0
Terdakwa Oepoyo Sarjono dengan santai membaca surat dakwaa
beritakorupsi.co – Pada Selasa, 3 Oktober 2017, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) “menyeret” Oepoyo Sarjono, Direktur Utama PT Sempulur Adi Mandiri (PT SAM), untuk diadili di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Suarabaya, dan terancam 20 tahun penjara.

Sementara tersangka Sam Santoso (Direktur PT SAM), hingga saat ini belum dilimpahkan ke Pengadilan untuk diadili bersama koleganya, karena kondisi sakit.

Oepojo Sardjono, dan Sam Santoso (Direktur PT SAM) adalah selaku pembeli Dua asset milik Pemprov. Jatim yang terletak di Kediri dan Tulungagung, yang di kelola dan dijual oleh PT Panca Wira Usaha (PT PWU) dibawah kepemimpinan terdakwa Dahlan Iskan, selaku Direktur Utama (di Vonis 2 Tahun Penjara di Pengadilan Tipikor Suarabaya, lalu dibebaskan Hakim Penadilan Tinggi Jatim dan saat ini Jaksa upaya Kasasi) dan Wishnu Wardana, selaku Ketua Tim penjualan asset, (di Vonis 3 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Suarabaya maupun di PT).

Terdakwa Oepoyo Sarjono, yang duduk dikursi “panas” pengadilan Tipikor Surabaya untuk mendengarkan surat dakwaan JPU terhadap dirinya dengan sikap gelisah. Bahkan terkesan tidak menghormati Majelis Hakim Yang Mulia. Cara duduk pengusaha yang kini menyandang gelar terdakwa ini ibarat duduk di sebuah warung Kopi sambil membaca Koran. Namun Majelis Hakim sepertinya memakluminya sehingga tidak menegur.

Dalam persidangan yang diketuai Majelis Hakim H.R. Unggul Warso Mukti, dengan agenda pembacaan surat dakwaan JPU, yang menyatakan bahwa, penjualan asset PT PWU tidak sesuai dengan prosedur, sehingga menguntungkan pihak pembeli.

Hal inipun sesuai dengan putusan Majelis Hakim pada persidangan dengan terdakwa Dahlan Isakan. Majelis Hakim menyatakan, seharusnya nilai penjualan untuk asset berupa tanah dan bangunan yang terletak di Tulungagung, seluas 24 ribu meter lebih sebesar Rp 10.086.848.000, namun dijual dengan harga Rp 8.750.000.000. Sementara asset di Kediri, berupa tanah dan bangunan seluas 32.492 meter dijual dengan harga Rp 17 milliar lebih, yang seharusnya dijual berdasarkan harga NJPO sebesar Rp 24 milliar lebih. Sehingga terjadi selisih harga senilai Rp 11.071.914.000 yang menguntungkan Oepoyo Sarjono dan Sam Santoso selaku pribadi. Sebab PT Sempulur Adi Mandiri pada saat terjadinya transaksi, belum mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.

JPU pun menjerat terdakwa Oepoyo sanrjono, dengan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo pasal 18 UU Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Perbuatan terdakwa Oepoyo Sarjono diatur dan diancam sebagaimana dalam pasal2 ayat (1) atau pasal 3 jo pasal 18 UU Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ucap JPU Linda.

Usai JPU membacakan surat dakwaannya, Penasehat Hukum (PH) terdakwa, Samsul Huda Yuda menyatakan akan mengajukan Eksepsi atas surat dakwaan JPU sekaligus menyampaikan surat permohonan penangguhan penahanan terdakwa kepada Majelis Hakim dengan alasan sakit.

Terdakwa Oepoyo Sarjono pun menyampiakan kepada Majelis tentang sakit yang dideritanya, yaitu jantung, yang sudah pernah berobat ke Singapur. Akankah Majelis Hakim mengabulkan permohonan penangguhan tahan terdakwa tanpa meminta keterangan dari dokter yang menyatakan tentang penyakit terdakwa ?

Alasan PH terdakwa untuk menyampaikan Eksepsi atas surat dakwaan JPU karena dianggap, bahwa proses penjualan asset Daerah yang dijual PT PWU tanpa prosedur, bukanlah kesalahan terdakwa. Bahkan, terkait aksi yang dilakukan terdakwa “mengembalikan” uang sebesar Rp 2 milliar saat di penyidikan, menurut Samsul, bahwa itu adalah etikat baik terdakwa tetapi harus dibuktikan telebih dahulu. Menurutnya, apabila kemudian terdakwa tidak bersalah, maka uang yang dititipkan terdakwa harus dikembalikan.

