0
Oepoyo Sardjono Di Vonis 1 Penjara Dalam Kasus Korupsi PT PWU Jatim
Terdakwa Oepoyo Sardjono
#Oepoyo Sardjono selaku Dirut PT SAM, terseret dalam kasus Korupsi penjualan asset Daerah dengan kerugian  keuangan negara sebesar Rp 11.071.914.000 yang melibatkan terdakwa Dahlan Iskan dan Wishnu Wardhana#

 beritakorupsi.co - Jumat, 29 Juni 2018, terdakwa Oepoyo Sardjono selaku Direktur Utama (Dirut) PT Sempulur Adi Mandiri (PT SAM) dinyatakan terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi penjualan asset daerah yang dikelola oleh PT  Panca WIra Usaha (PWU) pada tahun 2003 lalu, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 11.071.914.000 serta di Vonis pidana penjara selama 1 tahun.

Hal itu diucapkan Majelis Hakim yang diketuai H.R. Unggul Warso Murti dalam persidangan yang berlangsung di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Suarabaya dengan agenda pembacaan putusan yang dihadiri JPU Arif Usman dari Kejari Suarabaya. Sementara terdakwa Oepyoso Sardjono didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya Gatra dari Jakarta.

Pria yang berusia 70 tahun ini tidak hanya dihukum pidana badan selama 1 tahun penjara, melainkan dihukum juga untuk membayar kerugian negara sebesar Rp 2.095.457.000. Namun karena terdakwa Oepoyo Sardjono telah mengembalikan uang tersebut pada saat penyidikan, Majelis Hakim pun menyatakan dirampas untuk negara.

Terdakwa Oepoyo Sardjono selaku pembeli asset daerah yang dikelola oleh PT PWU Jatim  terletak di Tulungagung dan Kediri, dijerat pasal 3 juncto pasal 18  Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jonckto pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHPidana.

Dalam kasus Jilid II ini, Kejati Jatim menetapkan 2 tersangka/terdakwa, yaitu Oepoyo Sardjono   (Dirut PT SAM) dan Sam Santoso (Direktur PT SAM) selaku pembeli Dua asset milik Pemprov. Jatim yang terletak di Kediri dan Tulungagung. Kedua aseet tersebut di kelola dan dijual oleh PT Panca Wira Usaha (PT PWU) dibawah kepemimpinan terdakwa Dahlan Iskan selaku Dirut PT PWU yang juga Bos Koran Harian Jawa Pos Group serta mantan Menteri BUMN dan sudah di Vonis 2 Tahun Penjara di Pengadilan Tipikor Suarabaya, lalu dibebaskan Hakim Penadilan Tinggi Jatim.

Saat ini JPU melakukan upaya hukum Kasasi atas putusan bebas tersebut, dan Wishnu Wardana, selaku Ketua Tim penjualan asset juga dinyatakan terbukti bersalah dan di Vonis 3 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Suarabaya. Namun Hakim PT memberinya “bonus” menjadi 1 tahun, sehingga JPU juga melakukan upaya hukum Kasasi.



Dalam jilid II ini yang diadili hanya Oepyo Sardjono, sementara Sam Santoso sipengusaha  Keramik terbesar di Asia, hingga saat ini belum disidangkan sama sekali, bahkan sebagai saksi pun belum bisa dihadirkan oleh JPU, dengan alasan bahwa tersangka Sam Santoso sedang terbaring di Rumah Sakit Mitra Keluarga Surabaya.

Keterangan sakit tersangka Sam Satoso hanya disampaikan oleh Penasehat Hukumnya dengan membawa surat keterangan dari dokter Rumah Sakit yang memeriksanya. Tanpa ada upaya dari Kejaksaan untuk membawa dokter yang ditentukan oleh negara guna memeriksa kesehatan tersangka demi penagakan hukum. Seperti yang dilakukan oleh Kejaksaan pada saat menyidangkan mantan Presiden RI ke- 2 Soeharto dan KPK saat memeriksa kesehatan mantan Keua DPR RI Setya Novanto (Setnov).

Apakah negara tidak punya anggaran untuk menghadirkan dokter, memeriksa kesehatan tersangka yang terjerat dalam kasus Korupsi demi pengakan hukum ?. Agar “senjata” sakit bagi tersangka/terdakwa Korupsi tidak berdasarkan dokter yang ditentukan oleh si tersangka/terdakwa tersebut.

Sebab tak sedikit pejabat maupun pengusaha yang berstatus tersangka/terdakwa Korupsi menggunakan “senjata mutahir” yaitu sakit saat dirinya hendak diperiksa atau diadili di Pengadilan Tipikor untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Sementara dalam surat putusan Majelis Hakim menyatakan, bahwa penjualan asset PT PWU tidak sesuai dengan prosedur. Hal inipun sesuai dengan putusan Majelis Hakim pada persidangan sebelumnya dengan terdakwa Dahlan IsakWishnu Wardhana .

Majelis Hakim menyatakan, seharusnya nilai penjualan untuk asset berupa tanah dan bangunan yang terletak di Tulungagung, seluas 24 ribu meter lebih sebesar Rp 10.086.848.000, namun dijual dengan harga Rp 8.750.000.000. Sementara asset di Kediri, berupa tanah dan bangunan seluas 32.492 meter dijual dengan harga Rp 17 milliar lebih, yang seharusnya dijual berdasarkan harga NJPO sebesar Rp 24 milliar lebih.

Sehingga terjadi selisih harga senilai Rp 11.071.914.000 yang menguntungkan Oepoyo Sardjono dan Sam Santoso selaku pribadi. Sebab PT Sempulur Adi Mandiri pada saat terjadinya transaksi, belum mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.

Majelis Hakim menyatakan, bahwa perbuatan terdakwa haruslah dinyatakan bersalah dan dihukum, sementara pembelaan yang disampaikan Penasehat Hukum terdakwa haruslah ditolak.

Majelis Hakim mnyatakan, bahwa perbuatan terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal 3 junckto pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jonckto pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHPidana.

“Mengadili; Menyatakan terdakwa Oepoyo Sardjono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan subsidair; Menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa dengan pidan penjara selama 1 tahun, denda sebesar Rp 50 juta. Apabila terdakwa tidak membayar, maka diganti kurungan selama 1 bulan; Menghukum terdakwa untuk membayar kerugian negara sebesar Rp 2.095.457.000; Barang bukti berupa uang sebesar Rp 2.095.457.000 dirampas untuk negara,” ucap Ketua Majelis Hakim.

Usai Ketua Majelis Hakim membacakan putusannya, tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan Penasehat Hukumnya, terdakwa langsung memprotes Majelis Hakim dan menanyakkan tentang Sam Santoso. Ketua Majelis Hakim mempersilahkan terdakwa untuk menanyakkan JPU.

“Apakah Sam Santoso tidak diadili ?,” tanya terdakwa kepada JPU Arif Usman dkk. JPU hanya menjawab, akan menyakkan ke penyidik.

“Kalau tidak diadili, ini namanya tidak adil,” kata terdakwa kemudian. Sementara atas putusan Majelis Hakim, terdakwa melalui Penasehat Hukumnya maupun JPU menyatakan pikir-pikir.

Saksi adalah sebagai panitia lelang pelepasan aset PT PWU
Usai persidangan, kepada Wartawan media ini, terdakwa Oepoyo Sardjono mengatakan bahwa hukum di Indoseia tidak adil.

“Hukum di Indosesia tidak adil. Ini namanya hukum apa, Sam Santoso tidak diadili, katanya sakit tapi tidak tau sakit apa dan ada dimana,” kata terdakwa.

Apa yang disampaikan terdakwa bisa jadi ada benarnya. Sebab beberapa kasus Korupsi di Jawa Timur baik yang ditangani KPK seperti mantan Rektor Universitas Airlannga Suarabaya, maupun yang ditangani Kejaksaan diantaranya tersangka mantan Rektor UIN Malang, kasus Korupsi Roud Show Kota Batu dan kasus Korupsi pelepasan asset daerah Blitar hingga saat ini tidak ada kepastian hukumnya.

Belum lagi kasus Korupsi MERR II C 2012 terkait pembebasan lahan hingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 12 milliar yang ditangani Kejari Surabaya, hanya menyeret Satgas, sementara pertanggung jawaban hukum oleh panitia pembebasan Tanah (P2T) “terselamtakan”.

Sementara dalam Fakta Persidangan Jilid I......

Selasa 17 Januari 2017, Lima orang saksi selaku panitia lelang pelepasan asset dihadirkan JPU, diantaranya, M Sulkhan, staf PT PWU; Budi Raharjo, mantan staf keuangan PT PWU dan Emilia Aziz, mantan staf personalia PT PWU yang menjadi Sekretaris Panitia lelang, Johanes Dasikan dan Suhadi.

Dalam fakta persidangan saat itu terungkap. Ternyata sudah ada pembayaran sebelum penjualan asset di Tulungangung. Pembayaran pada tanggal 3 Juni 2003, sementara pembukaan dokumen lelang baru pada tanggal 18 Juni 2003. Empat perusahaan sebagai peserta lelang, salah satu diantanya adalah PT Sempulur sekaligus sebagai pemenang lelang dengan nilai penawaran sebesar Rp 8 milliar. Untuk operasional panitia lelang sebesar Rp 510 juta. Setiap panitia memperoleh honor antara 1 hingga 1,5 juta rupiah, kecuali Emilia Aziz, selaku Sekretaris Panitia lelang memperoleh honor sebesar Rp 5 juta.

Emilia Aziz menjelaskan kepada Majelis saat itu, bahwa dirinya menerima dokumen dari terdakwa Wisnu. Sementara menurut terdakwa Wisnu Wardhana, saat ditemui media ini dari balik jeruji besi ruang tahanan Pengadilan Tipikor menjelaskan, tidak pernah memberikan dokumen apapun kepada Emilia. “Nanti pada saatnya, saya akan minta di kroscek dipersidangan. Ke Notaris saya juga tidak tahu, pembayarannya pun sya tidak tahu,” kata Wisnu dari balik jeruji besi.

Pada Jumat, 20 Januari 2017, JPU menghadirikan 6 orang saksi ke Persidangan namun yang hadir hanya 4 saksi, diataranya Suhardi, mantan Direktur Keuangan PT PWU; Sustri Handayani, Kasir PT PWU; Supratiwi; dan Sugeng Hinarjo (sidang terpisah), bagian administrasi keuangan PT Kuda Laut Emas. Sementara saksi Ir. Sofian Lesmanto termasuk Dr. Sam Santoso, tak tampak di gedung pengadil orang-orang yang diduga merugikan keuangan negara alias Koruptor.

Dari keterangan saksi ini hampir sama dengan keterangan sebelumnya, yakni adanya pembayaran sebelum penjualan. Dihadapan Majelis Hakim terungkap, bahwa Direktur Keuangan telah menerima pembayaran berupa BG sebesar Rp 8 milliar pada tanggal 30 Agustus 2003. Pada hal, RUPS tentang persetujuan pelepasan asset baru pada tanggal 3 Sepetember 2003.

Saat JPU maupun Majelis Hakim melontarkan pertanyaan kepada Suhardi, yang sudah 10 tahun menjabat sebagai Direktur Keuangan ini, “penyakit” lupa tak luput dari ingatannya, karena memang belum ada ahli kesehatan yang menemukannya. Sehingga saksi pun tak bisa menjelaskan Perda No 5 tahun 1999 tentang penggabungan Lima perusahaan Daerah, pasal 14 yang berbunyi; penjualan asset dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan DPRD.
Yang anehnya, M. Mahfud, selaku Kepala Biro Hukum Pemprov Jatim, tidak mengetahui luas asset yang dijual oleh PT PWU. M. Mahfud lebih banyak menjawab tidak tahu. Namun Ia (Mahfud) menjelaskan, bahwa PT PWU adalah penggabungan dari Lima perusahaan daerah berdasarkan Perda Nomor 5 tahun 1999.

“PT PWU adalah penggabungan dari Lima perusahaan daerah berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 1999,” kata Mahfud.

Sementara Yantiningsih, selaku Appraisal dari PT Satya Tama Graha selaku Kapala Cabang menjelaskan dihadapan Majelis Hakim, bahwa dokumen yang dikeluarkan oleh PT Satya Tama Graha untuk kepentingan Managemen. Dan apa bila dipergunakan oleh pihak lain, harus mendapat persetujuan perusahaan yang dipimpinnya.

“Itu hanya untuk Managemen PT PWU,” kata saksi kepada Majelis.


Sementara itu...........

Dalam BAP Sam Santoso yang dibacakan JPU dalam persidangan saat itu menjelaskan, bahwa dirinya bertemu dengan Dahlan Iskan di Graha Pena, Jalan A. Yani Surabaya, kantor Jawa Pos untuk menanyakkan terkait informasi penjulan sebidang tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten Kediri dan Tulungagung.

Beberapa hari kemudian, Sam Santoso menemui Dahlan Iskan di Graha Pena, menyampaikan penawarannya untuk asset di Kediri senilai Rp 17 milliar, dan Tulungagung senilai Rp 8,750 milliar. Dari penawaran Sam Santoso, Dahlan Iskan tidak langsung menyetuji saat itu juga, melainkan menunggu beberapa hari.

Pertemuan antara Sam Santoso, Dahlan Iskan dan Wishnu Wardhana menghasilkan kesepakatan nilai asset PT PWU di Kediri dan Tulangagung, diperkirakan sekitar awal Mei 2003, yang merujuk pada pembayaran aset di Kediri senilai Rp 17 miliar pada 3 Juni 2003.

Sementara itu, Sam Santoso baru melakukan pembayaran asset di Tulungagung senilai Rp 8,75 miliar pada tanggal 30 Agustus 2003, sedangkan penawaran untuk aset di Tulungagung baru dibuka sekitar taggal 8 September 2003. Dari keterangan Sam Santoso di BAP, bahwa kesepakatan jual-beli asset telah dilakukan jauh sebelum proses lelang atau penawaran dibuka.

