Saksi adalah sebagai panitia lelang pelepasan aset PT PWU
beritakorupsi.co – Jumat,
24 Nopember 2017, sidang perkara Korupsi penjualan asset daerah yang
dikelola PT PWU Jatim jilid II dengan terdakwa Oepoyo Sarjono (Direktur
Utama PT Sempulur Adi Mandiri), kembali digelar untuk yang pertama
setelah Majelis Hakim yang diketuai H.R Unggul Warso Mukti menolak
Eksepesi (keberatan) terdakwa melalui Penasehat Hukum (PH)-nya atas
surat dakwaan JPU pada minggu lalu (17 Nopember 2017).
Kali
ini, JPU Harwidi dkk dari Kejari Surabaya menghadirkan 4 orang saksi
dari PT PWU selaku panitia lelang pelepasan asset. Ke- 4 saksi itu
adalah M Sulkhan, staf PT PWU; Budi Raharjo, mantan staf keuangan PT PWU
dan Emilia Aziz, mantan staf personalia PT PWU yang menjadi Sekretaris
Panitia lelang, Johanes Dasikan dan Suhadi.
Dihapan
Majelis Hakim, para saksi ini dengan jujur mengakui, bahwa saksi sebagai
panitia lelang tidak melaksanakan tugasnya. menurut para saksi, karena
mereka tidak dilibatkan oleh Ketua pelepasan aseet yakni Wishnu
Wardhana, namun saksi juga mengakui, menerima honor dan menandatangani
dokumen. Saksi juga mengakui, kalau penjualan asset PT PWU di Kediri dan
Tulungagung
“Sebagai anggota panitia pelepasan asset
atas SK Dirut PT PWU (Dahlan Iskan). Ketua, Wishnu Wardhana, Sekretaris
Emilia, anggota Budi, Raharjo dan Sulkan. Tidak dilibatkan, hanya
diminta untuk tandatangan,” kata para saksi kepada Majelis Hakim.
Keterngan saksi dalam persidangan jilid II ini, sama dengan
keterangannya di jilid I, yakni pada tanggal 17 Januari 2017 lalu.
Usai
persidangan, JPU Harwidi mengatakan, bahwa keterangan saksi sebagai
panitia lelang, sama dengan keterangannya pada sidang sebelumnya dengan
terdakwa Wishnu Wardana. Namun saat ditanya lebih lanjut terkait
tanggung jawab hukum sebagai panitia yang menerima honor dan
menandatangani dokumen namun tidak melaksanakan tugasnya. JPU Harwidi
menjelaskan, uang yang diterima saksi cukup dikembalikan saja. Jawaban
yang sangat berpihak kepada saksi, bukan penegakan hukum yang merata.
“Keterangan
saksi ini sebagai panitia lelang sama dengan keterangan pada sidang
sebelumnya. ini kan lanjutan aja. benar mereka menerima honor, tapi
cukup dikembalikan aja kan,” kata JPU enteng.
Fakta Persidangan Jilid I
Selasa 17 Januari 2017, Lima orang saksi selaku panitia lelang pelepasan asset dihadirkan JPU, diantaranya, M Sulkhan, staf PT PWU; Budi Raharjo, mantan staf keuangan PT PWU dan Emilia Aziz, mantan staf personalia PT PWU yang menjadi Sekretaris Panitia lelang, Johanes Dasikan dan Suhadi.
Dalam fakta persidangan saat itu terungkap. Ternyata sudah ada pembayaran sebelum penjualan asset di Tulungangung. Pembayaran pada tanggal 3 Juni 2003, sementara pembukaan dokumen lelang baru pada tanggal 18 Juni 2003. Empat perusahaan sebagai peserta lelang, salah satu diantanya adalah PT Sempulur sekaligus sebagai pemenang lelang dengan nilai penawaran sebesar Rp 8 milliar. Untuk operasional panitia lelang sebesar Rp 510 juta. Setiap panitia memperoleh honor antara 1 hingga 1,5 juta rupiah, kecuali Emilia Aziz, selaku Sekretaris Panitia lelang memperoleh honor sebesar Rp 5 juta.
Emilia Aziz menjelaskan kepada Majelis saat itu, bahwa dirinya menerima dokumen dari terdakwa Wisnu. Sementara menurut terdakwa Wisnu Wardhana, saat ditemui media ini dari balik jeruji besi ruang tahanan Pengadilan Tipikor menjelaskan, tidak pernah memberikan dokumen apapun kepada Emilia. “Nanti pada saatnya, saya akan minta di kroscek dipersidangan. Ke Notaris saya juga tidak tahu, pembayarannya pun sya tidak tahu,” kata Wisnu dari balik jeruji besi.
