0
beritakorupsi.co - Kamis, 1 Oktober 2018, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya menjatuhkan hukuman (Vonis) pidana penjara selama 2 tahun terhadap Susilo Prabowo alias Embun selaku penyuap 2 Kepala Daerah di Jawa Timur, yaitu Syahri Mulyo (Bupati Tulungagung) dan Moh. Smanhudi Anwar (Wali Kota Blitar) yang Tertangkap Tangan Tim KPK pada tanggal 6 Juni 2018.

Surat putusan itu dibacakan oleh Majelis Hakim di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya yang diketuai Hakim Agus Hamzah., SH., MH dan dibantu 2 Hakim anggota (Ad Hoc) serta Panitra Pengganti (PP), dan dihadiri JPU KPK Abdul Basri, Dodi Soekmono, Mahardy Indra Putra, Nur Haris Arhadi, Agung Satrio Wibowo dan Mufi Nur Irawan serta Penasehat Hukum terdakwa, Agung Setiawan.

Dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa Susilo Prabowo alias Embun, diadili atas beberapa perbuatannya, karena telah memberikan uang sebesar  Rp10.500.000.000 (sepuluh miliar lima ratus juta rupiah) kepada Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Tulungagung Sutrisno, dan Wali Kota Blitar Muh. Samanhudi Anwar sejak tahun 2016 hingga 2018.

Majelis Hakim menyatakan, bahwa pemberian uang itu oleh terdakwa Susilo Prabowo alias Embun kepada Syahri Mulyo, Sutrisno dan Muh. Samanhudi Anwar, karena terdakwa sudah memperoleh dan atau dijanjikan beberapa proyek pekerjaan yang didanai dari APBD Kabupaten Tulungagung dan Pemerintah Kota Blitar.

Majelis Hakim menyatakan, bahwa perbuatan terdakwa sebagaiamana diatur dan diancam pidana  dalam pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia(UU RI) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang' Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

“Pemberian uang oleh terdakwa Susilo Prabowo alias Embun  terhadap Syahri Mulyo selaku Bupati Tulungagung dan Sutrisno selaku Kepala Dinas PUPR dan kepada Moh. Samanhudi Anwar, adalah sebagai fee dari proyek yang diperoleh terdakwa,” ucap Majelis Hkim
Majelis Hakim menyatakan, bahwa pada akhir tahun 2015, bersamaan dengan pembahasan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Tulungagung Tahun Anggaran (TA) 2016, Sutrisno atas perintah Syahri Mulyo, membuat pembagian proyek pada Dinas PUPR yang pada pokoknya, proyek infrastruktur pada Dinas PUPR akan diberikan kepada beberapa penyedia barang/jasa, diantaranya terdakwa dan Sony Sandra. Pembagian proyek tersebut kemudian diberikan oleh Sutrisno kepada terdakwa dan Sony Sandra. Dan sebagai kompensasi atas pembagian proyek tersebut, terdakwa bersedia untuk memberikan fee kepada Sutrisno dan Syahri Mukyo.

Pada saat pelelangan, terdakwa dan Sony Sandra mengajukan penawaran terhadap proyek-proyek yang telah ditentukan oleh Sutrisno, sehingga tidak terjadi persaingan yang sehat antara terdakwa dengan Sony Sandra, karena terdakwa tidak akan mengajukan penawaran terhadap pekerjaan yang telah diberikan kepada Sony Sandra, demikian pula sebaliknya.

Majelis Hakim menjelaskan, bahwa terdakwa mengajukan penawaran terhadap proyek yang telah diberikan kepadanya dengan menggunakan perusahaan miliknya, disertai dengan perusahaan  pendamping yang juga merupakan perusahaan milik terdakwa sendiri. Sehingga pada saat pelelangan tahun anggaran 2016,  terdakwa mendapatkan 6 (enam) proyek infrastruktur jalan dan jembatan dengan total nilai kontrak sebesar Rp75.358.672.000 (tujuh puluh lima miliar tiga ratus lima puluh delapan juta enam ratus tujuh puluh dua ribu rupiah).

