0
Catatan ICW Atas Capaian Agenda Prioritas dalam NAWACITA


Jakarta, beritakorupsi.co - Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai Pemenang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019. Dalam beberapa bulan mendatang, Jokowi akan mengakhiri kepemimpinannya Jilid I yang sudah dilalui bersama Jusuf Kalla.

Selama hampir 5 (lima) tahun menjabat, tentu banyak sekali dinamika pemerintahan yang terjadi. Ada banyak capaian maupun program kerja pemerintahan yang belum tuntas untuk diselesaikan. Menjelang pemerintahan berakhir, sudah semestinya Presiden Jokowi melakukan refleksi kerja atas capaian maupun target kerja yang belum tercapai. Hal ini menjadi baseline untuk menentukan percepatan di sektor-sektor tertentu dan tentunya juga akan mempengaruhi desain penyusunan kabinet.

Evaluasi pemerintahan tentunya penting dilakukan tidak hanya oleh kepala pemerintahan (baca: Presiden). Akan tetapi juga dapat dilakukan secara objektif dan terukur oleh elemen masyarakat sipil. Dalam hal ini, Indonesia Corruption Watch mengambil peran untuk menilai refleksi kinerja pemerintahan selama satu periode yang sudah dilakukan.

Refleksi pemerintahan dan kabinet kerja pada sesi ini difokuskan kepada sektor HUKUM dan POLITIK. Adapun acuan penilaian dengan cara membuka ulang 9 (Sembilan) agenda prioritas Pemerintah yang tertuang dalam Nawacita. Agenda proritas tersebut dipisah ulang terhadap sektor yang relevan dengan isu hukum dan politik.

Berikut ini 17 Catatan ICW atas realisasi Nawacita dan Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Poin I NAWACITA.
“… Serta kami menjamin rasa aman warga negara dengan membangun POLRI yang professional dan dipercaya masyarakat.”


Catatan:
1. Agenda reformasi Polri masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Hal ini terlihat 
   dari beberapa catatan, di antaranya:

a. Tingkat kepatuhan dalam pelaporan LHKPN masih rendah. Apabila merujuk pada situs daring elhkpn.kpk.go.id selama tahun 2017-2018, ada sebanyak 29.526 anggota Kepolisian yang wajib melaporkan LHKPN. Akan tetapi dari jumlah tersebut masih terdapat 12.779 orang atau sekitar 43 persen anggota Polri yang LHKPN-nya tidak ditemukan dalam situs daring yang dimiliki oleh KPK.

b. Integrasi dan transparansi data penanganan kasus korupsi secara bertingkat (Mabes - Polda dan Polres) belum terbuka. 

c. Penanganan perkara-perkara pidana masih berpotensi membuka ruang terjadinya praktik suap (misalnya melalui pemberian SP3).

d. Pengawasan yang dilakukan oleh Kompolnas masih terbatas karena kewenangan yang lemah.

e. Sistem meritokrasi jabatan-jabatan strategis di lingkungan Polri masih menyisakan sejumlah persoalan. Misalkan Promosi seorang Perwira tinggi yang pernah terseret persoalan hukum dipromosikan menjadi seorang Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda). Hal ini menyisakan pertanyaan terkait ukuran kompetensi dan penilaian kinerja dalam promosi jabatan tersebut.

2. Pembatalan pembentukan Densus Antikorupsi oleh Presiden merupakan sesuatu yang layak untuk diapresiasi. Sebab dalam perkembangannya, wacana pembentukan Densus diduga untuk menggantikan peran KPK.

3. Kasus penyerangan Novel dan pimpinan KPK, penganiayaan terhadap aktivis anti korupsi dan jurnalis yang tidak kunjung tuntas dan menunjukkan kemajuannya hingga saat ini menjadi pekerjaan rumah yang menguji komitmen dan independensi kepolisian.

Poin II NAWACITA.
“…Kami akan membuat Pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola Pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Kami memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu dan lembaga perwakilan.”

Catatan:

4. Sejauh ini tidak ada agenda konkret reformasi kepartaian sebagaimana yang dicantumkan dalam Nawacita. Misal, tidak ada inisiatif pemerintah untuk mengusulkan revisi perubahan Undang-Undang Partai Politik untuk memperbaiki tata kelola Partai Politik menuju arah modern, transparan, dan akuntabel. Tindakan konkret Pemerintah hanya sebatas meningkatkan alokasi APBN untuk partai politik menjadi sebesar Rp 1.000 per suara.

5. Tata kelola kepemiluan diatur dalam kodifikasi UU Pemilu (UU No 7/2017). UU ini tidak efektif menjawab persoalan korupsi pemilu seperti candidacy buying, vote buying, money politics, dan masalah pendanaan kampanye. UU ini justru mempertahankan oligarki partai politik salah satunya dengan mempertahankan presidential threshold meski Pemilu Presiden dan DPR/D diadakan secara serentak.

6. Pemerintah tidak berperan maksimal dalam membenahi lembaga perwakilan. Tindakan paling fatal adalah Presiden mengaku kecolongan dalam pembahasan UU MD3 sehingga menghasilkan pasal-pasal yang bermasalah. Semisal pasal yang mengatur persetujuan tertulis Presiden dan pertimbangan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum. Padahal pasal ini sebelumnya sudah dibatalkan oleh MK.

Poin IV NAWACITA
“…Kami akan menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya”
Catatan:

7. Secara umum agenda reformasi hukum tidak mempunyai arah yang jelas. Pemerintah terkesan hanya terfokus pada reformasi sektor perekonomian. Akibatnya isu hukum hanya dijadikan anak tiri untuk menunjang agenda-agenda di sektor ekonomi.

