0
Ketua Majelis Hakim, Mateus Samiaji
Surabaya, bk  – “Dibalik duka ada suka !”. Barang kali kalimat itu tepat bagi Buchori, Suhadak dan Sugeng Wijaya, saat ini.

Sebab, sekalipun Ketiganya menyandang “gelar” terdakwa dan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TPK atau Tipikor) Surabaya, karena kasus dugaan Korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan Kota Probolinggo tahun 2009 lalu yang merugikan keuangan Negara sebesar Rp 1,6 milliar, namun ketiganya tidak ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) seperti terdakwa-terdakwa lainnya.

Memang, nasib terdakwa H.M. Buchori (mantan Wali Kota Probolinggo), Suhadak (saat ini Wakil Wali Kota (aktif) Probolinggo) dan Sugeng Wijaya (Direktur CV. Wiec), tidak sebaik terakwa-terdakwa lainnya terutama bagi terdaka kasus Korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI.

Sekalipun Ketiganya menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya, namun para terdakwa masih dapat melenggangk-lenggok dengan langkah kaki yang tegap, bercanda ria dengan masyarakat luas di nusantara ini, khususnya bagi terdakwa Suhadak, dapat melaksanakan tugas kenegaraan. Sebab dirinya saat ini menjabat sebagai Wakil Wali Kota Probolinggo.

Penyidik Kejaksaan Agung RI, yang menagani kasus ini memang boleh dibilang berhati mulia bagi terdakwa maupun keluarganya. Sebab, penyidik Kejagung RI hanya semapat “menginapkan” Ketiga terakwa di “Hotel Prodeo” Kelas I Surabaya, Medaeng, Sidoarjo, Jawa Timur, dan kemudian membebaskannya pada tanggal 15 Agustus 2016 di malam hari.

Setelah penyidik Kejagung RI membebaskan para terdakwa dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Medaeng, saat ini giliran Majelis Hakim Tipikor yang menangani perkara ini pun bagaikan melengkapi kebahagiaan terakwa, khususnya H.M. Buchori dan Suhadak.

Sebab, sekali pun Majelis Hakim yang diketuai Mateus Samiaji, menolak Eksepsi (keberatan) terdakwa melalui Penasehat Hukumnya (PH) Budi Santoso Cs, atas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Majelis Hakim tidak “berani” mengeluarkan surat penetapan penahanan bagi ke Dua terdakwa, Buchori dan Suhadak (terdakwa Sugeng Wijaya, menunggu putusan sela). Penolakan Eksepsi PH terdakwa dan menerima surat dakwaan JPU  oleh Majelis Hakim, dibacakan dalam persidangan dengan agenda putusan sela, pada Kamis, 13 Oktober 2016.  

“Menolak Eksepsi Penaseha Hukum terdakwa, seluruhnya. Memerintahkan Jaksa penuntut Umum Untuk menghadirkan saksi-saksi pada persidangan,” ucap Hakim Mateus Samiaji.

Persidangan yang berlangsung dijaga ketat oleh petugas Kepolisian dari Polres Sidarjo dan jajarannya yang berjumlah sekita 68 orang, setelah pada sidang sebelumnya, AKP Eka Anggriana, selaku Kapolsek Sedati, melihat situasi di gedung pengadil “penikmat” uang rakyat itu dipenuhi pengawal pribadi terakwa mantan orang nomor Satu di Kota Probolinggo itu, sekalipun Kejaksaan Negeri Probolinggo enggan berkordinasi dengan pihak Pengadilan Tipikor Untuk melibatkan pengamanan dari Kepolisian.

Pada hal, pihak kemanan Pengadilan Tipikor telah menemui Kepala Seki Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Probolinggo di gedung Pengadilan sebelum persidangan dimulai, namun tak meresponnya.

“Kita sudah menemui Kasi Pidsusnya Untuk berkordinasi terkait pengamanan tetapi nggak mau,” kata salah seorang Satpam Pengadilan. (Redaksi)

Kasus ini bermula pada tahun 2009. Pada saat itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Probolinggo menerima kucuran dana dari pemrintah Pusat yang bersumber dari APBN sebesar Rp 13.587.999.300 ditambah dana pendamping dari Pemkot Probolonggo sebebsar Rp  1.509.777.700. sehingga total dana DAK Pendidikan sebesar Rp 15.907.777.000. Dana  tersebut akan digunakan untuk pengadaan Mebeler bagi 70 sekolah SD, dengan nilai Rp 1.887.500.000,  dan dana sebesar Rp 13.210. 277. 000 akan digunakan untuk perbaikan bangunan gedung sekolah, dengan cara Swakelola berdasarkan Permendiknas Nomor :  3 Tahun 2009 dan Perpres No. 80 Tahun 2003 tentang pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah.

Namun dalam pelaksanaannya, Wali Kota Probolinggo justru menunjuk beberapa rekanan untuk mengerjakan proyek yang di danai dari uang rakyat itu diantaranya, CV Prasetyo (Direktur Rudiono/DPO) untuk 22 sekolah, CV  Indah Karya (Direktur Suhadak) untuk  26 sekolah, dan CV Jatijaya  (Direktur Ahmad Napon Wibowo)  sebayak 22 sekolah. Sementara Konsultan Perencanaan terdiri dari, CV  Pandan Landung (Direktur Didik), CV Widya Karya (Direktur Hari) dan CV Wiec (Direktur Sugeng Wijaya).

Sebelum pelaksanaan proyek, diadakan pengarahan atau sosialisai oleh Kepala Dispendik selaku Pejabat Pengguna Anggaran, Maksum Subani, Kabid Pendidikan Dasar Masdar, dan Ketua Dewan Pendidikan  Wawan bersama dengan 70 Kepala sekolah SD selaku penerima DAK yang dihadiri oleh Wali Kota Buchori.

Saat itulah Wali Kota Buchori member pengarahan tentang dan DAK. Yang isinya antara lain, untuk memperoleh  dana DAK, tidak sekadar  bondo  abab (hanya bicara), tetapi  harus nyenggek (menyodok). Arahan itu kemudian di jelaskan lagi oleh  Kadispendik.  “ Buntut” dari arahan Wali Kota Buchori, meminta kepada setiap Kepala Sekolah penerima dana DAK untuk menyetorkan 7%  dari nilai anggaran yang diperoleh. Namun karena Kepala Dinas Pendidikan keberatan, sehingga turun menjadi  5%. Dan setelah dana DAK cair, 70 Kepala Sekola akhirnya menyetorkan masing-masing 5% dan terkumpulah uang sebesar Rp 750 juta. Uang sebesar Rp 300 juta diserahkan ke Wali Kota Buchori di rumah dinasnya. Hal ini pun terungkap pula dalam surat dakwaan terdakwa Maksum pada persidangan Jilid I. (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top