Bahwa pembagian proyek yang dilakukan oleh Sutrisno dan Syahri Mulyo sebagaimana yang dilakukan pada tahun anggaran 2016 tersebut diatas, dilanjutkan juga pada pengadaan barang/jasa tahun anggaran 2017 dan 2018, yakni membagi proyek kepada terdakwa dan Sony Sandra sebelum proses pelelangan dimulai. Demikian pula terdakwa dalam mengikuti proses pelelangan pada Dinas PUPR Kabupaten Tulungagung tahun anggaran 2017 dan 2018, dilakukan dengan pemberian fee sebagaimana tahun 2016, dengan cara yang telah dilakukan pada saat tahun 2016, yakni hanya mengajukan penawaran terhadap pekerjaan yang telah diberikan kepadanya serta menggunakan beberapa perusahaan miliknya sebagai peserta Ielang.

Majelis Hakim mengatakan, pada tahun anggaran 2017, terdakwa mendapatkan 9 (sembilan) proyek infrastruktur jalan dan jembatan dengan nilai kontrak seluruhnya Rp40.393.643.000 (empat puluh miliar tiga ratus sembilan puluh tiga juta enam ratus empat puluh tiga ribu rupiah) dengan perincian sebagai berikut.

“Sebagai kompensasi dari proyek-proyekproyek tersebut, terdakwa beberapa kali memberikan fee kepada Syahri Mulyo dan Sutrisno melalui Sutrisno dan Sukarji yang berjumlah Rp10.500.000.000 (sapuluh miliar lima ratus juta rupiah) dengan perincian; Pada tahun 2016 sebesar Rp4.500.000.000 (empat miliar lima ratus juta rupiah), kemudian pada tahun 2017 sebesar Rp3.500.000.000 (tiga miliar lima ratus juta rupiah) dan pada tahun 2018 sebesar Rp2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta rupiah),” ungkap Majelis Hakim

Majelis Hakim melanjutkan, bahwa uang sejumlah Rp10.500.000.000 (sepuluh miliar lima ratus juta rupiah) oleh Sukarji diserahkan kepada Syahrli Mulyo melalui Sutrisno secara bertahap. Setelah itu, Sutrisno menyerahkan uang sebesar Rp Rp10.500.000.000 yang sudah bercampur dengan fee lainnya melalui Sukarji dan Yamani, diantaranya kepada Bupati Tulungagung Syahri Mulyo sebesar Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah), Wakil Bupati Tulungagung Maryoto Birowo sebesar Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah), Sekretaris Daerah sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah), APH (Aparat Penegak Hukum) sebesar Rp1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah), Hendry Setiawan sebasar Rp100.000.000 (saratus juta rupiah), Ketua DPRD Kab.Tulungagung Supriono sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan Badan Anggaran DPRD Kab. Tulungagung sebesar Rp190.000.000.00 (seratus sembilan puluh juta rupiah).

Majelis Hakim menjelaskan, pada tahun 2017, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo menerima  sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah), Wakil Bupati Tulungagung Maryoto Birowo sebesar Rp300.000.000 (tiga ratusjuta rupiah), Sekretaris Daerah sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah), APH (Aparat Penegak Hukum) sebesar Rp125.000.000 (seratus dua puluh lima juta rupiah) dan Hendri Setiawan sebesar Rp100.000.000 (seratus jute rupiah), Ketua DPRD Kab. Tulungagung Suoriyono sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah), Badan Anggaran DPRD Kab. Tulungagung sebesar Rp190.000.000 (seratus sembilan puluh juta rupiah).
Tahun 2018 Ketua DPRD Supriono sejumlah Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah), Bupati Tulungagung Syahri Mulyo sebesar Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah), Sekretaris Daerah sebesar Rp50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah), APH (Aparat Penegak Hukum) sebesar Rp750.000.000.00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), Pemberian tersebut diatas, dilakukan atas perintah Syahri Mulyo

Selain  pemberian uang dari terdakwa sebesar Rp10.500.000.000 (sepuluh miliar lima ratus juta rupiah) tersebut diatas. masih ada beban fee yang belum diberikan oleh terdakwa kepada Syahri Mulyo atas proyek-proyek yang dikerjakan pada tahun 2016 dan 2018, yang mana beban fee tersebut diminta oleh Syahri Mulyo melalui Sutrisno.

Pada bulan Januari 2018, Syahri Mulyo meminta sejumlah uang kepada Sutrisno untuk kepentingan operasional persiapan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah Tulungagung tahun 2018. Guna memenuhi permintaan Syahri Mulyo tersebut, Sutrisno memberikan uang sejumlah Rp1 milliar di Pendopo Tulungagung, yang bersumber dari terdakwa.

Pada sekira Bulan Maret-April 2018, Syahri Mulyo kembali memerintahkan Sutrisno untuk meminta uang sejumlah Rp4 milliar kepada terdakwa guna membiayai operasional kampanye Syahri Mulyo yang akan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah Tulungagung tahun 2018, dan guna memudahkan penerimaan uang, Syahri Mulyo memerintahkan Sutrisno untuk memperkenalkan terdakwa dengan Agung Prayitno yang merupakan orang dekat Syahri Mulyo.

Menindaklanjuti perintah Syahri Mulyo, pada tanggal 23 Mei 2018, Sutrisno menghubungi terdakwa sekaligus memperkenalkan Agung Prayitno kepada terdakwa. Dalam pertemuan tersebut, Agung Prayitno menyampaikan permintaan uang dari Syahri Mulyo untuk biaya  kampanye dalam Pilkada Tulungagung tahun 2018. Atas permintaan tersebut, Terdakwa menyatakan akan memberikannya pada hari Jumat tanggal 25 Mei 2018.

Pada tanggal 25 Mei 2018, terdakwa menghubungi dan memerintahkan Agung Prayitno untuk ke rumah terdakwa mengambil uang permintaan Syahri Mulyo. Sesampainya Agung Prayitno di rumah terdakwa di Blitar, Terdakwa memberikan uang kepada Agung Prayitno sejumlah Rp500 juta. Uang tersebut kemudian diberikan oleh Agung Prayitno kepada Syahri Mulyo di rumahnya.

Pada tanggal 30 Mei 2018, terdakwa kembali menghubungi dan memerintahkan Agung Prayitno guna mengambil uang permintaan Syahri Mulyo di rumah Terdakwa. Sesampainya Agung Prayitno dirumah terdakwa di Blitar, terdakwa memberikan uang sejumlah Rp1 miliar. Uang tersebut selanjutnya diserahkan oleh Agung Prayitno kepada Syahri Mulyo dirumahnya.

Pada tanggal 31 Mei 2018, terdakwa dihubungi oleh Agung Sutrisno dan diminta agar memberikan uang kepada Syahri Mulyo tidak secara bertahap karena Syahri Mulyo sedang membutuhkan banyak uang untuk Pilkada. Menanggapi permintaan tersebut, terdakwa menyampaikan, bahwa dirinya kesulitan menarik uang dari bank dalam jumlah besar karena  diawasi oleh otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun terdakwa tetap akan memberikan uang tersebut dengan keterangan transaksi (underlyng transaction) yang disamarkan ketika penarikan uang dari bank.

Pada tanggal 6 Juni 2018, terdakwa dihubungi oleh Agung Sutrisno untuk mengambil uang permintaan Syahri Mulyo. Atas penyampaian Agung Sutrisno, terdakwa mengarahkan agar Agung Sutrisno datang ke rumah terdakwa pada sore hari, dan menitipkan uang sejumlah Rp1  miliar kepada Andriani yang merupakan istri terdakwa, untuk diberikan kepada Agung Sutrisno.
Sesampainya dirumah terdakwa, Agung Sutrisno menghubungi terdakwa dan memberitahukan bahwa dirinya sudah di rumah terdakwa, yang kemudian dijawab oleh terdakwa bahwa uangnya sudah dititipkan pada istrinya (terdakwa). Selanjutnya Andrinani  memberikan uang  sebesar Rp1  miliar tersebut kepada Agung Sutrisno.

Selain uang suap dari terdakwa Susilo Prabowo terhadap Bupati Tulungagung, JPU KPK juga membeberkan pemberian uang suap terhadap Muh. Samhudi Anwar selaku Wali Kota Blitar, yakni; 

Bahwa pada awal tahun 2016, Hermansyah Permadi selaku Kepala Dinas PUPR Kota Blitar membuat daftar proyek yang akan dikerjakan oleh Dinas PUPR yang kemudian diserahkan kepada Muh. Samanhudi Anwar. Selanjutnya Muh. Samanhudi Anwar membuat pembagian atau pengalokasian proyek-proyek tersebut kepada beberapa penyedia barang/jasa diantaranya  terdakwa Susilo Prabowo alias Embun. Pembagian atau pengalokasian proyek tersebut kemudian diberitahukan kepada terdakwa dan Hemansyah Permadi.

Selanjutnya Muh. Samanhudi Anwar memberikan pengarahan kepada Hemansyah Permadi mengenai proyek-proyek yang akan diberikan kepada terdakwa, dan penyedia barang/jasa lainnya.

Arahan tersebut kemudian ditindaklanti oleh Hemansyah Permadi dengan memberikan tanda pada daftar proyek yang akan dikerjakan oleh terdakwa. Selain itu, Hemansyah Permadi juga mengundang beberapa penyedia barang/jasa diantaranya terdakwa, Henryn Mulat, Sukamto, Sukarso dan perwakilan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi).

Dalam pertemuan itu, Hemansyah Permadi membagi proyek-provek pada Dinas PUPR kepada beberapa penyedia barang/jasa tersebut, termasuk kepada terdakwa sendiri. Dengan demikian,  maka pengaturan pemenang lelang tidak perlu melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP) karena masing-masing penyedia barang/jasa hanya akan mengajukan penawaran terhadap proyek yang sudah dijatahkan untuk dirinya, demikian pula sebaliknya masing-masing penyedia barang/jasa tidak akan melakukan penawaran terhadap proyek yang telah diberikan kepada penyedia balang/jasa lainnya.

Pada saat pelelangan, terdakwa mengajukan penawaran terhadap proyek-proyek yang telah ditentukan oleh Muh. Samanhudi Anwar dan Hermansyah Permadi, sehingga tidak terjadi persaingan yang sehat karena terdakwa tidak akan mengajukan penawaran terhadap   pekerjaan yang telah diberikan kepada penyedia barang/jasa lainnya.

Terdakwa mengajukan penawaran terhadap proyek yang telah diberikan  kepadanya dengan menggunakan perusahaan miliknya disertai dengan peserta pendamping yang juga merupakan perusahaan milik terdakwa sendiri.

“Pada awal tahun 2018, Muh. Samanhudi Anwar kembali melakukan pembagian atau pengalokasian proyek kepada terdakwa sebagaimana yang telah dilakukan pada tahun anggaran 2016 dan 2017. Proyek yang dialokasikan kepada terdakwa adalah proyek pembangunan fasilitas pendukung Stadion Supriyadi Blitar senilai Rp796.078.767,33 (tujuh ratus sembilan puluh enam juta tujuh puluh delapan ribu tujuh ratus enam puluh tujuh rupiah tiga puluh tiga sen) dan proyek pembangunan SMP Negeri 3 Blitar Tahap 2 tahun anggaran 2018,” pungkas Majelis Hakim

Guna memastikan terdakwa mendapatkan proyek-proyek tersebut, pada tanggal 5 Juni 2018, terdakwa melakukan pertemuan dengan Muh. Samanhudi Anwar dan Bambang Purnomo alias Totok, yang merupakan orang kepercayaan Muh. Samanhudi Anwar di rumah dinas Walikota Blitar.

