0
Saksi Antonis dan Siswanto Tejo (duduk sambil menoleh kebelakang)
Surabaya,bk - Untuk kesekian kalinya, JPU dari Kejati Jatim sudah menghadirkan sekitar 13 (Tiga belas) orang saksi di persidangan dalam kasus dugaan Korupsi penambangan pasir besi (Galian B) di Desa Bades, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur pada tahun 2010 lalu, yang diduga merugikan keuangan negara RI sebesar Rp 79.829.405.622,5, berdasarkan hasil penghitungan BPKP Perwakilam Jawa Timur, tapi tak Satu pun yang memberatkan terdakwa.

Ke-13 saksi itu diantaranya mantan Sekretaris Daerah (Sekda Kabupaten Lumajang, mantan Kepala Dinas (Kadis) dan mantan Plt. Kepala Dinas (Plt.Kadis) Lingkungan Hidup dan 3 Staf Dinas lingkungan Hidup, Mantan Kepala Desa Bades, Kecamatan Pasirian, dari Perhutani, Mantan Direktur PT IMMS, Wakil Direktur CV Lintas Sumberdaya Lestari (Konsultan), Abdul Rahem Faqih (sudah dijadikan tersangka) dan satu orang Tim Teknis serta dua orang dari rekanan (CO).

Dari 13 saksi yang dimaksud, hanya satu diantaranya yang memberatkan terdakwa yakni, dari pihak Perhutani. Sebab menurut Perhutani, bahwa lokasi penambangan PT IMMS adalah 40% miliknya. Tapi dalam fakta persidangan, sepertinya diragukan Majelis Hakim. Karena lokasi yang di kliem milik Perhutani itu sehingga belum dikeluarkan ijin, hanya sebatas data dari pihak perhutani sendiri yang tidak terdaftar di BpN sejak dulu (“pada hal Indonesia sudah Merdeka selama 71 tahun”). Sementara menurut Pemda, bahw lokasi penambangan PT IMMS adalah milik Pengairan Pemda Lumajang, sehingga ijin yang dimilik PT IMMS adalah dari pihak Pemda. Karena dianggap melakukan penambangan secara ilegal dan tidak memliki ijin AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) serta tidak membayar royalti kepada negara dari hasil penambangan itu, PT IMMS pun dituduh telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 79.829.405.622,5,.

Penambang Tahun 2010 – 2012 Di Alam Terbuka, Tapi Perhutani Melaporkan Baru Tahun 2015. Ada “Udang Di Balik Batu ?”

Pada thn 2011, PT IMMS telah membayar iuran tetap IUP Eksplorasi periode perpanjangan ke II Wilayah Lumajang, tanggal 25 Agustus 2010 sampai dengan 24 Agustus 2011, sebesar Rp 51.098.000, tanggal 16 Mei 2011 dan Rp 17.925.000 tanggal 18 Mei 2011 ke Pemerintah melalui Departmen Energi dan Sumberdaya mineral. Tahun 2012, pembayaran Iuran tetap IUP Produksi Blok Dampar Kabupaten Lumajang, periode 2011 – 2012 sebesar $US 4.780 atau Rp 43.426.300 tanggal 8 Mei 2012, dan Rp 132.841.800 tanggal 12 Mei 2012. Serta pada tahun 2013 sebesar Rp 159.329.161. Tidak hanya itu. PT IMMS juga telah melakukan pembayaran royalti Blok Dampar ke Rekening Kas Negara Nomor 501.000.000. Kode Kementerian/Lembaga No. 020 Departmen Enegrgi dan Sumber Daya Miniral, Kode 006, Direktorat Jenderal Miniral Batu Bara dan Panas Bumi. Ijin IUP-OP Nomor 188.45/224/427.12/2011, sebesar Rp 2750 Ton X Rp 300.000 X 3,75% atau Rp 30.937.500, Invoice No 020/IMMS-DW/IV/2013 dan Packing list No 020/IMMS-DW/IV/2013, tanggal 5 April 2013 (data yang dimiliki media ini).

Penambangan pasir (Galian C) di Desa Selokawarawar, yang menghasilkan lembaran-lembran rupiah. Berdasar sumber, aliran dana dari hasil tambang pasir (Galian C bukan galian B) tersebut Rp 650 ribu per tronton dikali 200 hingga 300 tronton per hari atau sekitar Rp 4 hingga 5,8 milliar setiap bulan, yang diduga, “pasir” tersebut masuk kekantong peribadi beberapa pejabat Pemda Lumajang dan bisa juga hingga ke Pemerintah Provinsi Jawa timur. Kasus penambangan pasir di Kabupaten Lumajang pun menjadi perhatian Publik, mulai dari pemulung hingga President, karena telah makan korban dengan tewasnya salah seorang warga Desa Selokawarawar, Kecamatan pasirian, Kabupeten Lumajang, ditangan para “preman tambang” yakni, Salim Kancil, yang diotaki Kepala Desa Selokawarawar sendiri, Hariyono yang saat ini sudah disidangkan di PN Surabaya dengan tuntutan pidana seumur hidup, tinggal menunggu putusan Hakim.

Kasus PT IMMS “Sengaja Untuk Menutupi Kasus Yang Sebenarnya” ?

Ada dugaan, untuk menutupi kasus yang sebenarnya terkait penambangan ilegal yang menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia, maka saat ini yang disidangkan adalah kegiatan yang dilakukan PT IMMS. Setelah PT IMMS diseret ke Pengadilan Tipikor, kasus penambangan pasir di Desa Selokawarawar menjadi “aman tenteram”. Dalam fakta persidangan dari keterangan saksi terungkap, bahwa yang melakukan penambangan di milik PT IMMS sejak 2009 adalah masyarakat setempat maupun dari luar.

Selain itu, mantan Direktur PT IMMS mengungkapkan dalam persidangan, bahwa sebelum PT IMMS diseret ke Pengadilan Tipikor, pada tahun 2012 lalu, PT IMMS sudah pernah melaporkan ke pihak Kepolisian terkait adanya penambangan ilegal di milik PT IMMS, termasuk Dua alat berat berupa Excavator yang disita Penyidik Kejati Jatim dari Jember, bukan milik PT IMMS melainkan milik Halim. “dari laporan itu, ada yang ditangkap. Tersangkanya H.Tohir dan ada yang juga lari atau DPO yaitu Subeni. Jadi bukan PT IMMS yang melakukan penambangan liar,” kata San panggilan terdakwa Lam Chong San kepada media ini beberapa waktu lalu.

Terkait ijin AMDAL untuk tambang pasir besi (galian B) yang akan di Ekspor sesuai dengan prosedur harus melalui Konsultan. Sehingga pada tahun 2010, PT IMMS mempercayakan kepada CV Lintas Sumberdaya Lestari, selaku Konsultan untuk mengurus ke Pemda Lumajang sesuai dengan Kontrak Kerja. Di hadapan Majelis Hakim yang diketuai H.R Unggul terungkap pula, bahwa Ijin AMDAL ditandatangani Bupati Lumajang atas rekomondasi dari Plt.Kepala Dinas Lingkungan Hidup. Dasar keluarnya ijin AMDAL setelah Bupati Lumajang mengeluarkan ijin kelayakan. Hal itu seperti yang diungkapkan para saksi yang dihadirkan JPU antara lain, Kahar, dari Dinas LH selaku sekretaris Tim Teknik AMDAL. Kahar, tidak punya sertifikasi keahlian dibidang AMDAL. Agus Rochman Rojak. Dalam persidangan Rojak mengatakan, Ijin AMDAL sudah ada sebelum ada ijin dari Perhutani. Bupati mengeluarkan surat kelayakan. Surat kelayakan itu terkait ijin AMDAL. Kalau surat kelayakan tidak dikeluarkan Bupati, Ijin AMDAL tidak akan keluar. Dan saksi Abdul Fatah, mantan Sekda Kabupaten Lumajang ini juga menjelaskan, kalau dirinya mengakui sebagai penanggung jawab atas Tim Teknik yang dibentuk oleh Dinas lingkungan Hidup.

“DLH membentuk Tim. Wakil Bupati sebagai pembina, Sekda sebagai penanggung jawab, Ketua, Kadis, Sekretaris Abdul Ghofur. AMDAL ditandatangani Bupati. Mantan sekda itu juga menjelaskan bahwa, terkait AMDAL PT IMMS, juga atas persetujuan pemerintah Provinsi, setelah terlebih dahulu dibahas oleh Tim Teknik yang selanjutnya ke Pemerintah Daerah Lumajang,” kata Abdul Fatah saat itu.

Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar di lokasi milik PT IMMS, juga dikuatkan dari keterangan dua orang saksi yang dihadirkan oleh JPU Lili LindawatI Cs dari Kejaksaan Tinggi Jatim dalam persidangan, pada Selasa, 21 Juni 2016.

Keuda saksi tesebut adalah Antoni, Direktur PT Dampar Golden Indonesi (DGI) dan Siswanto Tejo, Direktur PT Surabaya Prima. Kedua saksi ini adalah sebagai CO (Community Organizer) berdasarkan perjanjian kontrak kerja dengan PT IMMS. Sebagai CO, PT DGI dan PT Surabaya Prima memiliki ijin penambangan berupa pengolahan dan pemurnian tetapi tidak memiliki ijin Eksport. Dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim, saksi mengatakan bahwa hasil penambangan pasir besi yang diterima dari masyarakat dan langsung membayar, kemudian disetor ke PT IMMS yang memiliki ijin Ekspor sesuai kontrak kerja. Penambangan dilakukan oleh masyarakat sekitar di lokasi PT IMMS, tetapi bukan atas perintah PT IMMS.

“Ada ijin pengolahan dan pemurnian pasir besi. Wilayah tercantum di Ijin IUP-OP. Ada kerja sama berupa kontrak kerja sejak Mei – Desember 2013. PT DGI melakukan pengolahan dan pemurnian setelah menerima setoran dari masyarakat, yang mengekspor adalah PT IMMS,” kata Antoni kepada Majelis Hakim. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Siswanto Tejo dihadapan Majelis Hakim. Tejo mengatakan, kerja sama PT Surabaya Prima dengan PT IMMS 2013. “Ada kerja sama dengan PT IMMS. Kalau royalty 3,72% dibayar oleh PT IMMS,” kata Tejo dihadapan Majelis Hakim.

Saksi Antoni menambahkan, pasir besi diterima dari masyarakat dan langsung dibayar. PT DGI menerima setoran dari PT IMMS. “Masyarakat itu melakukan sendiri di lokasi PT IMMS. Apa yang disampaikan saksi, dibenarkan terdakwa setelah ditanyakkan oleh Ketua Majelis Hakim.

Usai persidangan, Antoni menjelaskan kepada media ini, bahwa kegiatan penambangan dilakukan oleh masyarakat bukan atas nama atau perintah dari PT IMMS. Ditanya lebih lanjut, mengapa PT DGI menerima dari masyarakat, Direktur PT DGI ini menjelaskan karena masyarakat tidak memperbolehkan ada kegiatan. “Yang melakukan penambangan masyarakat. Kita beli dari masyarakat terus kita setor ke PT IMMS. Yang bayar royalti kadang kita, kadang PT IMMS,” ujar Antoni.

Sementara JPU Dewi, tak mau komentar terkait keterangan saksi dipersidangan yang tidak berbeda dengan BAP (berita acara pemeriksaan) saat penyidikan di Kejati Jatim. Keterangan Kedua saksi ini, sama dengan keterangan mantan Kepala Desa Pasirian beberapa waktu lalu. Bahkan mantan Kades Pasirian itu mengungkapkan, tidak ada masyarakat yang keberatan terkait adanya kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT IMMS pada saat sosialisai yang dilakukan oleh Pemda Lumajang. Justru dengan adanya kegiatan PT IMMS, masyarakat dapat menikmati aliran listrik dan adanya perbaikan jalan.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top