![]() |
Terdakwa Joko Sutrisno |
Kasus yang menyeret Lurah/Kades di berbagai Kabupaten/Kota di tanah air ini pun sama. Yaitu, dengan tuduhan adanya pungutan liar (Pungli) alias penarikan dana (Uang) dari pemohon sertifikat secara tidak resmi, yang dilakukan oleh pegawai Kelurahan maupun Desa tersebut. Tak perduli, apakah itu karena ada dasar sukarela sejak awal atau tidak. Namun bila ada satu orang saja yang keberatan atas adanya penarikan Uang yang tidak berdasar dikemudian hari setelah proses sertifikat itu selesai, maka Penegak Hukum dari ke Polisian maupun Kejaksaan yang mengetahuinya, dengan secepatnya akan melakukan proses penyelidikan maupun penyidikan.
Seperti yang dialami mantan Lurah Dukuh Setro, Joko Soetrisno, yang saat ini sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, karena dituduh, melakukan Korupsi dengan cara, menarik dana (Uang) dari masyarakat pemohon untuk biaya pengurusan Sertifikat gratis atas Program Pemerintah Pusat yaitu dalam Program Prona. Pada tahun 2013 – 2014 lalu, Kelurahan Dukuh Setro, Kecamatan Tambaksari, Pemkot Surabaya, Jawa Timur, mendapat dana Prona dari Pemerintah Pusat (APBN) lewat BPN Kota Surabaya, dalam hal pengurusan sertifikat gratis untuk sebanyak 600 pemohon/bidang.
Dalam pelaksanaan Prona tersebut, pengurusan Sertifikat memang tidak gratis 100% dibaiayai oleh pemerinta. Ada biaya yang harus ditanggung pemohon diantaranya, biaya prangko sebanyak 6 hingga 10 lembar dengan harga satuan, Rp 6000 dikali 600 per pemohon/bidang, pembelian patok sebayak 4 buah dengan harga sekita Rp 15 ribu dikali 600 pemohon/bidang, biaya foto Copy. Dengan alasan inilah, awal mula seseorang Panitia Prona “diintai” oleh Undang-Undang Korupsi, bila salah menyalahgunakan jabatannya sebagai “penarik dana tidak resmi”.
Joko Soetrisno, pada tahun 2013 – 2014 menjabat sebagai Kepala Kelurahan Dukuh Setro, Kecamatan Tambaksari, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang pada saat pelaksanaan program Pemerintah yaitu Prona, yang dananya berasal dari APBN lewat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pemkot Surabaya untuk sebanyak 600 bidang/pemohon). Program Pemerintah untuk warga tidak mampu di Kelurahan Dukuh Setro itu pun “berbuntut”. Sebab, mantan Lurah dukuh Setro ini, dituduhan telah melakukan penarikan biaya dalam pelaksanaan Prona untuk sebanyak 600 pemohon/bidang sertifikat, yang besarnya antara 1 hingga 1,5 juta rupiah per pemohon, tanpa ada dasar hukumnya.
Akibatnya, Sutrisno pun, diancam hukuman pidana penjara minimal 1 tahun dan paling lama 5 tahun, seperti yang diatur dan diancam dalam pasal 12 huruf e, atau pasal 11 Undang-undang Korupsi, jo pasal 55 ayat (1) ke-1. Ancaman pidana penjara bagi mantan Lurah Dukuh Setro, Joko Soetrisno tersebut, dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wira dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya, dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, pada Jumat, 10 Juni 2016.
Pada jumat, 10 juni 2016, sidang untuk partama kalinya, digelar diruang sidang Candra Pengadilan Tipikor, yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, H.R. Unggul, dengan agenda pembacaan surat dakwaan oleh JPU Wira dari Kejari Surabaya. Sementara terdakwa Joko Sutrisno, yang mengenakan kemeja batik bermotif merah, didampingi Penasehat hukum (PH)-nya, Pujianto.
Dalam surat dakwaan JPU, Joko Sutrisno, yang menjabat sebagai Lurah di Kelurahan Dukuh Setro, membentuk Panitia yang tugasnya untuk, mengatur proses kepengurusan sertifikat di Kelurahan yang dipimpinnya. Dari biaya yang dibebankan kepada setiap pemohon antara 1 hingga 1,5 juta rupiah itu, terkumpul sebesar Rp 593 juta lebih. Dengan rincian, pada tahap I, tahun 2013 terkumpul Uang Rp 337 juta dan tahap II pada tahun 2014, terkumpul lagi sebesar Rp 256 juta. Uang tersebut dipergunakan untuk biaya iperasional panitia termasuk terdakwa.
“Perbuatan terdakwa, Joko Soetrisno, sebagaimana diancam dalam pasal 12 huruf e Undang-undang Korupsi, jo pasal 55 ayat (1) ke-1,” ucap JPU Wira. Penanggapi surat dakwaan JPU, Penasehat Hukum (PH) terdakwa Joko Sutrisno, Pujianto, akan mengajukan Eksepsi (keberatan) pada persidangan berikutnya. Alasannya, karena dakwaan JPU tidak tepat.
“Kita akan mengajukan Eksepsi, karena dakwaan Jaksa tidak tepat. Keterangan saksi-saksi dalam perkara ini tidak ada kesamaan,” ujar Pujianto, usai persidangan.
Sekedar diingat. Kasus ini boleh dibilang menyita waktu cukup lama ditangani oleh Kejari Surabaya, dibahwa pimpinan Kepala Kejaksan (Kajari)Surabaya, Didik Farkhan dan Kepala Seksi pidana Khusus (Kasi Pidsus), Roy Rovalino,SH, yang sukses menangani salah satu mega Korupsi MERR II C (proyek pembebasan lahan) senilai Rp 12 milliar lebihyang hanya menyeret anggota Satgas.
Sebab, kasus pungli dalam program Prona, yang menyeret mantan Lurah Dukuh Setro tersebut, sempat beredar pemberitaan dibeberapa media, tekait keterlibatan oknum LSM dan Wartawan Harian lokal, namun hanya Kejari Surabaya yang tahu.
Dan kabar itu pun “hilang begitu saja di telan angin”. Tak heran, bila masyarakat berpandangan bahwa, pengakan hukum itu “melihat sitiasi dan kondisi lapangan”. Sementara, dokumen terkait dugaan penyimpangan anggaran disalah satu rumah sakit di Surabaya yang masuk ke Kejari Surabaya, lewat Kasi Pidsus, Roy Rovalino, hingga saat in tak jelas kabarnya. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :