0
JPU Endri dari Kejari Banyuwangi
Surabaya, bk – Salahkah masyarakat bila menuding aparat penegak hukum yang bisa menjadikan seseorang menjadi tersangka karena kepentingan ?

Sejak Januari hingga Juni 2016 ini, Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, menyidangkan empat perkara Korupsi “ditutupi kertas hitam”. Diantaranya, kasus Korupsi promosi pariwisata (Road Show) Kota Batu, Jawa Timur tahun 2014 lalu, yang menelan anggaran sebesar Rp 3,7 M yang bersumber dari APBD Pemkot Batu.

Dalam kasus ini, nama Eddy Rumpoko selaku Wali Kota Batu dan Susetya Herawan, Kepala Inspektorat, hanya dijadikan sebagai saksi biasa oleh penyidik Kejari Batu. Bisa jadi, Kejari Batu “tak berani” memeriksa dan menjadikannya sebagai tersangka, karena Eddy Rumpoko adalah saat ini berkuasa juga orang berpengaruh di salah satu partai politik.

Namun, nama Eddy Rumpoko dan Kepala Inspektorat Susetya Herawan bersama Dua Staf Kota Batu, diesebutkan dalam putusan Majelis Hakim Tipikor (Jumat, 29 April 2016), turut bersama-sama dengan Uddy Syaifudin, Santonio dan Samsul Bahri melakukan kegiatan promosi pariwisata (Road Show) Kota Batu ke Kota Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) pada tahun 2014 lalu, yang menelan anggaran sebesar Rp 3,7 M yang bersumber dari APBD Pemkot Batu dan merugikan negara sejumlah Rp 1,3 milliar. Majelis Hakim juga menyatakan, bahwa Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batu, Uddy Syaifudin hanya dikadikan alat oleh Eddy Rumpoko.

Kasus yang Kedua di Kejari Sidoarjo, dalam kasus dugaan Korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) pembelian sapi betina pada tahun 2012 lalu, sebesar Rp 500 juta yang bersumber dari APBN lewat Pemprov Jatim, dengan terdakwa anggota Kelompok Tani (Poktan) Tani Bangkit Bersama (TBB) Desa Sarirogo, Sidoarjo, dengan terdakwa Samsul Huda dan Rudi Akibat kejelian Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan kasus ini, terbukalah “selembar kertas hitam” alias saksi yang “disembunyikan” oleh Kejari Sidoarjo. Sebab, nama saksi tersebut tidak tercantum dalam dakwaan maupun daftar saksi-saksi yang akan dihadirkan oleh JPU dalam persidangan.

Nama yang dimaksud adalah, Darno. Ketua Majelis Hakim pun heran, karena nama Daro tidak dijadikan sebagai saksi dan saat itu, Ketua Majelis Hakim langsung meminta kepada JPU untuk menghadirkan sosok Darno dalam persidangan berikutnya. Bisa jadi, menurut Majelis Hakim, sosok Darno, berperan penting untuk mengungkap kasus korupsi dana Bansos untuk pembelian sapi sebesar Rp 500 juta itu.

Kasus yang Ketiga di Kejari Banyuwangi, dalam kasus dugaan Korupsi dana GP3K (Gerakan Peningkatan Pendapatan Pertanian berbasis Korporasi) pada tahun 2012 lalu, sebesar Rp 288 juta, dengan terdakwa, Ketua LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Rimba Makmur, Desa Bengkak, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Holili. Kasus ini, dalam fakta persidangan, tak satupun saksi maupun bukti yang ditunjukkan JPU untuk menjerat terdakwa. Malah, saksi dari Perhutani terancam penjara karena menghilangkan sertifikat terdakwa, apa lagi memberikan keterangan palsu dalam persidangan. Sehingga, sidang tuntutannya pun harus tertunda sebanyak dua kali karena JPU belum siap.

Kasus yang ke Empat juga terjadi di Kejari Banyuwangi dalam kasus Kurupsi bedah rumah di Desa Banjarsari Kecamatan Glagah Banyuwangi pada tahun 2013 lalu, dengan anggaran sebesar Rp 900 juta, yang berasal dari APBN Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), yang merugikan negara senilai Rp 376 juta, dengan terdakwa, Sulihono, selaku TPM (Tim pendamping Masyarakat). Dalam kasus ini, Sutiyono, selaku TPM (Tim pendamping Masyarakat) terseret dalam kasus Korupsi yang dituduhkan oleh Kejari Banyuwangi terkait program Pemerintah pusat untuk Proyek pembangunan dan perbaikan sebanyak 126 rumah masyarakat yang berpenghasilan rendah. Anggaran sebesar Rp 900 juta yang bersumber dari APBN tahun 2013 lalu, dibagi dua golongan yakni untuk Pembangunan Dasar (PD) sebesar Rp 15 juta dan perbaikan kembali (PK) sebesar Rp 7,5 juta per penerima.

