0
- Terdakwa juga dituntut untuk mengembalikan uang Suap  
   sebesar Rp2.750 Miliyar yang diterimanya untuk  
   dikebalikan serta tuntutan pencabutan Hak Politiknya  
   selama  5 Tahun

- JPU KPK : Terdakwa masih ada kasus lainnya, yaitu TPPU  

   (Tindak Pidana Pencucian Uang).

beritakoruspi.co - Jum'at, 28 Desember 2018, Mustofa Kamal Pasha atau yang dikenal dengan panggilan MKP ini adalah Bupati Mojokerto 2 periode sejak 2010 hingga 2020, adalah terdakwa dalam kasus Tindak Pidana Korupsi suap terkait pemberian 11 Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR), dan 11 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pembangunan Tower di Kabupaten Mojokerto  pada tahun 2015 lalu yang diajukan oleh Onggo Wijaya, dituntut pidana penjara selama 12 tahun dan denda sebesar Rp750 juta subsidair 6 (enam) bulan kurungan, serta tuntutan pidana tambahan berupa membahwar uang pengganti sebesar Rp2.750.000.000 (dua miliyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dan dipenjara selama 2 tahun apabila harta bedanya tidak mencukupi saat dirampas oleh Jaksa sebagai pengganti uang suap yang diterimanya bila terdakwa tidak membayar. Sehingga total hukuman penjara yang dituntut terhadap Bupati (non aktif) Mojokerto ini adalah selama 14 tahun dan 6 bulanm, selain tuntutan pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik (hakpolitiknya) selama 5 tahun setelah terdakwa selesai menjalani hukuman pokok (pidana penjara badan).

Hukuman pidana penjara terhadap terdakwa Mustofa Kamal Pasha, tertuang dalam surat tuntutan yang dibacakan Tim JPU KPK Joko Hermawan, Eva Yustisiana, Ni Nengah Gina Saraswati, Mufti Nur Irawan, Nur Haris Harhadi di ruang sidang Cadra Pengadilan Tipikor Surabaya dengan Ketua Majelis Hakim I Wayan Sosisawan dengan dibantu 2 (dua) Hakim anggota (Ad Hock) serta Panitra Pengganti PP) Muktar. Sementara terdakwa di damping Penasehat Hukumnya, Mariam  Fatimah dkk.

Sementara dalam kasus ini, Penyidik KPK sudah menetepkan 5 (lima) tersangka baru, yaitu Onggo Wijaya selaku Direktur Pemasaran PT Protelindo,; Ockyanto  dari PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Group,; Nabiel Titawano selaku penyedia Jasa di PT Tower Bersama Group,; Ahmad Suhawi dan Achmad Subhan yang juga mantan Wakil Bupati Malang. Dan para tersangka ini pun sudah meringkuk di penjara milik KPK untuk menjalani proses penyidikan lebih lanjut.

Dalam surat tuntutan JPU KPK, terdakwa Mustofa Kamal Pasha dijerat dalam Pasal 12 huruf a  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagalmana telah dlubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tlndak Pidana Korupsl juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana

JPU KPK menjelaskan dalam surat tuntutannya, bahwa pada awal tahun 2015, terdakwa Mustofa Kamal Pasha mendapat laporan dari Suharsono selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kabupaten Mojokerto, bahwa di wilayah Kabupaten Mojokerto banyak ditemukan Tower Telekomunikasi yang telah beroperasi yang belum memiliki Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Atas laporan itu, lanjut JPU KPK, terdakwa memerintahkan untuk dilakukan pemetaan dan pendataan sejumlah Tower Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto yang belum memiliki izin.

Menindaklanjuti perintah terdakwa, Suharsono melakukan pemetaan dan menemukan ada sekitar 22 tower Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum memiliki IPPR dan IMB, yakni 11 Tower atas nama perusahaan PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (PT TBG),  dan 11 Tower lagi atas nama PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT Protelindo). Atas temuan tersebut, Suharsono melaporkan kepada Terdakwa, dimana Terdakwa kemudian memerintahkan agar dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut sampai ada izin IPPR dan IMB-nya.

