0
“Kajian Pemanfaatan Hasil Rekam Sidang dan Eksaminasi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya”


beritakorupsi.co -  Pengakan Hukum dalam kasus Perkara Tindak Pidana Korupsi Khususnya di Jawa Timur sepertinya masih dinilai kurang menyentuh rasa keadilan bagi masyarakat, yang terkesan karena tidak menyentuh aktor intlektualnya atau pelaku utamanya.

Hal ini menjadi salah satu perhatian dari Pusat Kajian Anti Korupsi dan Kebijakan Hukum (CACCP) Fakultas Hukum Universitas Airlannga (Uanir) Surabaya yang secara rutin melakukan eksaminasi putusan tindak pidana korupsi di Jawa Timur.

Salah satu kasusnya dalam perkara KUR (Kredit Usaha Rakyat) Fiktif yang melibatkan Bank Jawa Timur Cab. Jombang pada 2010 – 2012 yang telah menyeret 12 orang, terdiri atas Kepala Cabang, Penyelia dan 9 pegawai bagian analisis serta satu dari pihak swasta selaku Ketua Koperasi dengan dengan kerugian negara sebesar Rp19.388.065.069,09 sen.

Kasus yang bermula dari 55 sampel Debitur yang mengajukan KUR antara Rp250 juta hingga 500 juta rupiah dengan membuat keterangan bahwa debitur mempunyai usaha, utamanya di bidang perkebunan tebu atau usaha sampingan lainnya dengan melampirkan surat keterangan usaha dari Kepala Desa (Kades).

Namun usaha dari 55 Debittur  itu ternyata hanya fiktif, yang akibatnya menimbulkan terjadinya kerugian keuangan negara puluhan miliyaran, dan masuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Akhirnya pada tahun 2016, kasus tersebut pertama kali disidangkan yang menjerat sejumlah tersangka, diantaranya Bambang Waluyo selaku Kepala Bank Jatim cabang Jombang dan 10 orang pegawai Bank Jatim yang terdiri dari 1 orang penyelia serta 9 analisis di mana satu orang dari 9 tersangka ini aternyata berstatus honorer yang baru bekerja 1 (satu) tahun.

Tidak hanya itu. Dalam perkara ini juga ternyata melibatkan sejumlah politikus dari salah satu partai politik di Jombang yang bekerja sama dengan Kepala Bank Jatim yang merupakan Ultimate Debitor.

Sesuai putusan pengadilan Tipikor, para terdakwa mendapatkan pidana penjara selama 1 tahun dan denda Rp600.000.000, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

Sedangkan amar dalam pengadilan tinggi menyebutkan, bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama – sama sesuai dakwaan subsidair dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan, denda Rp600.000.000 rupiah.

Selain menjerat dari Kepala Cabang dan Pegawai Bank Jatim, juga menjerat Penyelia Operasional Kredit yang tidak melakukan survey lapangan kepada Debitur. Ditemukan bahwa Debitur tidak tahu menahu adanya pinjaman atas nama mereka karena hanya dimintai KTP dan KK sebagai prasyarat untuk pengajuan KUR agar dapat dicairkan oleh terdakwa selaku penyelia pemasaran dan kredit.

Ditemukan fakta, bahwa 55 debitur tersebut tidak menerima pencairan dana, namun dinikmati oleh Ultimate Debitor. Dari hasil tersebut, pihak debitur ultimate antara lain Siswo Iryana, Masykur, Wulang Suhardi, Untung Sutigno, Subandriyah dan Sri Munarsih (selaku debitur ultimate) yang penuntutannya dilakukan secara terpisah didakwa dengan dakwaan Primair pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.

Berdasarkan dua kasus tersebut, CACCP FH UNAIR melaksanakan Eksaminasi Publik pada bulan Agustus 2018, untuk menganalisa putusan pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Tim yang terdiri dari : Prof. Dr. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H. Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, S.H., M.Hum. Taufik Rachman, S.H., LL.M., Ph.D. Iqbal Felisiano, S.H., LL.M dari Pusat Kajian Anti Korupsi Jawa Timur, dihadiri pula oleh perwakilan BPKP Jawa Timur, Akademisi FH Unitomo, Akademisi FH Universitas Trunojoyo, FH Ubaya, Aktivis Justice For Attik, Malang Corruption Watch, LBH Surabaya, Perwakilan Penghubung Komisi Yudisial, HRLS FH UNAIR, Fitra Jatim, Asosiasi Kredit Indonesia, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Komisi Pemberanttasan Korupsi.

Pada Focus Grup Discussion, hasil eksaminasi publik tersebut dihasilkan beberapa fakta menarik yakni, para ultimate debitur belum ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu terjadi disparitas pidana yakni peran masing – masing terdakwa dalam perkara kurang jelas, padahal aktor intelektual dari perkara tersebut adalah Kepala Cabang Bank Jatim, sementara untuk pelaku – pelaku teknis diberikan hukuman yang berat dan kurang jelasnya peran masing – masing terdakwa, misalnya menyuruh melakukan, turut serta, dan lain – lain. Sebab berkas perkara dicampur menjadi satu.

Kedua putusan yang telah dilakukan eksaminasi tidak menyentuh kepada keadilan masyarakat. Putusan hanya kepada pelaku – pelaku teknis, tidak kepada aktor  intelektual. Harusnya aktor aktor segera dilakukan proses hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Di dalam putusan yang telah dilakukan eksaminasi, peran masing- masing terdakwa tidak menjelaskan posisinya, bahkan tidak ada yang menyuruh melakukan, turut serta, dan lain – lain, karena didalam putusan tersebut di campur menjadi satu.

Oleh karena itu, Pusat Kajian Anti Korupsi dan Kebijakan Hukum (CACCP) FH UNAIR mengadakan diseminasi publik pada 20 Juni 2019 di Gedung C, Lantai 1 Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya berkaitan dengan eksaminasi putusan perkara KUR Fiktif di Jombang.

Hal ini bertujuan untuk mengevaluasi putusan pengadilan tindak pidana korupsi, agar lebih berpihak kepada masyarakat. Selain itu, juga bertujuan untuk menyampaikan kepada publik berkaitan dengan putusan kasus korupsi yang ada di Jawa Timur.

Penyampaian pertama disampaikan oleh Iqbal Felisiano (Akademisi Dosen Pidana Fakultas Hukum Unair) menjelaskan tentang kronologi kasus KUR Fiktif Bank Jatim cabang Jombang. (Kronologis terlampir).

Fakta yang menarik dari hasil temuan tersebut juga terkait perkara yang tidak dijadikan satu agenda sidang dan telah dilakukan splitshing (pemisahan berkas agenda sidang pada terdakwa). Sehingga menyebabkan disparitas tuntutan pada terdakwa tanpa menjabarkan peran yang jelas dalam dakwaan penuntut umum.

Misalnya aktor intelektual adalah kepala cabang Bank Jatim cab. Jombang dengan 9 bahwannya. Kesimpulan pada kasus tersebut adalah yakni; 1. Perkara KUR Fiktif terdapat beberapa hal yang kurang tepat, mengingat peran masing – masing terdakwa tidak menjelaskan posisinya, bahkan tidak ada yang menyuruh melakukan, turut serta, dan lain – lain di dalam putusan tersebut.

Berdasarkan hasil eksaminasi, aktor intelekual adalah kepala cabang Bank Jatim Cabang Jombang, sementara 9 pegawai lainnya hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh kepala cabang.

Hasil Eksaminasi tidak menyentuh keadilan kepada masyarakat. Pelaku debitur ultimate yang belum diproses, mengingat peran serta pelaku lain yang cukup siginfikan. Bukan hanya kepada pelaku lapangan saja, yang harusnya mengembangkan ke pelaku debitur ultimate lainnya.

Berikutnya adalah pemaparan Taufik Rahman (Akademisi Dosen Pidana Fakultas Hukum UNAIR) yang menjelaskan tentang kejanggalan vonis korupsi yang berkaitan dengan pasal 2 dan pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi, terutama berkaitan dengan tuntutan dan vonis minimal yakni 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.

Sementara pasal 3 yakni dengan pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal20 tahun. Padahal berkaitan 9 orang pelaku tindak pidana korupsi dalam perkara KUR yang merupakan pegawai bank Jatim, tidak memenuhi kualifikasi pasal 3, namun dilemanya adalah mereka hanya sebagai pelaku lapangan saja, bukan pelaku intelektual.

Hingga saat ini, diskusi mengenai pelaku intelektual tidak dapat dikenakan, sebab belum ada pasal yang mengatur tentang Trading Influence (perdagangan pengaruh). (Jentar. S)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top