Pada Jumat, 20 Januari 2017, JPU menghadirikan 6 orang saksi ke Persidangan namun yang hadir hanya 4 saksi, diataranya Suhardi, mantan Direktur Keuangan PT PWU; Sustri Handayani, Kasir PT PWU; Supratiwi; dan Sugeng Hinarjo (sidang terpisah), bagian administrasi keuangan PT Kuda Laut Emas. Sementara saksi Ir. Sofian Lesmanto termasuk Dr. Sam Santoso, tak tampak di gedung pengadil orang-orang yang diduga merugikan keuangan negara alias Koruptor.
Dari keterangan saksi ini hampir sama dengan keterangan sebelumnya, yakni adanya pembayaran sebelum penjualan. Dihadapan Majelis Hakim terungkap, bahwa Direktur Keuangan telah menerima pembayaran berupa BG sebesar Rp 8 milliar pada tanggal 30 Agustus 2003. Pada hal, RUPS tentang persetujuan pelepasan asset baru pada tanggal 3 Sepetember 2003.
Saat JPU maupun Majelis Hakim melontarkan pertanyaan kepada Suhardi, yang sudah 10 tahun menjabat sebagai Direktur Keuangan ini, “penyakit” lupa tak luput dari ingatannya, karena memang belum ada ahli kesehatan yang menemukannya. Sehingga saksi pun tak bisa menjelaskan Perda No 5 tahun 1999 tentang penggabungan Lima perusahaan Daerah, pasal 14 yang berbunyi; penjualan asset dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan DPRD.
pada persidangan saat itu ada terungkap, pada saat anggota Majelis Hakim Dr. Andriano, menanyakkan saksi Suhardi, terkait pembayaran senilai 8 milliar rupiah berupa BG, namun dalam dokumen tercantum sebesar Rp 8,250 M. sehingga ada selisih senilai 250 juta.
Inilah yang dipertanyakkan anggota Majelis Hakim kepada saksi. “ Bagaimana pertanggungjawabannya dan bagaimana hasil audit yang dilakukan oleh angkutan publik. Kalau ini yang audit BPK, inilah temuan,” tanya Hakim Dr. Andriano. “Bagaimana, apakah angkutan publiknya dijadikan saksi ?,” Tanya Hakim angota ini pada JPU saat itu.
Tidak hanya itu. JPU juga menanyakkan terkait pengeluarana dana dari PT PWU sebesar 8 juta rupiah untuk pembayaran pajak PBB, pada hal pajak PBB dibayar oleh pembeli. Suhardi hanya menjelaskan seputar adanya hasil RUPS.
“Ini kan sudah PT jadi UU PT. Kalau sudah ada persetujuan RUPS, sudah sah. unsur kehati-hatian kita sudah minta persetujuan DPRD, tapi nggak berani, lalu melempar ke Gubernur. Kalau asset itu membebani supaya dijual. DPRD dan Gubernur tidak masuk ke PT. Proses kita lakukan kalau ada RUPS bukan dari Gubernur,” kata Suhardi kepada Majelis.
Anehnya, mantan anak buah terdakwa Dahlan Iskan ini semasa di PT PWU, tidak tau SOP penjualan kecuali hanya mendengar. Jawaban lupa sering terucap dari saksi Suhadi. Yang lebih anehnya lagi, saat Ketua Majelis Hakim menanyakkan tentang pengertian disetuji terkait hasil RUPS sesudah ada pembayaran.
“Apa pengertian saksi tentang disetuji. Apakah disetuji setelah di jual atau disetujui sebelum penjualan ?,” Tanya Ketua Majelis. “Kalau dijual baru disetujui, itu salah,” kata saksi Suhardi tegas.
Selasa, 24 Januari 2017, JPU kembali menghadirkan 4 (Empat) orang saksi diantaranya, M. Mahfud, Kepala Biro Hukum; Emi Risnawati, Kasubbag Penghapusan Aset Biro Perlengkapan; Samsudin selaku Kasubag BUMD Biro Perekonomian (Ketiganya dari Pemrov. Jatim) dan Yantiningsih, selaku Appraisal dari PT Satya Tama Graha selaku Kapala Cabang.
Ketiga saksi dari Pemrov ini adalah sebagai Tim Restrukturisasi asset sesuai SK yang dibuat oleh PT PWU. Namun dihadapan Majelis Hakim, Ketiga saksi tidak pernah menerima SK yang dimaksud. Ketiga saksi selaku pejabat Pemrov. Jatim ini lebih “diserang penyakit” lupa pula. Apakah lupa benaran atau memang pura-pura lupa karena ada “tekanan” ?
Yang anehnya, M. Mahfud, selaku Kepala Biro Hukum Pemprov Jatim, tidak mengetahui luas asset yang dijual oleh PT PWU. M. Mahfud lebih banyak menjawab tidak tahu. Namun Ia (Mahfud) menjelaskan, bahwa PT PWU adalah penggabungan dari Lima perusahaan daerah berdasarkan Perda Nomor 5 tahun 1999.
“PT PWU adalah penggabungan dari Lima perusahaan daerah berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 1999,” kata Mahfud.
Sementara Yantiningsih, selaku Appraisal dari PT Satya Tama Graha selaku Kapala Cabang menjelaskan dihadapan Majelis Hakim, bahwa dokumen yang dikeluarkan oleh PT Satya Tama Graha untuk kepentingan Managemen. Dan apa bila dipergunakan oleh pihak lain, harus mendapat persetujuan perusahaan yang dipimpinnya.
“Itu hanya untuk Managemen PT PWU,” kata saksi kepada Majelis.
Sementara...........
Dalam BAP Sam Santoso, yang dibacakan JPU dalam persidangan saat itu menjelaskan, bahwa dirinya bertemu dengan Dahlan Iskan di Graha Pena, Jalan A. Yani Surabaya, kantor Jawa Pos untuk menanyakkan terkait informasi penjulan sebidang tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten Kediri dan Tulungagung.
Beberapa hari kemudian, Sam Santoso menemui Dahlan Iskan di Graha Pena, menyampaikan penawarannya untuk asset di Kediri senilai Rp 17 milliar, dan Tulungagung senilai Rp 8,750 milliar. Dari penawaran Sam Santoso, Dahlan Iskan tidak langsung menyetuji saat itu juga, melainkan menunggu beberapa hari.
Pertemuan antara Sam Santoso, Dahlan Iskan dan Wishnu Wardhana menghasilkan kesepakatan nilai asset PT PWU di Kediri dan Tulangagung, diperkirakan sekitar awal Mei 2003, yang merujuk pada pembayaran aset di Kediri senilai Rp 17 miliar pada 3 Juni 2003.
Sementara itu, Sam Santoso baru melakukan pembayaran asset di Tulungagung senilai Rp 8,75 miliar pada tanggal 30 Agustus 2003, sedangkan penawaran untuk aset di Tulungagung baru dibuka sekitar taggal 8 September 2003. Dari keterangan Sam Santoso di BAP, bahwa kesepakatan jual-beli asset telah dilakukan jauh sebelum proses lelang atau penawaran dibuka.
Selain keterangan Sam Santoso yang dibacakan, JPU juga membacakan keterangan saksi Imam Utomo mantan Gubernur Jawa Timur, karena tidak bisa hadir dalam persidangan dengan alasan sakit.
Imam Utomo mengakui dalam BAP-nya, ada surat dari DPRD Jatim yang ditujukan ke Dirut PT PWU. Dan Dia (Imam Utomo) menjelaskan dalam BPA-nya, tidak pernah mengeluarkan Surat Keputusan tentang persetujuan pelepasan asset PT PWU Jatim. Surat yang pernah dikeluarkan Imam Utomo, menindaklanjuti surat dari Ketua DPRD Jatim.
Kasus ini pun masih menggelitik. Apakah penyidik Kejati Jatim hanya menyeret 4 tersangka/terdakwa (Wishnu Wardana, Dahlan Iskan, Oepojo Sarjono dan Sam Santoso) dalam pelepasan asset milik Pemprov Jatim ini ? Lalu bagaimana dengan panitia lelang yang menerima honor dan menandatangani dokumen namun tidak melaksanakan tugasnya ? Apakah panitia lepas tanggung jawab hukum karena kasus ini sudag diadili ?
Sementara, beberapa tersangka yang sudah mengembalikan kerugian negara tetap diadili, dengan alasan para penegak hukum, bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus sangsi pidananya. namun bisa jadi hanya berlaku untuk sebahagian orang dilihat dari situasi dan kondisi alias SIKON. (Redaksi)
|