Dalam pertemuan itu, Muh. Samanhudi Anwar menunjuk terdakwa sebagai penyedia barang/jasa yang akan melaksanakan proyek Pembangunan SMP Negeri 3 Blitar Tahap 2 tahun anggaran 2018. Guna meyakinkan terdakwa, selanjutnya Muh. Samanhudi Anwar menghubungi Moch. Aminurcholis selaku Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika, dan Mohammad Sidik selaku Kepala Dinas Pendidikan menanyakan mengenai ketersediaan dan jumlah anggaran untuk pembangunan SMP Negeri 3 Blitar Tahap 2 tahun anggaran 2018.
Atas pertanyaan Muh. Samanhudi Anwar, selanjutnya Mohammad Sidik menginformasikan bahwa anggaran pembangunan SMP Negeri 3 Blitar menyerahkan uang sejumlah Rp1.5 milliar   kepada Muh. Samanhudi Anwar.

Setibanya di rumah Bambang Purnomo alias Totok, terdakwa langsung memberikan uang tersebut kepada Bambang Purnomo alias Totok. Dan guna menghindari perbuatannya dipantau oleh aparat penegak hukum, terdakwa menyampaikan kepada Bambang Purnomom alias Totok,  agar tidak menghubungi Muh. Samanhudi Anwar dengan menggunakan sarana telepon atau handphone.

Majelis Hakim menyatakan, bahwa rangkaian pemberian uang yang dilakukan oleh terdakwa sebagaimana tersebut di atas, karena Syahri Mulyo, Sutrisno dan Muh. Samanhudi Anwar telah memberikan beberapa proyek kepada terdakwa. Dan hal itu bertentangan dengan kewajiban Syahri Mulyo, Sutrisno dan Muh. Samanhud Anwar, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan 6 UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Pasal 23 huruf a, d, e dan f UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur $le Negara dan Pasal 67 huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah mubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentEng Pembahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Terkait Pledoi atau pembelaan yang disampaikan oleh Penasehat Hukum terdakwa, Majelis menolaknya, dan terdakwa haruslah di hukum sesuai dengan perbuatannya. Namun demikian, pertimbangan Majelis Hakim yang meringkan hukuman terdakwa adalah, karena terdakwa sudah lanjut usia serta menjadi JC (Justice Callabulator), yang telah bekerjasama dengan Tik KPK dalam mengungkap kasus tindak pidana yang juga menyeret dirinya.

Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa Susilo Prabowo alias Embun terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tinda Pidaan Korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer Pasal 5 ayat (1) huruf b (atau pasal 13) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang' Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP

“Mengadili ; Menyatakan terdakwa Susilo Prabowo terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer ; Menghukum terdakwa dengan hukuman pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp200 juta. Bilamana terdakwa tidak membayar, maka diganti kurungan selama 2 bulan,” ucap Ketua Majelis Hakim Agus Hamzah., SH., MH.

Atas putusan Majelis Hakim, terdakwa melalui Penasehat Hukumnya maupun JPU KPK mengatakan pikir-pikir.

Usai persidangan, saat wartawan media ini menanyakan terkain APH (Aparat Penegak Hukum), apakah Kepolisian atau Kejaksaan. Namum JPU KPK sepertinya menutupi lembaga penegak hukum yang turut menikmati uang “haram” itu.

“Mengenai APH, itu dari keterangan saksi Kepala BPKAD, tidak menjelaskan,” kata JPU KPK Dodi

Aneh memang bila apa yang disampaikan oleh JPU KPK ini. Apakah JPU KPK sengaja menutupi nama lembaga penerima duit “haram” itu karena sesama peegak hukum atau karena “ada sesuatu” ? 

Pada hal, dalam sidang sebelumnya, Hendry Setyawan selaku Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tulungagung kepada Majelis Hakim mengatakan, bahwa Ia (Hendry Setyawan) menyerahkan uang ke Polisi karena sering datangi dengan membawa data. Namun Kepala BPKAD ini tidak menjelaskan pangkat dan jabatan Polisi yang menerima.

Apakah dalam sidang perkara terdakwa Bupati Tulungagung Syahri Mulyo akan dihadirkan si Aaparat Penegak Hukum yang meneriman duit “haram’ Itu ?. JPU KPK Dodi tak dapat menjelaskannya.

Lalu apakah Majelis Hakim akan membuka “topeng” APH sepenerima duait “haram” itu, atau Majelis Hakim akan sama dengan JPU KPK ?. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top