Anggaran tersebut dicairkan langsung oleh Kementerian melalui BRI pusat. Dari BRI pusat disalurkan ke BRI Unit. Dari BRI Unit, dicairkan ke kesetiap penerima bantuan melalui Toko Matrial (penjual bahan bangunan). Sebab, dalam prosedur pencairan, si penerima bantuan tidak diperbolehkan menerima uang tunai, kecuali berupa bahan bangunan dari Toko Matrial yang telah ditunjuk. Terdakwa selaku TPM diangkat berdasarkan SK dari PT Maxitch sebagai Konsultan Manager sebagai pemenang lelang dalam program pemerintah tersebut bersama Yoyon, Manager lapangan. Sementara nama terdakwa atas usulan Desa melalui BPM – Pemdes (Badan Pemberdayaan Masyarakat – Pemerintah Desa) ke Menteri Perumahan Rakyat. Sementara Konsultan pendataan dan suvervisi adalah PT Suverfindo Putra Pranata.

Tugas terdakwa dalam proyek tersebut hanya sebagai pendamping Masyarakat dan tidak berhubungan langsung dengan keuangan. Sementara, Jaksa menuntutnya karena telah menggunakan sebahagian dari dana tersebut untuk biaya tukang. Padahal, biaya tukang yang diambil dari sebagian bantuan tersebut dilakukan masyarakat itu sendiri dengan diketahui oleh pihak Toko Matrial dan BRI.

Hal itu terungkap dalam fakta persidangan yang diketuai Majelis Hakim Tahsin, pada saat pemeriksaan saksi-saksi yang dihadirkan JPU diantaranya, Peni, mantan Ketua BKM – Pemdes, M.Nasir, Direktur PT Maxitech, pegawai BRI diantaranya, Agus (Kepala Unit), Ratna (teller) dan Lucy (Mantri BRI) serta Misri, pemilik Toko Bangunan. Dari keterangan saksi dari pihak BRI, bahwa pencairan Uang diterima langsung oleh Misri. Namun, Misri mengelak, bahwa pencairan Uang dari BRI langsung ke terdakwa.

Sementara pada sidang sebelumnya, saksi Peni, mantan Ketua BKM – Pemdes dan M.Nasir, Direktur PT Maxitech menjelaskan bahwa, terdakwa tidak bersetuhan dengan keuangan karena tugasnya adalah hanya sebagai pendamping bukan mencairkan anggaran. Anehnya, JPU tidak bisa menunjukkan bukti laporan terkait dakwaan JPU kepada terdakwa, atas penggunaan uang sebesar Rp 376 juta yang digunakan terdakwa untuk membayar biaya tukang. Hal itu dikatakan Ketua Majelis Hakim kepada saksi kemudian meminta bukti tersebut kepada JPU.

“Begini, terdakwa ini didakwa telah menggunakan uang sebesar Rp 376 juta untuk membayar tukang. Ada buktinya Jaksa ?,” tanya Hakim Taksin, saat itu. Sambil membolak balik lemaran kertas berwarna merah muda tanpa sepatah kata, apakah ada atau tidak, JPU hanya diam. “Sambil dicari aja kemudian,” kata Hakim Tahsin.

Pada Jumat, 17 Juni 2016, JPU kembali menghadirkan pegawai BRI untuk memberikan ketarangan dalam persidangan. Enry Sulviana Soleha, petugas teller BRI. Dalam dokumen yang dipegangnya, dihadapan Majelis Hakim, pegawai BRI itu mengatakan bahwa, yang menerima dana dari BRI adalah Misri, sesuai dengan Juklak (petunjuk pelaksana) dan Juknis (petunjuk Teknis)-nya.

“Yang menerima adalah Misri,” kata Enri Sulviana Soleha dihadapan Majelis Hakim. Enri Sulviana Soleha menambahkan, pencairan sebanyak 12 kali. Anehnya, Kejari Banyuwangi tidak meminta pertanggung jawaban dari Misri selaku Pemilik Bahan Bangunan (Toko Matrial), yang bertindak sebagai pengelola dana bantua dari Kemenpera untuk perbaikan rumah masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Berdasar informasi, tidak diperiksanya pemilik toko tersebut, karena diduga bahwa ada oknum Jaksa yang menerima uang dari pemilik toko tersebut agar tidak dijadikan sebagai tersangka. Hal itu pun diakui salah satu PH terdakwa Ribut Puryadi, Puryadi mengatakan, bahwa kasus itu sudah dilaporkan ke Kejagung.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top