beritakorupsi.co – “Bisa 2 kali mengapa harus sekali ?”. Barangkali inilah yang dilakukan penyidik Kejati Jatim dalam kasus Korupsi dana hibah Kadin tahun 2011 hingga 2014 lalu sebesar Rp 48 milliar, yang merugikan negara senilai Rp 26 milliar.
Sebab, dalam kasus Korupsi dana hibah Kadin yang dikucurkan Pemprov Jatim sejak 2011 hingga 2103 lalu yang totalnya Rp 48 milliar, dengan kerugian negara termasuk diantaranya untuk pembelian saham IPO (Initial Public Offering) Bank Jatim tahun 2012 oleh Ketua Kadin Lanyyala Mattalitti, sebesar Rp 5,3 milliar dan sebahagian dana ke Persebaya, sudah diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya, pada tahun 2015.
Dalam kasus ini, di tahun 2015, Kejati Jatim sudah menyeret 2 pejabat Kadin (Kamar Dagang dan Indistri) Jatim, yaitu Nelson Sembiring, mantan Wakil Ketua Bidang SDM (Sumber Daya Miniral, pertambangan dan Logam) dan Wakil Ketua, Diar Kusuma Putra untuk diadili dan dijatuhui hukuman pidana penjara di Pengadilan Tipikor Surabaya oleh Majelis Hakim yang di Ketuai Martua Rambe, pada 18 Desember 2015.
Dari total kerugian negara sebesar Rp 26 M, berdasarkan hasil audit BPKP Perwakilan Jatim, Rp 9 milliar dibebankan terhadap Diar Kusuma Putra, dan pidana penjara selama 1,2 tahun (saat ini sudah berstatus manatan terpidana).
Sementara untuk Nelson Sembiring, dihukum pidana penjara selama 5 tahun dan 8 bulan, serta pidana tambahan dengan mengembalikan kerugian negara sejumlah Rp 17 M. Sehingga, total kerugian negara dalam Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap keduanya, sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dan Vonis itu pun sudah berkekuatan hukum (Incrah).
Anehnya, seiring pergantian orang Nomor 1 di lembaga Adiyaksa Jawa Timur pada akhir Desember 2015, beberapa bulan setelah La Nyalla Mattalitti terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, kasus dana hibah Kadin pun kembali "diusik".
Kali ini, yang disoal bukan lagi kasus Korupsi berdasarkan UU Korupsi, melainkan Tindak Pidana Pencucuian Uang (TPPU) sesuai UU No. 8 tahun 2010. Kejati berusaha menyeret La Nyalla Mattalitti menjadi tersangka dan diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan, namun dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan dan dikuatkan oleh Majelis Hakim Agung, Mahkamah Agung RI.
Ibarat Peribahasa, “sudah jatuh, tertimpa tangga, terinjak pula”, itulah yang dialami Nelson Sembiring, pemilik hak paten pemanfaatan air laut untuk pembuatan tahu tanpa cuka, pemutih dan pengawet dan penemu air laut yang menghasilkan sari laut. Selain itu, Nelson Sembiring juga sebagai Ketua single Windows Servisce bagi 65 perusahaan Jepang yang berpotensi di Jatim, yang tergabung dalam East Java Japan Club, sebagai tim ahli JICA, JETRO dan lembaga asing, tim ahli dalam kerja sama pemerintah Belanda (Plan), sebagai peneliti Balitbang pengembangan energy alternative seperti Biogas dari kotoran sapi, pembangkit listrik tenaga Mikrohydro dan pembangkit tenaga Surya, Wakil Ketua Umum Aklindo (Asosaisi Kelistrikan Indonesai, Dewan Investasi Daerah Jawa Timur dan mantan juri dalam penelitian Investement Award Badan Penanaman Modal Jawa Timur serta lainnya.
Sebab, beberapa bulan lalu, Kejati Jatim menetapkan Nelson Sembiring, menjadi tersangka tunggal dan saat ini diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya (menunggu Vonis), dalam kasus Tindak Pidana Pencucuaian Uang dana hibah Kadin tahun 2011 hingga 2013 sebesar Rp 48 milliar, yang merugikan negara sejumlah Rp 26 M berdasarkan hasil audit BPKP Jatim.
