0
#Penyidik Polda Metro Jaya butuh waktu 3 tahun meminta keterangan tambahan dari “terlapor” ?#

Foto saat sidang gugatan di PN Jakarta Pusat 17 Oktober 2017 (Foto BK. Dok)


beritakorupsi.co – Sejak tanggal 24 Desember 2015 lalu hingga saat ini, Sri Dewi Sartika, menunggu tanpa “kepastian” dari proses hukum yang dilaporkannya ke Polda Metro Jaya, dengan Nomor laporan, No. LP/5543/XII/2015 Dit Reskrimum tanggal 24 Desember 2015.

Sri Dewi Sartika atau yang akrab disapa Dewi ini adalah istri almarhum (alm) Rahman Rahim Salam, yang meninggal dunia pada tanggal 22 Januari 2013 lalu. Semasa hidup alm. suaminya adalah nasah Bank Kesejahteraan Ekonomi Cabang Pembantu Kemayoran di Wisma Iskandarsyah, Jalan Iskandarsyah Kav 12 - 14. Blok. B No. 10. Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sebelum meninggal, Rahman Rahim Salam berprofesi sebagai konsultan untuk perusahaan Jepang di Indonesia. Dan pada tahun 2005, Rahman Rahim Salam mengajak 2 adik kandungnya yaitu Elvira Emilia Salam dan Edwin Salam bekerja dikantornya dan Elvira diangkat sebagai sekretarisnya. Hal itu seperti yang disampaikan Dewi kepada media ini beberapa waktu lalu.

“Sebelum meninggal, suami saya adalah nasah Bank Kesejahteraan Ekonomi, Kantor Cabang Pembantu Kemayoran, di Wisma Iskandarsyah, Jalan Iskandarsyah Kav 12 - 14. Blok. B No. 10. Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dan suami saya menunggal 22 Januari 2013. Anak 2, yang paling besar sekarang sudah SMA,” ucap Dewi.

Dewi menceritakan, belum genap 40 hari alm suaminya meninggal, Elvira meminta tandatangan surat kuasa pengeurusan harta peninggalan alm termasuk uang tabungan dan depositi di Bank Kesejahteraan Ekonomi, yang sudah disiapkannya terlebih dahulu. Lalu, Elvira menghubungi Dewi untuk bertemu dimakan alm suaminya.

“Kurang lebih Satu bulan setelah suami saya meninggal, yaitu sekitar Pebruari 2013, Elvira menghubungi saya untuk meminta tandatangan beberapa surat kuasa yang salah satunya, adalah surat kuasa ahli waris, tertanggal 24 Februari 2013. Waktu itu saya diminta Elvira ketemu di makam. Karena saya kira sama-sama ziarah, makanya saya datang. Saat itu Elvira meminta tandatangan saya disurat yang sidah disiapkannya. Anak saya yang pertama sempat marah. Tapi karena saya tidak curiga, dan saya pikir hanya mengurus, makanya saya tandatangani. Alasan Elvira untuk membantu saya melakukan pengurusan harta peninggalan alm. berupa tabungan, deposito maupun  simpanan lainnya di Bank Kesejahteraan Ekonmi. Tapi dalam surat kuasa itu, hanya menyebutkan bahwa Elvira Emilia Salam sebagai penerima Kuasa. Butkan untuk menutup buku rekening atau tabungan lainnya di Bank Kesejahteraan Ekonomi, dan tidak mencantumkan nomor rekening tabungan yang mana," kata Dewi

Menurut Dewi, saat itu dirinya masih dalam keadaan berkabung karena belum genap 40 hari sang suami tercinta meninggalkannya bersama dua anaknya. Semula Dewi menolak untuk menandatangani surat kuasa tersebut, karena merasa alm. suaminya belum lama meninggal. Sehingga rasanya tidak pantas dan belum waktunya mengurus soal harta-harta peninggalan almarhum. Namun karena Elvira memaksa dengan berbagai macam alasan, dan tidak mau bertengkar, akhirnya Dewi pun bersedia menandatangani surat kuasa tersebut.

“Waktu itu sedikit memaksa, katanya sudah ditunggu Lurah. Tandatangan pun saat itu dimakam suami saya. Waktu ditelepon, tidak diberitahukan kalau mau minta tandatangan. Saya kira untuk ziarah makanya saya temui,” ungkap Dewi.

Setelah Elvira, lanjut Dewi, menerima surta kuas tersebut, Ia tak pernah menerima laporan apapun. Bahkan setiap kali diminta pertanggung jawabannya terkait surat kuasa, Elvira terkesan menghindar dengan berbagai alasan. Tragisnya, Dewi tak tau bagaimana hasil dari pengurusan uang alm. Suaminya oleh Elvira di Bank Kesejahteraan Ekonomi.

“Saya berkali-kali menghubungi Elvira dan menanyakkan tentang tabungan alm. Suami saya, alasannya banyak. Katanya ada hutang di Rumah Sakit sebesar Rp 2 milliar. tapi saat saya minta buktinya tak bisa ditunjukkan. Saya tunggu bukti tagihan Rumah Sakit, alasannya banyak. Setelah saya ke Rumah Sakit, ternyata hanya 95 juta. Biaya pengobatan alm. Suami saya sejak berobat selama 3 tahun, tidak lebih dari 700 juta, dibawah 700 lah. Setiap kali saya hubungi dan minta bukti tagihan Rumah Sakit yang 2 milliar itu, tidak ada kejelasan, akhirnya saya mencabut surat kuasa pada tanggal 6 Desember 2015. Saya merasa ada yang disembunyikan atau ditutup-tutupi, dan juga merasa dicurangi. Akhirnya saya melapor ke Polda Metro Jaya, tanggal 24 Desember 2015,” beber Dewi menceritakan.

“Saat pembagian warisan, kami kumpul di rumah mertua. Kata Elvira saat itu ada uang 3 milliyar dan hutang 2 milliar jadi sisa 1 milliyar. Saya dan 2 anak saya mendapat bagian 500 jutaan. Tapi bukti hutang 2 milliyar yang dibilang Elvira tidak ditunjukkan,” lanjut Dewi.

Untuk mendapatkan informasi tentang nasib rekening tabungan dan deposito alm. Suaminya, Ia pun menemui Lusi selaku Kepala Cabang Pembantu  Bank Kesejahteraan Ekonomi untuk menyampaikan, bahwa surat kuasa yang diberikan kepada Elvira dicabut.

“Waktu itu saya tidak bertemu dengan Lusi, katanya sudah pindah kantor. Tanggal 28 Desember 2015, saya dengan didampingi Kuasa Hukum serta ada teman, mendatangai kantor PT Bank Kesejahteraan Ekonomi di Gedung IKP RI, Jalan RP. Suroso No. 21. Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, untuk menyampaikan secara langsung surat pemberitahuan pencabutan kuasa terhadap Elvira, atas pengurusan rekening-rekening alm. pada Bank Kesejahteraan Ekonomi No. 06/STH-S.Pemb/XII/2015 tertanggal 28 Desember 2015, dan sekaligus meminta Informasi tentang data rekening alm. Suami saya,” kata Dewi sambil menunjukkan bukti berupa surat kuasa, surat dari OJK, dari BI, bukti LP (Laporan Polisi)  dan bukti SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) serta surat dari Kejati DKI ke Polda Metro Jaya yang menanyakkan tentang SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) tahun 2017.

Saat ditanya, bagaimana hasil laporannya di Polda Metro Jaya. Dewi mengatakan, belum ada. “Nggak tau bagaimana hasilnya sejak 2015,” keluhnya.

“Saat itu Lusi mengatakan, bahwa rekening alm. Suami saya sudah lama ditutup oleh Elvira, dan uang hasil pencairan telah diserahkan ke Elvira. Waktu saya tanya berapa jumlahnya, Lusi tak dapat menjelaskan, katanya tak banyak,” lanjut Dewi.

Yang lebih anehnya lagi, saat Dewi meminta penjelasan dari sang pimpinan Bank itu, terkait langkah apa yang harus dia lakukan utuk dapat memperoleh informasi tentang rekenig suaminya, Lusi justru menjawab akan mendikusikannya terlebih dahulu dengan Elvira.

“Saya kan istri sah almarum, apakah saya tak berhak mendapat informasi langsung dari Dia (Lusi) ? Kenapa Dia harus nanya Elvira. Elvira kan hanya menerima kuasa dari saya dan surat kuasa itu sudah saya cabut. Aneh kan,” kata Dewi dengan nada tinggi.

Ada apa antara Lusi selaku pimpinan Cabang Bank Kesejahteraan Ekonomi harus berdiskusi terlebih dahulu dengan Elvira untuk memberikan penjelasan terhadap istri alm. sebagai ahli waris yang sah ? Apakah ada sebuah “sekanario”, antara Lusi dan Elvira terkait uang alm. yang disimpan di Bank Kesejahteraan Ekonomi berupa tabungan dan deposito ?

“Karena saya merasa ada yang janggal, saya pun mengirimkan surat permohonan Kedua No. 01/STH-S.Pemb/I/2016 tertanggal 11 Januari 2016, yang kali ini disertai komplain atas pelayanan pihak Bank Kesejahteraan Ekonomi. Setelah itu,  baru saya menerima surat jawaban dari PT Bank Kesejahteraan Ekonomi, No. 134/CB-JKT/2016 tertanggal 19 Januari 2016, yang ditandatangani oleh Lusi selaku Pimpinan Cabang dan Deby Handayani selaku Pemimpin Cabang Pembantu. Isinya menyatakan, bahwa (“setelah rekening ditutup dan diselesaikan terhadap nasabah, maka hubungan hukum dengan Bank telah berakhir dan tidak ada kewajiban Bank untuk memenuhi permintaan istri almarhum selaku ahli waris”),” ujar Dewi.

Ibarat Peribahasa, banyak jalan menuju Roma. Itulah yang dialami oleh istri alm. untuk memperoleh kejelasan tentang rekening alm. suaminya di Bank Kesejahteraan Ekonomi, yaitu dengan memberikan surat kuasa kepada penyidik Polda Metro Jaya. Hasilnya pun diketahui, bahwa jumlah uang alm. suaminta yang dicairkan oleh Elvira di Bank Kesejahteraan Ekonomi sebesar Rp 6.644.855.771,36, yang terdiri dari, 1 lembar sertifikat deposito No. 930002580 senilai Rp. 5.013.150.684,92,; 1 lembar sertifikat deposito No. 930011539 sejumlah Rp. 1.503.945.205,44 dan 1 rekening tabungan No. 910000398 sebanyak Rp. 127.759.881.

“Ini saya tahu setelah penyidik memperolehnya. Pada hal kata Lusi, saat saya temui, uangnya tak banyak,” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala

Setelah berbagai usah dilakukan Dewi untuk memperoleh informasi tentang rekening tabungan dan deposito alm. suaminya, termasuk menyurati OJK dan BI tak ada penyelesaian. Akhirnya, Dewi pun menempuh jalur hukum dengan melayangkan gugatan melalui melalui Kuasa Hukumnya, Lauren, Edy Winjaya dkk dari kantor RBS dan Fartners, sambil menggu proses hokum di Polda Metro Jaya entah sampai kapan.

“Saya hanya mencari keadilan dan menuntut hak saya sebagai istri sekaligus sebagai ahli waris dari alm. Suami saya. Apakah saya salah mencari keadilan melalui Majelis Hakim dan pihak kepolisian dengan melaporkan hal ini ?,” pungkas Dewi.

Yang lebih anehnya lagi, laporan Sri Dewi Kartika ke Polda Metro Jaya sejak tahun 2015 lalu, terkesan “disimpan di lemari penyidik” hingga saat ini belum jelas hasil dari laporan Dewi untuk mencari keadilan melalui aparat penegak hukum, terkait uang milik alm. Suaminya yang disimpan di Bank Kesejahteraan Ekonomi. Lalau, kemana Dwi harus melaporkan untuk mencari keadilan ?

Sementara, saat penyidik Polda Metro Jaya menghubungi kembali wartawan media ini mengatakan, akan meminta keterangan tambahan dari Elvira Salam  dan Edwin Salam. Alasannya, karena ada hutang alamarhum yang di tack over oleh Elvira hingga saat ini. Mengapa Elvira yang membayar hutang piutang alamarhum, sementara almarhum meninggalkan seorang istri dan 2 orang anak. Ada apa dibalik “layar ?”  (Redaksi)

“Kita akan mengirim SP2HP kepada Bu Dewi. Kita masih akan meminta keternagan tambahan dari Elvira Salam dan Edwin Salam,” kata AIPTU Kuswanto.

Ketika wartawan media ini kembali menghubungi AIPTU Kuswanto melalui pesan WhatsApp tanggal 19 Oktober 2017, terkait SPDP sesuia surat dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI, AIPTU Kuswanto tak menanggapinya.

Aneh memang, untuk meminta keterangan tambahan dari kedua adik kandung almarhum, apakah penyidik harus membutuhkan waktu bertahun-tahun ? Lalu, sampai kapan Dewi memperoleh kepastian hukum ?  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top