“Ada Tiga catatan yang pertama, ialah perusahaan PT PWU itukan PT bentuknya bukan perusahaan daerah. Otomatis kalau PT maka belum ada Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007. Kalau kemudian pelepasan asset yang dianggap tidak produktif sudah memalui forum RUPS, itu sudah sesuai dengan mekanisme. Yang Kedua, kita ini kan sebagai pembeli yang beretikat baik, mengikuti semua persyaratan yang ada. Terkait ketidak absahan, apakah harus mengikuti aturan PT, Pergub atau aturan yang lain, ini kan perbedaan pendapat dan menjadi domain PT PWU bukan perusahaan dan kami. Yang ketiga adalah, dalam surat dakwaan penuntut umum sama sekali tidak punya peran didalm unsur kedau perbuatan melawan hokum,” kata Samsul.

Saat ditanya, terkait pembelian aseet PT PWU oleh terdakwa dan tersangka Sam Santoso selaku pribadi dan bukan sebagai PT Sempulur Adi Mandiri (PT SAM), karena PT SAM belum mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Namun menurut Samsul, pengacara asal Jakarta ini menanggapi, bahwa PT yang didirikan walau belum mendapat pengesahan dari pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Hukum dan HAM, adalah sah-sah aja. Pada hal, memeliki dengan masih dalam proses jelas berbeda.

“Perhatikan ia, kapan sebuah PT dianggap berbadan Hukum. Apakah ketika sudah ada Akte pendirian atau setelah ada SK, biar hokum pidana yang menjawab. Menurut kami, ketika PT sudah didirikan secara notaril, saat itu adalah dalam proses unntuk mendapatkan SK tersebut. Itu kan beda pendapat kalau itu diangap tidak sah,” jelasnya.

Fakta Persidangan

Dalam BAP Sam Santoso yang dibacakan dalam persidangan menjelaskan, bahwa dirinya bertemu dengan Dahlan Iskan, selaku Direktur Utama PT PWU, di Graha Pena, Jalan A. Yani yang saat ini menjadi kantor Jawa Pos, untuk menanyakkan terkait informasi penjulan sebidang tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten Kediri dan Tulungagung.

Beberapa hari kemudian, Sam Santoso menemui Dahlan Iskan di Gra Pena untuk menyampaikan penawarannya untuk dua asset PT PWU yang hendak dijual di Kediri, senilai Rp 17 milliar dan di Tulungagung senilai Rp 8,750 milliar. Dari penawaran Sam Santoso, Dahlan Iskan tidak langsung menyetuji saat itu juga, melainkan menunggu beberapa hari kemudian.

Pertemuan antara Sam Santoso, Dahlan Iskan dan Wishnu Wardhana, yang menghasilkan kesepakatan nilai asset PT PWU di Kediri dan Tulangagung, diperkirakan sekitar awal Mei 2003, yang merujuk pada pembayaran aset di Kediri senilai Rp 17 miliar pada 3 Juni 2003.

Sementara itu, Sam Santoso baru melakukan pembayaran aset di Tulungagung senilai Rp 8,75 miliar pada tanggal 30 Agustus 2003, sedangkan penawaran untuk aset di Tulungagung baru dibuka sekitar taggal 8 September 2003. Dari keterangan Sam Santoso di BAP, bahwa kesepakatan jual-beli aset telah dilakukan jauh sebelum penawaran dibuka.

Selain keterangan Sam Santoso yang dibacakan JPU, juga membacakan keterangan saksi Imam Utomo, mantan Gubernur Jawa Timur, karena tidak bisa hadir dalam persidangan dengan alasan sakit.

Imam Utomo mengakui dalam BAP-nya, ada surat dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang ditujukan ke Dirut PT PWU. Dan Dia (Imam Utomo) menjelaskan dalam BPA yang dibacakan, tidak pernah mengeluarkan Surat Keputusan tentang persetujuan pelepasan asset PT PWU Jatim. Surat yang pernah dikeluarkan Imam Utomo, menindaklanjuti surat dari Ketua DPRD Jatim.

Kasus ini pun menimbulkan pertanyaan. Apakah penyidik Kejati Jatim hanya menyeret 4 tersangka/terdakwa (Wishnu Wardana, Dahlan Iskan, Oepojo Sarjono dan Sam Santoso) dalam pelepasan asset milik Pemprov Jatim ini ? Lalu bagaimana dengan panitia lelang yang menerima honor namun tidak melaksanakan tugasnya ?. (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top