Dalam TPPU ini, berdasarkan hasil audit BPKP Jatim, ditemukan adanya penyimpangan sejumlah Rp 4 milliar lebih dari dana hibah Kadin tersebut.
Timbul pertanyaan, mengapa setelah kasus perkara Korupsi dana hibah Kadin divonis dan telah berkekuatan hukum tetap (Inckrah), penyidik Kejati Jatim kembali melakukan penyidikan dan adanya temuan BPKP terkait adanya penyimpangan sejumlah Rp 14 M ?
Mengapa Kejati Jatim tidak menerapkan 2 UU, yakni UU Korupsi dan UU TPPU sekaligus untuk menjerat terdakwa dalam perkara Koruspi dana hibah Kadin, seperti kasus Korupsi MERR II C Surabaya tahun 2014 dan kasus gratifikasi BIR alias Bambang Irianto, selaku Wali Kota Madiun, yang dijerat oleh JPU KPK.
Ironisnya, Nelson Sembiring dijerat dengan pasal 3 UU No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencuian Uang dan dituntut pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan denda sebesar Rp 200 juta, oleh JPU dalam persidangan yang diketuai H.R. Unggul Warso Mukti, minggu lalu.
Dari pengamatan wartawan media ini dalam persidangan sebelumnya, dengan agenda pemeriksaan terdakwa, apapun yang disampaikan oleh Nelson Sembiring, sepertinya dianggap megada-ada. Hal itu terlihat dari “senyum tipis” oleh JPU maupun Majelis Hakim.
Saat itu Nelson Sembiring menjelaskan, bahwa sebelum dana hibah Kadin turun, dirinya telah memiliki harta berupa uang deposito maupun tabungan biasa sejumlah Rp 5.979.713.173 yang diperoleh dari hasil penjualan Nigarin Sari Air Laut (Rp 155 juta), Penelitian untuk Peneliti Balitbang (Rp 70,285 juta), Penelitian Nagarin bersama ITS (Rp 260 juta), Penelitian Nagarin untuk Suplemen (Rp 53,086 juta), hasil sewa rumah di Rungkut sejak 2005 (Rp 270 juta), gaji bulanan sebagai PNS (Rp 945.543.455), peneliti bersama Dinas?Instansi lain (Rp 1.975.000.000), penjualan Nigarin Sari Air Laut ke PT Kanematsu, Jepang (Rp 86,2 juta), penjualan Sari Air Laut untuk kosmetik BIOSEA (Rp 29,3 juta), rekapitulasi dari Bank BNI sejak 2004 – 2011 (Rp 1.850.780.309), penerimaan intensive PLAN - LSM Belanda tahun 2013 (Rp 72.485.000), kerjasama penelitian LPPM – ITATS – Widya Mandala dan penjualan Nigarin (Rp 208.980.909)
“Senyum tipis” JPU sangat terlihat jelas, saat Nelson Sembiring membeberkan dihadapan Majelis Hakim terkait 10 kios di Pasar Turi Bari Lt III, yang diperolehnya dari La Nyalla Mattaliti melalui Diar Kusuma Putra, untuk membantu Nelson dalam hal pengembalian kerugian negara sebesar Rp 17 M namun ditolak dalam persidangan.
Yang lebih sialnya lagi, ternyata 10 kios tersebut tak laku dijual bahkan disewakan. Hingga saat ini, ke 10 kios tersebut hanya “dilewati lalat dan persinggahan debu”.
Dalam pembelaannya, Selasa, 3 Oktober 2017, terdakwa yang juga terpidana kasus dana hibah Kadin ini juga memberkan hal itu dihadapan Majelis Hakim.