JPU KPK menyatakan, setelah dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut, terdakwa memerintahkan Bambang Wahyudi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto, terkait perijinan dari tower dimaksud harus ada fee untuk terdakwa sebesar Rp200 juta per towernya, dan fee tersebut agar diserahkan melalui orang kepercayaannya yakni Nano Santoso Hudiarti alias Nono.

Dalam fakta persidangan sebelumnya terungkap, bahwa Nano Santoso Hudiarti alias Nono adalah mantan Lurah di Mojokerto yang kemudian menjadi tim pemanagan terdakwa Mustofa Kamal Pasha saat Pilkada Mojokerto pada tahun 2010 lalu.

Setelah Mustofa Kamal Pasha terpilih menjadi Bupati Mojokerto Periode 2010 - 2015, Nano Santoso Hudiarti alias Nono pun menjadi orang kepercayaan Mustofa Kamal Pasha. Dan pengakuan Nano Santoso Hudiarti alias Nono dalam persidangan menjelaskan, bahwa dirinya diperintahkan oleh terdakwa untuk menerima uang dari pengurusan izin tower serta penerimaan uang dari Dinas-Dinas lainnya. Tidak hanya itu. Dalam persidangan juga terungkap bahwa Nano Santoso Hudiarti alias Nono berperan dalam mutasi beberapa pejabat di Kabupaten Mojokerto. Namun terdakwa tidak mengakui apa yang dijelaskan oleh orang dekatnya itu.

JPU KPK membeberkan asal usul duit “panas” yang diterima terdakwa, dari pemberian rekomendasi izin IPPR dan IMB diantaranya ;

a. Penerimaan fee dari PT Tower Bersama Infrastructure Tower Bersama Grup (TBG) Beberapa hari setelah dilakukan penyegelan terhadap 11 tower telekomunikasi milik PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Group (TBG). Sekitar awal tahun 2015, Ockyanto  meminta bantuan Nabiel Titawano untuk mengurus perizinan atas 11 tower yang disegel tersebut, dimana dalam perjalanannya, pengurusan perijinan dibantu oleh Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro

Dalam rangka pengurusan ijin tower tersebut, sekitar bulan April 2015, Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro melakukan pertemuan dengan Bambang Hahyudi. Dalam pertemuan itu,  Bambang Hahyudi menyampaikan untuk mendapatkan IPPR dan IMB harus disediakan fee sebesar Rp220 juta per tower dengan rincian;  Rp200 juta untuk terdakwa dan Rp20 untuk UKL dan UKP. Sehingga fee untuk 11 tower yang harus disiapkan adalah sebesar Rp2.420 milliar.

“Permintaan itu disanggupi Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro, dan akan disampaikan kepada Nabiel Titawano selaku pihak yang mewakili PT TBG. Beberapa hari setelah pertemuan, Agus Suharyanto menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Nabiel Titawano dan disepakati oleh Nabiel Titawano,” kata JPU KPK dalam surat tuntutannya.

JPU KPK menjelaskan, kemudian Nabiel Titawano menemui Ockyanto yang menyampaikan, bahwa ia sanggup mengurus ijin tower, tetapi harus disiapkan fee untuk terdakwa sekaligus biaya operasional yang seluruhnya sebesar Rp2.6 milliar, dengan perhitungan per towernya sebesar Rp260 juta, dan disepakati Ockyanto, setelah berbicara dengan Herman Setyabudi selaku Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastructure.

“Pada bulan Juni 2015, Ockyanto menyerahkan uang seluruhnya sebesar Rp2.600 milyar kepada Nabiel Titawano melalui transfer ke Rekening Bank BCA cabang Pondok Indah Nomor rekening 04980347678 atas nama Nabiel Titawano dalam tiga tahap yakni ; Tanggal 10 Juni 2015 sebesar Rp780 juta; Tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp780 juta rupiah); Tanggal 30 Juni 2015 sebesar Rp1.040 milyar,” ungkap JPU KPK

“Dari total uang sebesar Rp2.600 milyar yang diterima Nabiel Titawano tersebut, sebesar Rp2.410 milyar diserahkan kepada Agus Suharyanto secara bertahap, yakni  I. Sekitar awal bulan Juni  2015 diberikan secara tunai sebesar Rp220 juta,; 2. Tanggal 11 Juni 2015 melalul transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp350 juta,; 3. Tanggal 11 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp300 juta,; 4. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 5. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 6. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia  dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 7. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp220 juta,; 8. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp220 juta,; 9. Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer rekening atas nama Indhung Betharia  dengan nomor 8290529507 sebesar Rp220 juta,; 10.Tanggal 30 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Vici Dwi Indarta sebesar Rp220 .juta. Sedangkan sebesar Rp190 juta dinikmati Nabiel Titawano,” beber JPU KPK kemudian.

Dari total uang yang diterima Agus Suharyanto seluruhnya sebesar Rp2.410 milliar itu, kemudian diserahkannya kepada Moh. Ali Kuncoro secara bertahap, dengan rincian sebagai berikut : 1. Awal Juni 2015 rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Awal Juni 2015 di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto sebesar Rp200 juta,; 3. Pertengahan Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 4. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar. Sedangkan sebesar Rp10 juta dinikmati Agus Suharyanto.

JPU KPK mengungkapkan dalam surat tuntutannya, dari total uang yang diterima Moh. Ali Kuncoro sebesar Rp2.400 milliar, dan Rp2.200 milliar  diserahkan kepada Bambang Hayudi yaitu : 1. Tanggal 11 Juni 2015 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dlanggu, Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 2. Tanggal 17 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp600 juta,; 3. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Moh. Ali Kuncoro di Jalan Maret A-07 BSP Regency Rp1 milliar.

“Sedangkan sebesar Rp100 juta diserahkan kepada Khoiru; Munif selaku Kepala Bidang Pelayanan Perizinan Terpadu, yang mengurusi masalah pembayaran retribusi IMB, dan sebesar Rp100 juta dinikmati Moh. Ali Kuncoro,” kata JPU KPK

Sesuai perintah terdakwa, Bambang Wahyudi kemudian menyerahkan uang fee sebesar Rp2.200 milliar kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono secara bertahap yakni : 1. Sebesar Rp600 juta  diserahkan di parkiran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo, pada bulan Juni 2015,; 2. Sebesar Rp600 juta diserahkan di sekitar masjid di daerah Merr, Mojokerto, pada bulan Juni 2015,; 3. Sebesar Rp1 milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing, Mojokerto, pada tanggal 30 Juni 2015

Selanjutnya Nano Santoso Hudiarti alias Nono, atas perintah terdakwa menyerahkan fee itu kepada Lutfi Arif Muttaqin selaku ajudan terdakwa secara bertahap yakni ; 1. Sebesar Rp600 juta diserahkan di parklran Indomaret daerah Sanggrahan Kutorejo,; 2. Sebesar Rp600 juta  diserahkan di sekitar masjid di daerah Meri, Mojokerto,; 3. Sebesar Rp1 milliar diserahkan di sekitar Masjid Pacing Mojokerto. Setelah menerima fee tersebut, Lutfi Arif Muttaqin menyimpannya di rumah dinas terdakwa dan setelah itu melaporkannya kepada terdakwa.

“Setelah merima fee, terdakwa kemudian mengeluarkan 11 Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan 10 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di beberapa Desa dan beberapa Kecamatan Kabupaten Mojokerto, atas tower telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastucture/Tower Bersama Grup (TBG) yang diajukan oleh Herman Setya Budi dari PT Sulusindo Pratama antara bulan Juni hingga Juli 2015,” kata JPU KPK

JPU KPK juga membeberkan asal usul duit “panas” lainnya yang diterima oleh terdakwa, yang masih berhubungan dengan  pemberian rekomendasi izin IPPR dan IMB diantaranya ;


b. Penerimaan uang dari PT Protelindo atas penyegelan 11 tower telekomunikasi PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), Onggo Wijaya memerintahkan Indra Mardani dan Suciratin untuk menyelesaikannya, kemudian Indra Mardani dan Suciratin meminta bantuan Ahmad Suhawi, dimana Ahmad Suhawi menyanggupinya asal disediakan biaya termasuk fee untuk terdakwa. Akhirnya disepakati biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk terdakwa seluruhnya sebesar Rp3.030.612.247 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah).

Setelah ada kesepakatan, pada awal bulan Juni 2015, Ahmad Suhawi menemui terdakwa di Vila milik terdakwa, meminta bantuan terkait penyegelan tower telekomunikasi milik PT Protelindo, dimana terdakwa menyampaikan agar diurus melalui BPTPM Kabupaten Mojokerto. Setelah pertemuan itu, Ahmad Suhawi menemui Bambang Hayudi di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto, menanyakan tentang penyegelan tower telekomunikasi PT Protelido, Ialu Bambang Hayudi menyanggupinya.

JPU KPK menyebutkan, pada tanggal 22 Oktober 2015 sebesar Rp275.510.204 (dua ratus tujuh puluh lima juta lima ratus sepuluh ribu dua ratus empat rupiah). Dari total uang yang diterima Ahmad Suhawi sebesar Rp3.030.612.255 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) itu, sebesar Rp2.460 milliar diberikan kepada Subhan secara bertahap melalui cek dan melalui transfer dengan rincian sebagai berikut :

1. tanggal 16 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Utami Surabaya,; 2. tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp500 juta di Hotel Mercure Surabaya,; 3. tanggal 23 Juni 2015 sebesar Rp150 juta di Bank BRI Cabang Jembatan Merah Surabaya,; 4. tanggal 25 Juni 2015 secara tunai sebesar Rp850 juta di Bank BRI Mojokerto Cabang Mojopahit,; 5. 17 September 2015 melalui cek sebesar Rp460 juta di Gedung Bidakara. Sedangkan sisanya sebesar Rp570.612.255 (lima ratus tujuh puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) dinikmati Ahmad Suhawi

Pada tanggal 20 Mei 2015, sebelum Achmat Subhan menerima uang dari Ahmad Suhawi, Achmat  Subhan menemui Bambang Wahyudi, dan menyampaiakan bahwa PT. Protelindo sanggup memberikan uang untuk biaya pengurusan izin termasuk fee untuk terdakwa sebesar  Rp2.2 milliar, atau sebesar Rp200 juta per towernya. Dan la akan memberikan uang muka terlebih dahulu sebesar Rp550 juta kepada terdakwa.

Herman Setya Budi, Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk dan Direktur Utaama PT Solu Sindo Kreasi Pratama), Budianto  Purwahjo (Direktur PT Tower Bersama Infrastucture.Tbk,. Alexandra Yota Dharmawanti, Division Hand
Setelah pertemuan itu, Bambang Wahyudi meminta Khoirul Munif untuk segera memfinalisasi berkas permohonan pengurusan 11 Izin tower telekomunikasi milik Protelindo.

Pada tanggal 24 Juni 2015, Bambang Wahyudi menemui terdakwa di ruang kerjanya, mengajukan permohonan rekomendasi pendirian 11 menara (tower) telekomunikasi dari PT  Protelindo guna mendapatkan disposisi dari terdakwa. Sebelum memberikan disposisi, terdakwa menanyakan fee sebagaimana pernah disampaikan sebelumnya kepada Bambang Hayudi, dan mendapat jawaban uang fee telah disanggupi.

JPU KPK mengatakan, pada tanggal 25 Juni 2015, Achmat Subhan dan Ahmad Suhawai melakukan pertemuan dengan Bambang Wahyudi di perumahan Griya Permata Meri Mojokerto  guna menyerahkan uang muka sebesar Rp550 juta sebagai fee untuk terdakwa.

Atas perintah Terdakwa sebelumnya, agar uang fee diserahkan melalui Nano Santoso Hudiarti alias Nono, maka Bambang Wahyudi kemudian menghubungi Nano Santoso Hudiarti alias Nono, meminta untuk datang ke perumahan Griya Permata Meri, Mojokerto guna mengambil uang tersebut. Sesampainya Nano Santoso Hudiarti alias Nono ditempat tersebut, Achmat Subhan kemudian menyerahkan uang sebesar Rp550 juta kepada Nano Santoso Hudiarti alias Nono.

“Setelah menerima uang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono meminta Lutfi Arif Muttaqim (ajudan Bupati) untuk  menemuinya di daerah Mojosari Mojokerto, dan setelah Lutfi Arif Muttaqim datang, Nano Santoso Hudiarti alias Nono menyerahkan uang sebesar Rp550 .juta itu kepada Lutfi Arif Muttaqim, dan uang itu  kemudian disimpan Lutfi Arif Muttaqim di meja kerja ruang dinas terdakwa, dan melaporkanya. Setelah uang diterima terdakwa, Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas 11 tower telekomunikasi PT Protelindo itupun diterbitkan” kata JPU KPK

Bahwa terdakwa mengetahui atau patut menduga, bahwa uang seluruhnya sebesar Rp2.750.000.000 (dua milyar tujuh ratus lima puluh juta ruplah) yang diterimanya dari  Ockyanto sebesar Rp2.200.000.000 (dua milyar dua ratusjuta rupiah), dan dari Onggo Wijaya sebesar Rp550.000.000 (lima ratus lima puluh juta rupiah) melalui Bambang Wahyudi, Nano Santoso Hudiarti alias Nono dan Lutfi Arif Muttaqim, supaya terdakwa selaku Bupati Mojokerto memberikan rekomendasi terbitnya Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izln Mendlrikan Bangunan (IMB) atas beroperasinya Tower Telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (TBG) dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protellndo) di wilayah kabupaten Mojokerto.

Padahal, lanjut JPU KPK, uang yang diterima oleh terdakwa bertentangan dengan kewajibannya  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, angka 4 yang menyatakan : “Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan  perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. Angka 6 yang menyatakan : “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” kata JPU KPK dalam surat dakwaannya.

Selain itu, kata JPU KPK membacakan surat tuntutannya, Pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan: “Setiap PNS dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.

Terkait pembelaan yang disampaikan oleh Penasehat Hukum terdakwa, menurut JPU KPK haruslah dikesampingkan.

JPU KPK menjelaskan, berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Terdakwa Mustofa Kamal Pasha melalui Bambang Wahyudi, Nano Santoso Hudiarti alias Nono dan Lutfi Arif Muttaqim sejumlah Rp2.750.000.000 (dua milyar tujuh ratus lima puluh juta ruplah) sebagai fee dari pemberian 11 izin IPPR dan 11 izin IMB Tower di Kabupaten Mojokerto.

JPU KPK mengatakan, bahwa Terdakwa Mustofa Kamal Pasha terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagalmana telah dlubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tlndak Pidana Korupsl juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana sebagaimana dalam dakwaan Primair.

“Meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengdilan Negeri Surabaya yang mengadili perkara ini untuk ; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Mustofa Kamal Pasha berupa pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda sebesar Rp750 juta  subsidiair 6 (enam) bulan kurungan. dengan perintah Terdakwa tetap ditahan ;

Menjatuhkan pidana tambahan terhadap Terdakwa Terdakwa Mustofa Kamal Pasha untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp2.750.000.000  (dua miliyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) selambat-lambat 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan memperoleh hukum tetap. Jika dalam jangka waktu tersebut Terdakwa tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya di sita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara selama 2 (dua)  tahun ;


Menjatuhkan hukuman tambahan kepada Terdakwa Mustofa Kamal Pasha berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 (lima) tahun setelah Terdakwa Terdakwa Mustofa Kamal Pasha selesai menjalani pidana pokoknya,” ucap JPU KPK Joko Hermawan di akhir surat tuntutannya.

Atas tuntutan JPU KPK, Ketua Majelis Hakim I Wayan Sosisawan memberikan kesempatan kepada terdakwa maupun melalui Penasehat Hukumnya untuk menyampaikan Pledoi atau pembelaannya pada sidang pekan depan.

“Saudara terdakwa dituntut 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp750 juta  subsidiair 6 (enam) bulan kurungan. Saudara juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp2.750.000.000. Terkait tuntutan Jaksa, saudara maupun melalui Penasehat Hukum saudara berhak untuk menyampaikan pembelaan,” kata Ketua Majelis Hakim.

Sesuai persidangan, kepada media ini JPU KPK menjelaskan, bahwa tuntutan terhadap terdakwa sesuai dengan perbuatannya. Selain itu, lanjut JPU KPK Joko Hermawan, masih ada perkara lainnya yaitu TPPU. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top