Selain keterangan Sam Santoso yang dibacakan, JPU juga membacakan keterangan saksi Imam Utomo mantan Gubernur Jawa Timur, karena tidak bisa hadir dalam persidangan dengan alasan sakit.

Imam Utomo mengakui dalam BAP-nya, ada surat dari DPRD Jatim yang ditujukan ke Dirut PT PWU. Dan Dia (Imam Utomo) menjelaskan dalam BPA-nya, tidak pernah mengeluarkan Surat Keputusan tentang persetujuan pelepasan asset PT PWU Jatim. Surat yang pernah dikeluarkan Imam Utomo, menindaklanjuti surat dari Ketua DPRD Jatim.

Kasus ini pun masih menggelitik. Apakah penyidik Kejati Jatim hanya menyeret 4 tersangka/terdakwa (Wishnu Wardana, Dahlan Iskan, Oepojo Sarjono dan Sam Santoso) dalam pelepasan asset milik Pemprov Jatim ini ? Lalu bagaimana dengan panitia lelang yang menerima honor dan menandatangani dokumen namun tidak melaksanakan tugasnya ? Apakah panitia lepas tanggung jawab hukum karena kasus ini sudag diadili ?

Dalam Putusan Majelis Hakim Tanggal 21 April 2017
Terdakwa Wishnu Wardhana saat sebagai saksi untuk terdakwa Dahlan Iskan

Majelis Hakim menyatakan, bahwa benar pada bulan Agustus 2003, terdapat 5 penawar yang memasukkan surat penawarannya, seolah-olah proses lelang sudah berlangsung. Sebelum dibuka penawaran lelang, pada tanggal 30 Agustus 2003, sudah dilakukan pembayaran oleh Sam Santoso berupa BG yang jatuh tempo pada tanggal 23 September 2003. Semua uang tersebut masuk ke PT PWU tanggal 25 September 2003.

Sehingga Majelis Hakim menyatakan, adanya rekayasa lelang mulai dari kesepakatan harga, dan pembayaran pada tanggal 30 Agustus 2003. Pada hal, persetujuan RUPS baru dilakukan pada tanggal 3 September 2003, dan taksiran harga dari lembaga terkait baru dilakukan sekitar pertengahan Oktober 2003, setelah dilakukan transaksi dan pembayaran atas asset yang terletak di Kediri dan Tulungagug. Dan negoisasi kedua, harga penjualan asset yang oleh Wishnu Wardana selaku penjual, dengan calon pembeli yang diwakili oleh Sam Santoso, baru dilakukan pada tanggal 16 Oktober 2003.

Pada hal, pembayaran sudah dilakukan pada tanggal 30 Agustus 2003. Penanda tanganan Akte No 39 tentang pembatalan atas Akte No 5 dan 6 tentang Akte jual beli, yang ditanda tangani oleh terdakwa Dahlan Iskan selaku penjual asset milik PT PWU Jatim dengan Oepoyo Sarjono dan Sam Santoso selaku pembeli setelah dilakukannya pembayaran.

Menurut Majelis Hakim bahwa, pelepasan aseet di dua tempat tesebut seluas ribuan meter persegi berupa bangunan dan tanah, tidak sesuai dengan prosedur diantaranya, harga penjualan dibawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), tidak melibatkan tim penilai hara tanah (Appraisal), tidak melalui proses lelang, tidak membuat pengumuman di media nasional berbahasa Indonesia, sudah ada pembayaran sebelum jadwal pembukaan lelang dan pelaksanaan RUPS (rapat umum pemegang saham) serta penandatanganan Akte jual beli antara Dahlan Iskan dengan Sam Santoso, Direktur PT Sempulur Adi Mandiri (PT SAM) dan kemudian Akte tersebut dibatalkan setelah adanya pembayaran. Penanda tanganan Akte tersebut di kantor Dahlan Iskan di Graha Pena, Jalan Ahmat Yani Surabaya bukan di kantor Notaris.

Sehingga, 5 Majelis Hakim diataranya, Hakim Tahsin, selaku Ketua Majelis dengan dibantu 4 Hakim anggota antara lain, H.R. Unggul Warsomukti. S.H., M.H; DR. Andriano., S.H., M.H; Samhadi. S.H., M.H dan Sanghadi. S.H, sepakat menyatakan bahwa, terdakwa Dahlan Iskan selaku Dirut PT PWU, bersama-sama dengan Wishnu Wardana selaku Ketua Tim Pelepasan asset, adalah perbuatan yang sewenang-wenang, karena jabatan yang melekat pada dirinya.

“Mengadili; Menyatakan terdakwa Dahlan Iskan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan subsidair. Menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 2 tahun denda sebesar Rp 100 juta. Bilamana terdakwa tidak membayar, maka diganti dengan kurungan selama 2 bulan. Memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan kota,” ucap Ketua Majelis.  (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top