“Saya masih mempunyai niat baik untuk mengganti kerugian negara yang ditetapkan, dan aya sudah membayar uang awal Rp 3,750 milliar yang berasal dari La Nyalla Mattalitti, yang diambil dari kantor Kadin Jatim ketika itu dan penyitaan satu buah SHM tanah di Gresik, yang saya peroleh sebelum dana hibah Kadin. Sisa uang ganti kerugian sedang diupayakan dengan menjual Kios di Pasar Turi Baru yang diberikan oleh Bapak La Nyalla Mattalitti, sebanyak 10 buah. Majelis Hakim menolak pembayaran ganti rugi dalam bentuk kios pada saat persidangan tahun 2015. Saya disuruh untu menjual sendiri,” ucap Nelson dalam pembelaannya yang didampingi Penasehat Hukumnya, Yuliana Heriyanti Ningsih. SH., MH dkk.
Nelson Sembiring juga mengungkapkan fakta persidangan, yang dianggap tidak sesuai dengan surat dakwaan maupun tuntutan JPU dalam kassu Koruspsi dana hibah Kadin, terkait aliran dana yang diterimanya. Dalam surat dakwaan JPU menyatakan, bahwa jumlah dana yang diterima Nelson sebesar Rp 25,5 milliar.
Sementar dalam fakta persidangan sesuai keterangan 2 orang saksi yaitu Edy, pegawai Bank BTPN dan Ajeng Putri Wijayanti dari Bank Jatim.
“Dari fakta persidangan ditemukan, bahwa jumlah penerimaan dana hibah sebesar Rp 8.130.000.000. sementara berdasarkan audit BPKP Jatim tahun 2015, jumlah penggunaan dana hibah Kadin sebesar Rp 8.483.422.606. sehingga terlihat jelas, bahwa ada pemakaian dana pribadi sebesar Rp 353.422.606. analisa berdasarkan penerimaan dana hibah adalah paling cepat bulan Juli 2012, April 2013, April 2014. Pada hal, waktu pelaksanaan sudah diumulai pada bulan Januari setiap tahunnya. Dana yang yang dipergunakan sejak Januari hingga pencairan dana hibah adalah, berasal dari dana pribadi. Sehingga, pada saat pencairan dana hibah adalah merupakan pembayaran/penggantian dana dari pelaksanaan kegiatan sebelumnya,” beber Nelson.
Namun, apapun yang disampiakan Nelson Sembiring dalam persidangan di hadapan Majelis Hakim, sepertinya tak ada gunanya !?. (Redaksi)
Sebab, dalam kasus Korupsi dana hibah Kadin yang dikucurkan Pemprov Jatim sejak 2011 hingga 2103 lalu yang totalnya Rp 48 milliar, dengan kerugian negara termasuk diantaranya untuk pembelian saham IPO (Initial Public Offering) Bank Jatim tahun 2012 oleh Ketua Kadin Lanyyala Mattalitti, sebesar Rp 5,3 milliar dan sebahagian dana ke Persebaya, sudah diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya, pada tahun 2015.
Dalam kasus ini, di tahun 2015, Kejati Jatim sudah menyeret 2 pejabat Kadin (Kamar Dagang dan Indistri) Jatim, yaitu Nelson Sembiring, mantan Wakil Ketua Bidang SDM (Sumber Daya Miniral, pertambangan dan Logam) dan Wakil Ketua, Diar Kusuma Putra untuk diadili dan dijatuhui hukuman pidana penjara di Pengadilan Tipikor Surabaya oleh Majelis Hakim yang di Ketuai Martua Rambe, pada 18 Desember 2015.
Dari total kerugian negara sebesar Rp 26 M, berdasarkan hasil audit BPKP Perwakilan Jatim, Rp 9 milliar dibebankan terhadap Diar Kusuma Putra, dan pidana penjara selama 1,2 tahun (saat ini sudah berstatus manatan terpidana).
Sementara untuk Nelson Sembiring, dihukum pidana penjara selama 5 tahun dan 8 bulan, serta pidana tambahan dengan mengembalikan kerugian negara sejumlah Rp 17 M. Sehingga, total kerugian negara dalam Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap keduanya, sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dan Vonis itu pun sudah berkekuatan hukum (Incrah).
Anehnya, seiring pergantian orang Nomor 1 di lembaga Adiyaksa Jawa Timur pada akhir Desember 2015, beberapa bulan setelah La Nyalla Mattalitti terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, kasus dana hibah Kadin pun kembali "diusik".