8. Penunjukan pimpinan lembaga penegak hukum oleh Presiden masih kental dengan aroma politik akomodasi dan bagi-bagi kekuasaan.

9. Sistem pengelolaan serta pengawasan di lembaga pemasyarakatan belum berjalan maksimal. Hal ini terlihat dari kasus yang melibatkan oknum Lapas seperti praktik pungli, jual beli fasilitas, plesiran, bahkan hingga suap.

10. Penunjukkan Menteri Hukum dan HAM dari unsur partai politik rawan disusupi kepentingan partai politik tertentu. Misalnya pada isu revisi UU KPK dan upaya pencabutan PP 99/2012 terkait pemberian remisi.

11. Tidak tercapainya agenda nawacita dalam hal pengaturan RUU Perampasan Aset, RUU Kerjasama Timbal Balik dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai.

12. Pemerintah sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan di sektor hukum antara lain Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi, Perpres Nomor 13 Tahun 2018 tentang pemilik manfaat (beneficial ownership) dan PP 43 Tahun 2018 yang memberikan apresiasi kepada pelapor kasus korupsi.

“ Kami akan memprioritaskan pemberantasan korupsi dengan konsisten dan terpercaya;
Catatan:

13.  Pemberantasan korupsi dalam sudut pandang Presiden Jokowi masih disederhanakan pada urusan pungli yang menjadi penghambat urusan perizinan dan bisnis. Sementara persoalan korupsi yang lebih makro dan kompleks seperti mafia hukum, mafia sektor sumber daya alam dan korupsi anggaran, dll, masih belum menjadi fokus utama.

 “Pemberantasan mafia peradilan dan penindakan tegas terhadap korupsi di lingkungan Peradilan;
Catatan:

14.  Presiden sebagai kepala negara belum tampak berperan untuk mendorong perbaikan pada sektor peradilan agar dapat berjalan dengan maksimal. Bahkan selama 5 (lima) tahun menjabat, Presiden sangat jarang sekali berbicara tentang mafia dan korupsi di lingkungan peradilan.

15. Tidak ada arahan untuk penegak hukum bersih bersih peradilan. Seolah ini peran KPK semata.

“…pemberantasan tindakan penebangan liar, perikanan liar dan penambangan liar, pemberantasan tindak kejahatan perbankan dan kejahatan pencucian uang”

Catatan:

16. Salah satu pencapaian positif di sektor perbankan pada Era Jokowi adalah ditandatanganinya kesepakatan hubungan timbal balik pidana antara Swiss dengan Indonesia berkaitan dengan aset pelaku kejahatan di luar negeri.

17. Tidak tercapainya agenda nawacita dalam hal pengaturan RUU Perampasan Aset, RUU Kerjasama Timbal Balik Hukum Pidana dan Pembantasan Transaksi Tunai. Padahal semua aturan tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional.

KESIMPULAN dan REKOMENDASI

Pemerintahan Jilid Pertama Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla meninggalkan banyak pekerjaan rumah untuk merealisasikan Nawacita di sektor hukum dan politik. Ada harapan besar agar pekerjaan rumah yang belum tuntas tersebut bisa dilanjutkan pada kepemimpinan kedua 2019 hingga 2024, sehingga program Nawacita menjadi agenda berkelanjutan. Namun disayangkan, pidato visi Indonesia yang disampaikan di Sentul (14/7/2019) lalu tidak menyinggung keberlanjutan Nawacita pada sektor hukum dan politik. Sehingga ada kesan Jokowi ingin meninggalkan agenda Nawacita di Bidang Hukum dan Politik yang belum ia tuntaskan.

Kesimpulan.
1. Agenda refomasi hukum dan pemberantasan korupsi belum prioritas Jokowi pada pemerintahan Jilid I. Grand Design pembenahan dua sektor tersebut juga belum terlihat. Presiden masih terfokus pada sektor ekonomi yang sesungguhnya terhambat karena persoalan hukum yang tidak pasti dan maraknya korupsi.

2. Pengisian jabatan masih menjalankan politik akomodasi. Pada awal pemerintahan cukup baik karena bersinergi dengan lembaga lain untuk melihat rekam jejak kandidat pejabat publik. Namun belakangan metode tersebut seolah ditinggalkan.

3. Terdapat sejumlah peraturan yang bersinergi dengan pemberantasan korupsi seperti Perpres Nomor 13 Tahun 2018 tentang pemilik manfaat (beneficial ownership) dan PP 43 Tahun 2018 yang memberikan apresiasi kepada pelapor kasus korupsi dan MLA dengan Swiss. Namum sejumlah pengaturan UU seperti RUU Perampasan Aset, RUU Kerjasama Timbal Balik dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai masih menggantung.

Rekomendasi
1. Presiden perlu menyusun dan mengawal lansung program pemerintah di sektor hukum dan politik. Khususnya agenda reformasi sektor penegakan hukum dan tata kelola partai politik yang sudah mendesak untuk dilakukan.

2. Presiden harus selektif dalam pengisian jabatan menteri di sektor hukum dan Politik seperti Menkopolhukan, Menkumham, MenpanRB, Kapolri dan Jaksa Agung. Jabatan tersebut harus diisi oleh professional berintegritas, tidak memiliki persoalan hukum masa lalu dan tidak sedang membawa agenda partai politik tertentu.

3. Politik legislasi nasional harus diarahkan kepada upaya memperkuat pemberantasan korupsi secara luas dan kelembagaan KPK secara khusus. (*)

Indonesia Corruption Watch, 17 Juli 2019

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top