0

Jakarta, beritakorupsi.co - Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang terakhir dilakukan terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait suap hasil laporan pemeriksaan keuangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, seharusnya menjadi perhatian pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara.

Hal ini disapaikan oleh Koalisi Masyarakat Spil Selamatkan BPK yang terdiri dari ICW, Seknas Fitra, Medialink, TII, IBC, IPC, JariUngu, CITA dalam siaran Persnya di Jakrta, 8 Agustus 2019

BPK sebagai lembaga strategis yang memiliki wewenang besar dalam memeriksa penggunaan keuangan negara, akan sangat bersinggungan dengan seluruh lembaga negara pengguna anggaran.

Dibutuhkan orang-orang yang berintegritas, profesional, dan tidak terafiliasi politik dalam memimpin sebuah lembaga powerfull.

Hal ini sesuai dengan Visi Indonesia poin lima (5) yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada 14 Juli 2019 di Sentul.

Poin kelima ini berbunyi: “Kita harus menjamin penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran. Setiap rupiah yang keluar dari APBN, semuanya harus kita pastikan memiliki manfaat ekonomi, memberikan manfaat untuk rakyat, meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat.”

Visi ini dapat tercapai, dan APBN pun bermanfaat maksimal bagi rakyat jika didapatkan orang- orang berkualitas yang mau menjaga dan mengawasi penggunaan keuangan negara.

Mendapatkan figur harapan publik ini tentu seharusnya diawali dengan proses yang benar dan transparan. Kondisi pemadaman listrik massal di ibukota dan beberapa wilayah Jawa menjadi salah satu contoh pembelajaran pentingnya peran BPK dalam porsi mengaudit dan mengawasi tata kelola sebuah lembaga yang langsung bersinggungan dengan pelayanan publik.

Dalam pantauan ICW, ada 8 (delapan) kasus dugaan suap yang melibatkan auditor atau staf BPK sepanjang 2004 - 2017.

Adapun 3 kasus pelanggaran kode etik BPK dilakukan oleh Ali Masykur Musa (anggota BPK) pada tahun 2014, Efdinal (Kepala BPK Perwakilan Jakarta dan Auditor) pada tahun 2015, dan Harry Azhar (Ketua dan Anggota BPK) pada tahun 2016.

Kondisi ini dapat terus berulang jika kualitas dan integritas anggota BPK tidak diperbaiki dan disaring sejak awal seleksi.

Fitra juga mengkaji kinerja BPK berdasarkan IHPS II 2018. Tingkat penyelesaian ganti kerugian negara selama periode 2005 - 2018 menunjukkan ada ganti kerugian negara dengan angsuran senilai Rp231,23 miliar (8%), pelunasan senilai Rp872,18 miliar (31%), dan penghapusan senilai Rp77,05 miliar (3%). Dengan demikian, sisa kerugian senilai Rp1,62 triliun (58%).

Artinya terdapat lebih 50% kerugian negara yang belum mendapatkan ganti rugi dari auditee. Selain itu, hasil pemantauan terhadap pelaksanaan TLRHP per 31 Desember 2018 atas LHP yang diterbitkan periode 2005-2018 menyatakan bahwa BPK telah menyampaikan 512.112 rekomendasi kepada entitas yang diperiksa senilai Rp280,34 triliun.

Jika diperinci rekomendasi belum sesuai rekomendasi sebanyak 97.853 (19,1%) senilai Rp94,81 triliun dan rekomendasi belum ditindaklanjuti sebanyak 23.383 (4,6%) senilai Rp19,89 triliun. Secara kumulatif, rekomendasi BPK atas hasil pemeriksaan periode 2005-2018 telah ditindaklanjuti entitas dengan penyerahan aset dan/ atau penyetoran uang ke kas negara/daerah/perusahaan sebesar Rp85,82 triliun.

Dari total potensi kerugian negara Rp280 triliun baru Rp85 triliun yang berhasil disetorkan ke kas negara. Hal ini menunjukkan adanya persoalan daya dorong BPK yang belum maksimal dalam mendorong auditee untuk merespon rekomendasi BPK.

Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara pasal 20 ayat (1) dan (2), secara substansi berisi pejabat terkait wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan dan pejabat terkait wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK terkait tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

Kemudian, apabila pejabat terkait tidak melaksanakan kewajibannya, maka dapat dikenai sanksi administratif berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Akan tetapi,  sejauh ini tidak ada sanksi yang diberikan jika rekomendasi BPK tidak ditindaklanjuti.

Adapun pendaftaran seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang seharusnya dimulai 15 Mei 2019 menjadi awal masalah transparansi dalam proses seleksi oleh Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Setelah tertunda selama sebulan, seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2019 - 2024 dibuka pada 17 Juni 2019.

Hanya dibuka selama 2 minggu, didapatkan 64 orang yang mendaftar sebagai calon anggota BPK. Setelah dua orang mengundurkan diri, DPR melakukan seleksi administrasi dan makalah hingga didapat 32 nama calon anggota BPK yang akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Mekanisme ini tidak sesuai dengan pasal 14 UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK yang mana seharusnya 62 nama pendaftar diserahkan ke DPD. Selain melanggar UU BPK, DPR seharusnya lebih melibatkan perwakilan daerah dalam proses seleksi yang direpresentasikan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui DPD sehingga masukan DPD tidak boleh dianggap sepele.

Sesuai dengan amanat UU BPK, DPR memang diberikan wewenang dalam melakukan seleksi. Berbeda dengan pemilihan pejabat publik lainnya di tingkat komisi, seperti KPU, KPK, KPPU, Komnas HAM, dan sebagainya, untuk pemilihan calon anggota BPK tidak menggunakan mekanisme panitia seleksi (pansel) yang dibentuk Presiden.

Dalam pemilihan calon anggota BPK, sejak proses awal hingga menentukan anggota terpilih,  seluruhnya wewenang DPR dengan memperhatikan masukan dari DPD. Kewenangan yang besar ini sangat potensial melahirkan penyimpangan jika proses seleksi tidak dilakukan secara transparan dan minim akuntabilitas.

Gejala ini telah tampak dari komposisi 32 nama yang lolos seleksi administrasi dan makalah menurut tim kecil Komisi XI, yang terdiri dari 8 politisi caleg gagal Pemilihan Legislatif, 2 anggota BPK, 3 petinggi perusahaan, dan malah menggugurkan 30 calon dari kalangan akademisi, swasta, auditor, dan akuntan publik.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka Koalisi Selamatkan BPK menuntut agar:
1. Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara memiliki perhatian khusus pada seleksi calon anggota BPK demi mendapatkan anggota BPK yang berkualitas.
2. Komisi XI mengulang proses seleksi calon anggota BPK dengan mekanisme yang lebih
transparan dan akuntabel, salah satunya dengan membentuk panitia seleksi (pansel).
3. Keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan publik harus dibuka seluas-luasnya untuk melakukan pengawasan dan memberikan masukan terhadap proses seleksi.

KPK dapat mengawasi sehingga tidak terjadi transaksi suap dan money politic, serta publik dapat memberikan masukan mengenai latar belakang pendaftar sehingga mencegah orang-
orang bermasalah dan mempunyai atensi pribadi menempati posisi strategis dalam BPK.

Jakarta, 8 Agustus 2019, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan BPK (ICW, Seknas Fitra, Medialink, TII, IBC, IPC, JariUngu, CITA). (ICW/Red)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top