Kali ini, yang disoal bukan lagi kasus Korupsi berdasarkan UU Korupsi, melainkan Tindak Pidana Pencucuian Uang (TPPU) sesuai UU No. 8 tahun 2010. Kejati berusaha menyeret La Nyalla Mattalitti menjadi tersangka dan diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan, namun dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan dan dikuatkan oleh Majelis Hakim Agung, Mahkamah Agung RI.
Ibarat Peribahasa, “sudah jatuh, tertimpa tangga, terinjak pula”, itulah yang dialami Nelson Sembiring, pemilik hak paten pemanfaatan air laut untuk pembuatan tahu tanpa cuka, pemutih dan pengawet dan penemu air laut yang menghasilkan sari laut. Selain itu, Nelson Sembiring juga sebagai Ketua single Windows Servisce bagi 65 perusahaan Jepang yang berpotensi di Jatim, yang tergabung dalam East Java Japan Club, sebagai tim ahli JICA, JETRO dan lembaga asing, tim ahli dalam kerja sama pemerintah Belanda (Plan), sebagai peneliti Balitbang pengembangan energy alternative seperti Biogas dari kotoran sapi, pembangkit listrik tenaga Mikrohydro dan pembangkit tenaga Surya, Wakil Ketua Umum Aklindo (Asosaisi Kelistrikan Indonesai, Dewan Investasi Daerah Jawa Timur dan mantan juri dalam penelitian Investement Award Badan Penanaman Modal Jawa Timur serta lainnya.
Sebab, beberapa bulan lalu, Kejati Jatim menetapkan Nelson Sembiring, menjadi tersangka tunggal dan saat ini diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya (menunggu Vonis), dalam kasus Tindak Pidana Pencucuaian Uang dana hibah Kadin tahun 2011 hingga 2013 sebesar Rp 48 milliar, yang merugikan negara sejumlah Rp 26 M berdasarkan hasil audit BPKP Jatim.
Dalam TPPU ini, berdasarkan hasil audit BPKP Jatim, ditemukan adanya penyimpangan sejumlah Rp 4 milliar lebih dari dana hibah Kadin tersebut.
Timbul pertanyaan, mengapa setelah kasus perkara Korupsi dana hibah Kadin divonis dan telah berkekuatan hukum tetap (Inckrah), penyidik Kejati Jatim kembali melakukan penyidikan dan adanya temuan BPKP terkait adanya penyimpangan sejumlah Rp 14 M ?
Mengapa Kejati Jatim tidak menerapkan 2 UU, yakni UU Korupsi dan UU TPPU sekaligus untuk menjerat terdakwa dalam perkara Koruspi dana hibah Kadin, seperti kasus Korupsi MERR II C Surabaya tahun 2014 dan kasus gratifikasi BIR alias Bambang Irianto, selaku Wali Kota Madiun, yang dijerat oleh JPU KPK.
Ironisnya, Nelson Sembiring dijerat dengan pasal 3 UU No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencuian Uang dan dituntut pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan denda sebesar Rp 200 juta, oleh JPU dalam persidangan yang diketuai H.R. Unggul Warso Mukti, minggu lalu.
Dari pengamatan wartawan media ini dalam persidangan sebelumnya, dengan agenda pemeriksaan terdakwa, apapun yang disampaikan oleh Nelson Sembiring, sepertinya dianggap megada-ada. Hal itu terlihat dari “senyum tipis” oleh JPU maupun Majelis Hakim.
