Ketua Majelis Hakim H.R Unggul Warsomurti |
Hal itu diucapkan Ketua Majelis Hakim H.R Unggul Warso Murti, diruang sidang Candra, Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, saat pemeriksaan Dua orang saksi yang dihadirkan JPU dari Kejati Jatim, pada Selasa, 7 Juni 2016. Kedua saksi yang dimaksud yakni, Mansyur, selaku mantan Kepala Desa (Kades) Desa Bades, Kecamatan Pasirian, Lumajang dan Yayuk, Kepala Sub Seksi (Kasubsi) Kawasan Hutan, Provinsi Jawa Timur. Kedua saksi ini dihadirkan JPU Adam, Lilly LindawatI Cs dari Kejati Jatim untuk terdakwa Lam Chong San (Dirit PT IMMS) dan R Abdul Ghofur, mantan Kepada Bidang Pengawasan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Lumajang.
Rencana Ketua Majelis Hakim H.R Unggul Warso Murti, untuk melakukan sidang pemeriksaan setempat (PS) di lokasi penambangan pasir besi (Galian B) milik PT Indo Modern Minning Sejahtera (IMMS) di Desa Bades, Kecamatan Pasirian, Lumajang, Jawa Timur, setelah mendengarkan keterangan saksi dari pihak Perhutani.
Sebab, yang dipermasalahkan penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur (Jatim) dalam kasus dugaan Korupsi penambangan pasir milik PT Indo Modern Minning Sejahtera (IMMS) adalah, salah satunya karena tidak memilik ijin AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan ijin dari pihak Perhutani, namun sudah melakukan kegiatan. Sehingga kerugian negara karena tidak membayar royalti atas penjualan hasil tambang (Galian B) tersebut.
Sejak Awal Tidak Ada Tindakan Tegas, Perhutani Sepertinya “Sengaja Memenjarakan” PT IMMS Setelah Tiga Tahun Kemudian
Lokasi penambangan PT IMMS, di Desa Bades, Kecamatan Pasirian, Lumajang, Jawa Timur menjadi masalah karena, disatu sisi, lokasi tesebut adalah milik Perhutani, disisi lain milik Pemda Lumajang. Sehingga, ijin yang dimiliki PT IMMS adalah dari Dinas Pengairan Pemda. Sehingga, pihak Perhutani dihadirkan dalam persidangan.
Dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim, Yayuk, menjelaskan bahwa, lokasi penambangan yang dilakukan oleh PT IMMS adalah milik Perhutani seluas 40 %. “40% milik Perhutani. Ada batas sampai ke pinggir pantai, dalam dokumen diberi tanda. Ada patok permanen di milik Perhutani. BPN tidak membawahi Perhutani, tidak masuk ke daftar BPN,” jawab Yayuk.
Saat Ketua Majelis Hakim menanyakkan lebih jelasnya, apakah lokasi yang dimaksud seluas 40% sebagai milik pihak perhutani terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau tidak. Namun, apa yang dijelaskan Yayuk ini selaku pihak Perhutani, justru membuat Ketua Majelis Hakim tidak puas. Akibatnya, Ketua Majelis Hakim pun meminta akan berencana melaksanakan sidang Pemeriksaan setempat.
“APakah lokasi yang saudara jelaskan itu terdaftar di BPN ?. Perhuatni tidak punya batas tanah secara nyata, yang ada hanya di dokumen dan tidak ada di BPN. Saudara jangan menyimpulkan sendiri,” ucap Ketua Majelis Hakim yang dikenal sangat tegas dalam menangani setiap perkara Korupsi. “Kita akan lakukan sidang lokasi kalu gitu,” kata Ketua Majelis dengan tegas (“Sepertinya hanya sekedar ucapan”).
Sebelumnya, keterangan mantan Kades Desa Bades, Kecamatan Pasirian, Lumajang, Mansyur, kepada Majelis Hakim menjelaskan, pada tahun 2009, ada sosialisasi yang dilaksanakan oleh Pemda terkait rencana penambangan dan masyarakat tidak ada yang keberatan. Masyur juga menjelaskan, bahwa kiatan penambangan sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat bahkan ada yang dari luar (dari luar daerah Lumajang).
“Ada sosialisasi yang dilakukan Pemda terkait penambangan. Masyarakat tidak ada yang keberatan. PLN bisa masuk. Lokasi penambangan banyak tapi nggak tau berapa banyak. Penambangan (masyarakat) liar yang melakukan penambangan tidak ada yang pake alat berat, yang melakukan penambangan ada juga yang dari luar, sering ada keributan,” kata mantan Kades ini kepada Majelis.
PT IMMS Memabayar Iuran Tetap Dan Royalti Sebesar 3,75% Per Ton Kerekening Kementerian
Keterangan Kedua saksi ini, sama dengan keterangan saat keduanya diperiksa oleh penyidik Kejati Jatin. Tidak hanya itu, keterangan saksi Masyur selaku mantan Kades ini sama dengan keterangan saksi sebelumnya yakni Yita Alfiana, mantan Direktur PT IMMS yang mengatakan bahwa pada tahun 2012, PT IMMS pernah melaporkan ke pihak kepolisian terkait adanya penambangan liar di lokasi PT IMMS. Bahkan, terdakwa Lam Chong San dan saksi Vita Alfiana mengatakan kepada media ini, bahwa PT IMMS telah memperoleh ijin dari Dinas Pengairan karena lokasi itu adalah milik Pemda menurut Pemda sendiri. Bahhkan PT IMMS telah membayar iuran tetap sejak 2008 yang besarnya hampir 200 juta rupiah pertahun. Iuran tetap dan royalti sebesar 3,75% dari harga per ton langsung dibayar Kementerian. “Nanti buktinya akan saya tunjukkan,” kata Sam, panggilan terdakwa Lam Chong San.
Usai persidangan, saat wartawan media ini meminta tanggapan dari Yayuk, namun tidak menghiraukan dengan terburu-buru meninggalkan gedung Pengadilan Tipikor. “Sama seperti dalam persidangan tadi,” kata pria yang mengawal Yayuk. Sementara JPU Adam, terkait rencana Ketua Majelis Hakim melaksanakan sidang lokasi mengatakan, bahwa itu adalah kewenangan Majelis. Sementara atas keterangan saksi dari pihak Perhutani, JPU Adam mengatakan, bahwa apa yang dijelaskan saksi Yayuk sama dengan di lokasi.
Sementara, beberapa Hari lalu, Vita Alfiana, selaku mentan Direktur PT IMMS mengatakan kepada media ini bahwa, pada 2010, belum ada kegiatan karena semua ijin termasuk dari Dinas Pengairan belum dimiliki PT IMMS. Pada 2011, baru ada ijin dari Pengairan Pemda Lumajang. Sementar ijin dari pihak Perhutanan maupun PTP tidak ada ijin karena lokasi tersebut adalah milik Pemda.
PT IMMS Telah Memiliki Ijin IUP (Eksploitasi), IUP-OP (Produksi), AMDAL Dan CnC
“Pada 2010, kita mengajukan ijin IUP produksi Eksploitasi. Salah satu syarat untuk mengajukan IUP-OP, harus ada persetujuan AMDAL dari Bupati. Setelah itu kita baru mengajukan IUP-OP. Ijin AMDAL keluar Juni 2010 dan ijin IUP-OP keluar pada Juli 2010. Setelah keluar ijin AMDAL, baru keluar ijin IUP-OP. Jadi selama tahun 2010 sampai 2011, tidak ada kegiatan, karena nggak boleh sama Masyarakat juga karena belum ada ijin dari Pengairan. Penambangan yang ada dilokasi milik PT IMMS itu dilakukan oleh masyarakat sejak dulu. Pada tahun 2012, PT IMMS membeli dari masyarakat yang melakukan penambangan dilokasi PT IMMS tapi belum Eksport. Kalau nggak beli dari Masyarakat, ia nggak ada kegiatan.” ungkap Vita.
Saat ditanya, mengenai kegiatan PT IMMS sejak 2008 hingg 2010 dan tindakan Pt IMMS atas kegiatan Masyarakat, Vita menjelaskan, PT IMMS hanya melakukan Ekplorasi (penelitian dan pengambilan sample).
“Pada tahun 2011, baru keluar ijin dari Pengairan. Kita bisa Eksport setelah ijin SPE keluar pada tahun 2012. Jadi semua ijin lengkap yang dimiliki PT IMMS baru pada tahun 2012. Tahun 2013, PT IMMS baru makukan penambangan hingga Eksport. Tapi tahun 2012, kita pernah melaporkan tindakan Masyarakat ke Kepolisan bahkan sampai ke Mabes,” kata Vita, seperti menyimpan seseuatu hal yang sulit diungkapkan terkait laopran itu.
Terkait kasus dugaan korupsi yang dituduhkan oleh Jaksa kepada PT IMMS, karena makukan penambangan Ilegal alias tidak memiliki ijin AMDAL dan tidak membayar loyalti kepada Pemerintah, mantan Direktur PT IMMS itu menjelaskan kepada media ini, bahw PT IMMS melakukan penambangan setelah memiliki ijin lengkap dari Pemda Lumajang maupun dari kementerian.
“PT IMMS memiliki ijin lengkap pada akhir tahun 2012. Kemudian melakukan eksport pada tahun 2013 setelah ijin itu lengkap tahun 2012. Tapi masyarakat masih tetap melakukan penambangan di lokasi PT IMMS. Royalti yang kita bayar PT IMMS langsung ke Kementerian sebesar 3,75% dikali harga per to. Kalau iuran tetap dibayar pertahun. Semuanya dibayar ke rekening kementerian. Kalau ke Pemda, itu dari yang 3,75% itu, tapi itu dari kementerian bukan dari kita,” ungkap Vita.
Sementara, terdakwa Lam Chong San, selaku Dirut PT IMMS kepada media ini juga mengkatan, bahwa, dirinya adalah sebagai korban. Pengurusan Ijin ternyata tidak cukup hanya dari Pemerintah maupun dari masyarakat. Menurut Lam Chong San, pengurusan ijin resmi dari Pemerintah tapi belum tentu bisa dipergunakan bila tidak ada ijin “ilegal” dari masyarakat yang melakukan penambangan di lokasi milik perusahaan yang dipimpinnya itu.
“Sejak 2008 PT IMMS sudah memiliki ijin. Tapi ijinnya itu kan banyak. Kalai ijin AMDAL itu hanya sedikit. Tahun 2010 ijin AMDAL. Tahun 2012, mulai ada persiapan penambangan tapi masyarakatnya loh ya bukan kita. Tahun 2013, baru betul-betul eksploitasi, gali, proses dan eksport. Kegiatan tahun 2011 tidak ada, tahun 2012 ada tapi ilegal karena kita laporkan. Ada yang ditangkap tersangkanya H.Tohir dan ada yang lari (DPO) yaitu Subeni. Jadi bukan PT IMMS yang melakukan penambangan liar,” kata San panggilan terdakwa Lam Chong San.
Terdakwa : Apa Bukan Perhutani Yang Nyolong (mencuri) Punya Kita, LMDH Apa Itu Dia Bukan Punya Orang ?
Masyarakat, lanjut terdakwa San, yang melakukan penambangan itu di tananhnya sendiri, tanamannya sendiri tapi kita yang bayar sama masyarakat. Satu ton ada yang 25 ribu, 55 ribu. Kita bayar kepemilik lahan 250 ribu, bayar ke Desa 150 ribu, portalnya 70 ribu.
“Apa bukan perhutani yang nyolong (mencuri) punya kita, LMDH (lembaga Masyarakat Desa Hutan.red) apa itu dia bukan punya orang ? Superno, Parno, Paino, Pasuti apa bukan orang LMDH ? Perhutani bilang itu bukan tanahnya dia, ia sudah. KitA dikasih beli malah kita yang masuk penjara, hukum apa ini ?,” katanya dengan nada kecewa.
“Kasus Penambangan Pasir Besi Di Lumajang Ibarat Sumber Air di Gurun Pasir”
Yang menarik dalam kasus ini adalah, bahwa kasus penambangan pasir besi di lumajang ibarat sumber air di gurun pasir. Sebab, aliran dana dari hasil penjualan penambangan pasir (galian C) tersebut Rp 650 ribu per tronton dikali 200 hingga 300 tronton perhari atau sekitar Rp 4 hingga 5,8 milliar setiap bulan, yang diduga,”uang setan” tersebut masuk kekantong peribadi beberapa pejabat Pemda Lumajang malau dari Kepala Desa, dan bisa juga hingga ke Pemerintah Provinsi Jawa timur.
Namun penyidikan yang dilakukan oleh Kejati Jatim, ibarat menghadapi “musuh dalam selimut”. Apakah memang sejak awal, bahwa penyidik Kejati Jatim kesulitan untuk menyeret orang-orang dilingkaran terkait kasus penambangan liar di Kabupaten Lumajang ? atau memang mengetahui namun tak berani mengungkapnya ? Apakah dengan menyeret PT IMMS ke proses hukum tindak pidana Korupsi untuk menutupi kasus yang sesunguhnya ? Mengapa para palaku penambang liar (Galian C) tidak ada yang di proses hukum ? Mengapa Kasus PT IMMS (Galian B) yang menjadi mencuat ?. Memang, saat ini, Pengadilan Negeri Surabaya sedang menyidangkan 35 orang terdakwa terkait atas meninggalnya ‘Salim Kanci” yang memprotes penambangan galian C di Desa Selokawar-awar bukan proses hukum atas kegiatan penambangan liar. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :