0
Ilustrasi
Surabaya, bk – “Kita beri kesempatan sekali lagi,” ucap Ketua Majelis Hakim, HR. Unggul Warso Murti. sebelum menutup sidang pada Jumat, 17 Juni 2016

Hal itu diucapkan Ketua Majelis Hakim dalam persidangan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hendri, dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Banyuwangi, atas sikapnya yang dianggap menunda persidangan dengan agenda pembacaan surat tuntutan untuk yang Kedua kalinya (tanggal 10 dan 17 Juni 2016) dengan alasan yang sama yaitu, tuntun belum siap.

Belum siapnya JPU membacakan surat tuntutannya atas diri terdakwa Holili, bisa jadi karena JPU-nya “kebingungan” untuk menuntut terdakwa, yang dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi dana GP3K (Gerakan Peningkatan Pendapatan Pertanian berbasis Korporasi) pada tahun 2012 lalu, sebesar Rp 288 juta berdasar hasil penyidikan dan penghitungan Tim “audit” Kejaksaan Negeri Banyuwangi, dibawah kepemimpinan Adi Palembangan, selaku Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus).

Tak hanya “bingung” membuat surat tuntutan, JPU pun sempat kebingungan dalam persidangan. Sebab, sejumlah saksi dan bukti-bukti yang ditunjukkan JPU, tak satupun yang memberatkan terdakwa Holili, mantan Ketua LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Rimba Makmur, Desa Bengkak, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi itu. Hingga satu lembar surat pelimpahan perkara dari penyidik (Jaksa) ke Jaksa Penuntut Umum dianggap sebagai bukti, JPU bermaksud untuk menunjukkan kehadapan Majelis Hakim, namun ditolak. Ketua Majelis Hakim mengatakan, dalam persidangan adalah fakta dan bukti bukan surat pelimpahan perkara.

Kasus ini sebenarnya sudah lama ditangani Kejari Banyuwangi, yaitu pada 2014 lalu. Namun sempat “dilemarikan”. Diduga karena ada “tekanan pihak Ketiga” Kejari Banyuwangi pun “membongkarnya” kembali.
Sebab, pada tahun 2012 lalu, Holili, yang menjabat sebagai Ketua LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Rimba Makmur, Desa Bengkak, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi itu, dituduh telah melakukan Korupsi dana GP3K sebesar Rp 228 juta. Alasannya, karena dana GP3K sebesar Rp 228 juta, tidak di salurkan kepada anggota LMDH.

Pada hal, dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan, dana sebesar Rp 228 juta itu adalah berupa pinjaman dari Perhutani kepada terdakwa dengan jaminan Sertifikat tanah. Dan tidak ada kaitannya dengan program Pemerintah Pusat (APBN) maupun Daerah (APBD). Awalnya, pada tahun 2012 lalu, Perhutani Kabupaten Banyuwangi Utara, mensosialisaikan adanya dana pinjaman dengan jaminan. Pada saat itu, Holili, selaku Ketua LMDH, mengajukan proposal disertai nama-nama anggota LMDH dengan besar jumlah dana yang dibutuhkan masing-masing anggota. Namun, pihak Perhutani tidak membutuhkan proposal melainkan jaminan dari masing-masing yang mengajukan pinjaman.

Para anggota LMDH tersebut, tidak ada yang menyertakan dokumen jaminan dengan alasan keberatan. Yang menyertakan jaminan hanyalah terdakwa sendiri, berupa sertifikat hak milik (SHM) atas nama P.Tojo selaku kakek terdakwa sendiri, setelah mendapat persetujuan dari Lima ahli waris P.tojo diantaranya, supatmah, Harti, Hayati (ibu dari terdakwa), Mariam dan alm. Asi’ah yAng digantikan anaknya. Kemudian, pihak perhutani melakukan verikasi atas sertifikat yang disertakan terdakwa. Selanjutnya, cairlah dana sebesar Rp 228 juta, yang sebelumnya membuat surat perjanjian kerja sama yang tertuang dalam surat No. II/GP3K/Watudodol/Bwu/II tanggal 18 Desember 2012 tentang dana pinjaman sarana produksi pertanian dalam rangka gerakan peningkatan produksi pangan berbasis korporasi (GP3K).

Dana tersebut, oleh terdakwa akan dipinjamkan kepada anggota LMDH lainnya dengan syarat, ada jaminan seperti yang disarankan Perhutani. Namun karena anggota LMDH lainnya tidak ada yang bersedia, maka dana tersebut digunakan oleh terdakwa sendiri untuk usaha pertanian. Penggunaan dana inilah yang memang diakui terdakwa sejak awal, yang kemudian tertuang dalam berita acara pelimpahan bukan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dijadikan Jaksa untuk menjeratnya.

Pada saat terdakwa melunasi pinjaman berikut tunggakan dan bunga sebesar 6%, kepada perhutani, justru pihak perhutani menolak pembayaran tunai. Perhutani justru bertindak sendiri dengan pemotongan dana sering yang menjadi milik LMDH tanpa melalui prosedur. Pada hal, aturannya, dana sering milik LMDH harusnya dicairkan oleh Perhutani melalui rekening LMDH. Namun faktanya, Perhutani telah melakukan pemotongan dana sering untuk melunasi pinjaman terdakwa.

Tragisnya, sertifikat terdakwa justru dihilangkan pihak perhutani. Sialnya biagi perhutani, mereka dihukum untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 10 juta melalui putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi, dalam Nomor Perkara, No. 212/Pdt.G/2015/PN.Bwi. Sementara dana sering milik LMDH yang berada di Perhutani, yang kemudian dipotong oleh pihak Perhutani tanpa prosedur, menjadi tanggung jawab terdakwa kepada LMDH dengan jaminan Sertifikat setelah diurus kembali, setelah disepakati dalam surat perjanjian antara terdakwa dengan LMDH.

Musibah dialami mantan Ketua LMDH itu, pada saat proses pengurusan sertifikatnya ke BPN. Sebab, ada yang bukan anggota LMDH namun mengaku sebagai anggota LMDH, kemudian melapor ke Kejaksaan Negeri Banyuwangi. Holili pun ditangkap dan dipenjarakan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Banyuwangi. Proses pengurusan sertifikat dengan menggunakan Uang pengganti dari perhutani, “hilang diruang tahanan Kejari”.

“Dewi Sri” bisa jadi berpihak kepada terdakwa dalam proses persidangan. Sebab, Ketua Majelis Hakim, memerintahkan terdakwa atau melalui Penasehat Hukumnya, Ribut Puryadi dan Mawardi, untuk melaporkan 4 orang dari perhutani yang menjadi saksi dipersidangan, dengan “tuduhan” menghilangkan sertifikat dan keterangan palsu dalam persidangan.   (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top