Saat itu Nelson Sembiring menjelaskan, bahwa sebelum dana hibah Kadin turun, dirinya telah memiliki harta berupa uang deposito maupun tabungan biasa sejumlah Rp 5.979.713.173 yang diperoleh dari hasil penjualan Nigarin Sari Air Laut (Rp 155 juta), Penelitian untuk Peneliti Balitbang (Rp 70,285 juta), Penelitian Nagarin bersama ITS (Rp 260 juta), Penelitian Nagarin untuk Suplemen (Rp 53,086 juta), hasil sewa rumah di Rungkut sejak 2005 (Rp 270 juta), gaji bulanan sebagai PNS (Rp 945.543.455), peneliti bersama Dinas?Instansi lain (Rp 1.975.000.000), penjualan Nigarin Sari Air Laut ke PT Kanematsu, Jepang (Rp 86,2 juta), penjualan Sari Air Laut untuk kosmetik BIOSEA (Rp 29,3 juta), rekapitulasi dari Bank BNI sejak 2004 – 2011 (Rp 1.850.780.309), penerimaan intensive PLAN - LSM Belanda tahun 2013 (Rp 72.485.000), kerjasama penelitian LPPM – ITATS – Widya Mandala dan penjualan Nigarin (Rp 208.980.909)
“Senyum tipis” JPU sangat terlihat jelas, saat Nelson Sembiring membeberkan dihadapan Majelis Hakim terkait 10 kios di Pasar Turi Bari Lt III, yang diperolehnya dari La Nyalla Mattaliti melalui Diar Kusuma Putra, untuk membantu Nelson dalam hal pengembalian kerugian negara sebesar Rp 17 M namun ditolak dalam persidangan.
Yang lebih sialnya lagi, ternyata 10 kios tersebut tak laku dijual bahkan disewakan. Hingga saat ini, ke 10 kios tersebut hanya “dilewati lalat dan persinggahan debu”.
Dalam pembelaannya, Selasa, 3 Oktober 2017, terdakwa yang juga terpidana kasus dana hibah Kadin ini juga memberkan hal itu dihadapan Majelis Hakim.
“Saya masih mempunyai niat baik untuk mengganti kerugian negara yang ditetapkan, dan aya sudah membayar uang awal Rp 3,750 milliar yang berasal dari La Nyalla Mattalitti, yang diambil dari kantor Kadin Jatim ketika itu dan penyitaan satu buah SHM tanah di Gresik, yang saya peroleh sebelum dana hibah Kadin. Sisa uang ganti kerugian sedang diupayakan dengan menjual Kios di Pasar Turi Baru yang diberikan oleh Bapak La Nyalla Mattalitti, sebanyak 10 buah. Majelis Hakim menolak pembayaran ganti rugi dalam bentuk kios pada saat persidangan tahun 2015. Saya disuruh untu menjual sendiri,” ucap Nelson dalam pembelaannya yang didampingi Penasehat Hukumnya, Yuliana Heriyanti Ningsih. SH., MH dkk.
Nelson Sembiring juga mengungkapkan fakta persidangan, yang dianggap tidak sesuai dengan surat dakwaan maupun tuntutan JPU dalam kassu Koruspsi dana hibah Kadin, terkait aliran dana yang diterimanya. Dalam surat dakwaan JPU menyatakan, bahwa jumlah dana yang diterima Nelson sebesar Rp 25,5 milliar.
Sementar dalam fakta persidangan sesuai keterangan 2 orang saksi yaitu Edy, pegawai Bank BTPN dan Ajeng Putri Wijayanti dari Bank Jatim.
“Dari fakta persidangan ditemukan, bahwa jumlah penerimaan dana hibah sebesar Rp 8.130.000.000. sementara berdasarkan audit BPKP Jatim tahun 2015, jumlah penggunaan dana hibah Kadin sebesar Rp 8.483.422.606. sehingga terlihat jelas, bahwa ada pemakaian dana pribadi sebesar Rp 353.422.606. analisa berdasarkan penerimaan dana hibah adalah paling cepat bulan Juli 2012, April 2013, April 2014. Pada hal, waktu pelaksanaan sudah diumulai pada bulan Januari setiap tahunnya. Dana yang yang dipergunakan sejak Januari hingga pencairan dana hibah adalah, berasal dari dana pribadi. Sehingga, pada saat pencairan dana hibah adalah merupakan pembayaran/penggantian dana dari pelaksanaan kegiatan sebelumnya,” beber Nelson.
Namun, apapun yang disampiakan Nelson Sembiring dalam persidangan di hadapan Majelis Hakim, sepertinya tak ada gunanya !?. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :