerima uang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono meminta Lutfi Arif Muttaqim (ajudan Bupati) untuk  menemuinya di daerah Mojosari Mojokerto, dan setelah Lutfi Arif Muttaqim datang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono menyerahkan uang sebesar Rp550 .juta itu kepada Lutfi Arif Muttaqim, dan uang itu  kemudian disimpan Lutfi Arif Muttaqim di meja kerja ruang dinas terdakwa, dan melaporkanya. Setelah uang diterima terdakwa, Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas 11 tower telekomunikasi PT Protelindo itupun diterbitkan” ujar Majelsi Hakim 
Herman Setya Budi, Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk dan Direktur Utaama PT Solu Sindo Kreasi Pratama), Budianto  Purwahjo (Direktur PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk,. Alexandra Yota Dharmawanti, Division Hand
Bahwa terdakwa mengetahui atau patut menduga, uang yang seluruhnya sebesar Rp2.750.000.000 (dua milyar tujuh ratus lima puluh juta ruplah) yang diterima terdakwa dari  Ockyanto sebesar Rp2.200.000.000 (dua milyar dua ratusjuta rupiah), dan dari Onggo Wijaya sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) melalui Bambang Wahyudi, Nano Santoso Hudiarti alias Nono dan Lutfi Arif Muttaqim, supaya terdakwa selaku Bupati Mojokerto memberikan rekomendasi terbitnya Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izln Mendlrikan Bangunan (IMB) atas beroperasinya Tower Telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (TBG) dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protellndo) di wilayah kabupaten Mojokerto.

Majelis Hakim menjelaskan, berdasarkan fakta-fakta hukum, bahwa Terdakwa Mustofa Kamal Pasha melalui Bambang Wahyudi, Nano Santoso Hudiarti alias Nono dan Lutfi Arif Muttaqim sejumlah Rp2.750.000.000 (dua milyar tujuh ratus lima puluh juta ruplah) sebagai fee dari pemberian 11 izin IPPR dan 11 izin IMB Tower di Kabupaten Mojokerto.

Padahal, lanjut Majelis Hakim, uang yang diterima oleh terdakwa bertentangan dengan kewajibannya  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, angka 4 yang menyatakan : “Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan  perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. Angka 6 yang menyatakan : “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” kata JPU KPK dalam surat dakwaannya.

Selain itu, lanjut Majelis Hakim saat membacakan surat putusannya, Pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan: “Setiap PNS dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.

Majelis Hakim mengatakan, bahwa perbuatan Terdakwa Mustofa Kamal Pasha terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagalmana telah dlubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tlndak Pidana Korupsl juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana sebagaimana dalam dakwaan Primair.

Dan Majelis Hakim sependapat dengan surat tuntutan JPU KPK dan tidak sependapat dengan pembelaan yang disampaikan oleh Penasehat Hukum terdakwa, sehingga terdakwa haruslah di hukum sesuai dengan perbuatannya.

“ Majelis berpendapat, bahwa pasal yang dikenakan oleh Jaksa terhadap terdakwa sudah tepat, dan tidak sependapat dengan pembelaan Penasehat Hukum terdakwa,” ucap Majelis Hakim (Senin, 21 Jaanuri 2019).

Apakah Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pengadilan Tinggi - Jawa Timur akan mengabulkan keberatan, atau bahkan akan menambah hukuman terdakwa ?. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top