Terdakwa Joko Sutrisno |
Sekalipun Joko Sutrisno sudah berupaya melalui Penasehat Hukumnya untuk bisa berlebaran bersama keluarganya dimalam takbiran yang tinggal beberapa hari lagi, melalui Eksepsi (keberatan) atas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang disampaikannya kepada Majelis Hakim, juga tak berhasil.
Sebab pada Selasa, 21 Juni 2016, Majelis Hakim yang diketuai H.R. Unggul, menolak keberatannya dalam sidang perkara Korupsi Prona dengan dengan agenda pembacaan putusan sela. Majelis Hakim justru memerintahkan JPU dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya itu untuk menghadirkan saksi-saksi maupun menunjukkan barang bukti dalam persidangan berikutnya.
“Menolak Keberatan (Eksepsi) Penasehat Hukum terdakwa. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan saksi-saksi,” ucap Hakim Unggul, saat membacakan putusan sela.
Putusan Majelis Hakim ini, akan membuka “takbir” dalam kasus dugaan Korupsi Prona yang menyeret Kepala Kelurahan Dukuh Setro (Joko Sutrisno), Kecamatan Tambaksari, Pemkot Surabaya, Jawa Timur pada tahun 2013 – 2014 lalu. Sebab, Kasus pungli (pungutan liar) dalam pengerusan sertifikat yang didanai dari anggaran APBN ini ditengarai mengalir kesejumlah oknuk di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pemkot Surabaya, Lembaga Suwadaya Masyarakat (LSM) maupun Wartawan. Apakah Kejari Surabay “punya nyali” untuk membeberkan fakta-fakta yang sebenarnya ? Sebab, beberapa kasus yang menyeret oknum Wartawan dalam kasus dugaan Korupsi tak satupun yang jelas, kecuali dalam kasus pemberitaan.
Menangapi putusan sela Majelis Hakim tersebut, Pujianto Cs, selaku PH terdakwa tak ada komentar. Dia hanya menyampaikan, bahwa kliennya tak bersalah. “Kilen saya tak tau tentang adanya penarikan Uang itu. Memang dia mengakui menerima Uang, sebanyak 60 juta” ujarnya usai persidangan.
Kasus ini bermula pada tahun 2013 – 2014 lalu. Saat itu, Kelurahan Dukuh Setro, Kecamatan Tambaksari, Pemkot Surabaya, Jawa Timur, mendapat dana Prona dari Pemerintah Pusat (APBN) lewat BPN Kota Surabaya, dalam hal pengurusan sertifikat gratis untuk sebanyak 600 pemohon/bidang. Dalam pelaksanaan Prona tersebut, pengurusan Sertifikat memang tidak gratis 100% dibaiayai oleh pemerinta. Ada biaya yang harus ditanggung pemohon diantaranya, biaya prangko sebanyak 6 hingga 10 lembar dengan harga satuan, Rp 6000 dikali 600 per pemohon/bidang, pembelian patok sebayak 4 buah dengan harga sekita Rp 15 ribu dikali 600 pemohon/bidang, biaya foto Copy. Dengan alasan inilah, awal mula seseorang Panitia Prona “diintai” oleh Undang-Undang Korupsi, bila salah menyalahgunakan jabatannya termasuk penarik dana dengan tidak resmi.
Joko Soetrisno, pada tahun 2013 – 2014 menjabat sebagai Kepala Kelurahan Dukuh Setro, Kecamatan Tambaksari, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang pada saat pelaksanaan program Pemerintah yaitu Prona, yang dananya berasal dari APBN lewat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pemkot Surabaya untuk sebanyak 600 bidang/pemohon). Program Pemerintah untuk warga tidak mampu di Kelurahan Dukuh Setro itu pun “berbuntut”. Sebab, mantan Lurah dukuh Setro ini, dituduhan telah melakukan penarikan biaya dalam pelaksanaan Prona untuk sebanyak 600 pemohon/bidang sertifikat, yang besarnya antara 1 hingga 1,5 juta rupiah per pemohon, tanpa ada dasar hukumnya.
Akibatnya, Sutrisno pun, diancam hukuman pidana penjara minimal 1 tahun dan paling lama 5 tahun, seperti yang diatur dan diancam dalam pasal 12 huruf e, atau pasal 11 Undang-undang Korupsi, jo pasal 55 ayat (1) ke-1. Kasus ini boleh dibilang menyita waktu cukup lama ditangani oleh Kejari Surabaya, dibahwa pimpinan Kepala Kejaksan (Kajari)Surabaya, Didik Farkhan dan Kepala Seksi pidana Khusus (Kasi Pidsus), Roy Rovalino,SH, yang sukses menangani salah satu mega Korupsi MERR II C (proyek pembebasan lahan) senilai Rp 12 milliar lebih yang hanya menyeret anggota Satgas dan masyarakat di penjara karena dianggap lebih bertanggung jawab dari pada pejabat P2T (Pejabat Pembebasan Tanah).
Sebab, kasus pungli dalam program Prona, yang menyeret mantan Lurah Dukuh Setro tersebut, sempat beredar pemberitaan dibeberapa media, tekait keterlibatan oknum LSM dan Wartawan Harian lokal. Namun, kabar itu pun “hilang di telan angin puting beliung”. Tak heran, bila masyarakat berpandangan bahwa, penegakan hukum itu “melihat sitiasi dan kondisi lapangan”.
Sementara, berdasar informasi, ada data/laporan sekitar satu tahun lalu yang masuk ke Kejari Surabaya, lewat Kasi Pidsus terkait adanya dugaan penyimpangan anggaran untuk ronovasi, pengadaan Mamin dan sebagainya disalah satu rumah sakit di Surabaya, namun hingga saat ini juga tidak jelas. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :